Kamis, 25 Desember 2014

Aku Bangkit Untukmu, Inilah Jalan Hidupku


 Suasana siang itu sangatlah panas. Tidak ada sedikit pun angin yang berhembus seperti biasanya. Di rumah hanya ada aku, ibu, dan adikku. Ayahku sudah meninggalkan kami selama satu minggu. Selalu terlintas dalam benakku bayangan ketika ayah bergegas pergi kala itu. Dia membawa banyak pakaian dan segera menghidupkan sepeda motornya. Kala itu usiaku masih berusia 11 tahun. Namun, aku pun sudah mengerti, bahwa ayah tidak pergi untuk bekerja seperti biasanya. Ketika aku bertanya, “Mamah, papah mau pergi kemana?” Ibu hanya menggelengkan kepala, dan tak lama kemudian… dia menangis. Sejak saat itulah, aku jadi enggan mempertanyakan hal itu lagi.

Ibu adalah manusia yang tegar dan ketegarannya sangat terasa olehku. Ibu membuat suasana rumah seakan seperti biasa saja dan sedang tidak terjadi apa-apa. Sebuah sikap yang luar biasa karena kejadian yang menyakitkan telah terjadi dan memberikan pengaruh besar pada kehidupan keluargaku kini. Sebuah kejadian yang membuat aku ingin menjerit sekeras-kerasnya.

Pada saat itu, aku masih duduk di kelas 5 SD di pusat kota. Untuk pergi ke sekolah, aku harus menggunakan jasa transportasi umum selama 15 menit. Dulu, kendaraan belum seramai sekarang. Sepeda motor hanya milik masyarakat menengah ke atas. Di lingkungan tempat tinggal kami, mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya dengan bermata pencaharian sebagai karyawan swasta. Sehingga, saat itu belum banyak keluarga yang memutuskan untuk membeli kendaraan pribadi. Angkutan kota, cukup menjadi jasa antar mereka kemana-mana.

“Mamah, aku berangkat sekolah dulu.” ucapku sambil mengenakan sepatu di teras rumahku. “Iya, hati-hati di jalan ya.” Jawab ibuku. Ia berjalan menghampiriku dengan menuntun si kecil yang masih mengantuk. Adikku masih berusia dua tahun setengah, berjalan sempoyongan dituntun ibu karena baru bangun tidur. Memang, telah menjadi kebiasaan bagi si kecil selalu ingin dadah ke kakaknya setiap mau berangkat ke sekolah. “Mamah mamah, Aa mau cekolah yah.” tutur si kecil. Ibuku menggendong dan menciumnya seraya berkata, “Iya de, Aa mau sekolah. Dede mau ikut?” “Iya mau, dede ikut.” jawabnya lantang. Aku tertawa saat itu, begitu pun ibu. Si kecil mana mengerti, mukanya nampak bingung. Mungkin bingung alasan mengapa kami tertawa saat itu. Aku mencium tangan ibu dan si kecil mencium tanganku. Aku berangkat ke sekolah diiringi doa dari ibu, dan dadah dari adikku. Kata ibu, setelah ritual dadah kepadaku, biasanya si kecil langsung tidur lagi. Ia hanya bangun untuk dadah padaku saja. Saat ibu menceritakan tingkah si kecil pada siang hari, aku sering kali terharu dan sering menciuminya saat malam ketika dia sudah terlelap. Aku sangat menyayangi adik perempuanku satu-satunya itu.

Seminggu telah berlalu, mulai ada perasaan ganjil di rumah. Kini, ibu tidak setenang biasanya. Bahkan, sewaktu-waktu aku secara tidak sengaja memergoki ibu sedang menangis: di dapur ketika memasak dan pada saat menemani si kecil tidur. Saat itulah aku berpikir bahwaada hal yang tidak beres melanda keluargaku. Sikap ibu memaksaku untuk diam. Diam saat si kecil sering bertanya kepadaku, “Aa, papah kemana?” secara tiba-tiba. Setiap adikku bertanya, aku hanya diam. Seiring berjalannya waktu, aku justru sering kali berbohong kepadanya. Aku berkata dengan lembut, “Papah lagi kerja de”. Adikku hanya menjawabnya dengan, “Ooh…” saja. Begitu saja setiap harinya. Aku tidak tahu harus menjawab apa, karena ibu pun tidak menjawab pertanyaanku tentang ayah.

Si kecil semakin rewel akhir-akhir ini. Ibu pun menjadi mudah marah, tidak seperti biasanya. Saat aku tatap raut wajahnya, aku bisa merasakan ada beban yang sangat berat yang sedang dipikulnya. Suasana rumah menjadi lebih mencekam, tidak seceria dulu saat ayah masih ada. Dulu, saat ayahku masih berkumpul bersama kami, setiap sore tepatnya ba’da ashar dia sering memutar musik-musik kesukaan si kecil atau yang lainnya seperti Qasidah bahkan Tilawatil Qur’an. Ia sering membeli kaset DVD sepulang kerja dan kami pun senang saat ayah membeli kaset baru. Apalagi DVD kartun kesenanganku. Namun, kini setiap senja suasana rumah menjadi aneh. Rasa-rasanya, hanya suara tangisan si kecil saja yang terus mengisi waktu. Sejak saat itu, aku berubah menjadi pendiam. Teman-teman sepermainanku menjadi tidak nyaman dengan sikap baruku itu. Ibu terlihat lebih sibuk karena harus menjadi pedagang pakaian keliling sehingga jarang berada di rumah. Kulitnya memerah karena terus ditempa panas terik matahari. Si kecil pun sama, tempat bermainnya kini menjadi dimana-mana karena selalu ikut ibu kemana pun ibu pergi. Sepulang sekolah, sering kali kudapati rumah sepi dan kosong. Ibu masih menjalankan aktivitasnya sebagai pedagang pakaian kredit keliling. “Ini pasti gara-gara papah!” Gumamku kesal.

Senja pun berlalu, ibu dan si kecil pun tiba di rumah. Ibu nampak lusuh, sedangkan si kecil langsung bermain seakan tidak mengenal rasa letih setelah seharian diajak keliling di bawah terik matahari. Kini, ibu jadi jarang berkomunikasi dan becanda kepadaku. Kesehariannya adalah berangkat pagi dan pulang sore. Merasakan letih dan badan yang sakit, ibu selalu tidur sore-sore. Selepas isya, ibu langsung tertidur pulas. Aku mengerti kondisinya, niatku untuk kembali menanyakan tentang ayah pun urung dan luluh seketika. Setiap malam, aku tidur dalam gejolak jiwa yang aku sendiri bingung. Aku terlalu lemah untuk mencari jawaban saat itu. Ya Allah, aku membutuhkanmu…
Bersambung…

Tidak ada komentar: