Suasana siang itu sangatlah panas. Tidak ada sedikit pun angin yang
berhembus seperti biasanya. Di rumah hanya ada aku, ibu, dan adikku.
Ayahku sudah meninggalkan kami selama satu minggu. Selalu terlintas
dalam benakku bayangan ketika ayah bergegas pergi kala itu. Dia membawa
banyak pakaian dan segera menghidupkan sepeda motornya. Kala itu usiaku
masih berusia 11 tahun. Namun, aku pun sudah mengerti, bahwa ayah tidak
pergi untuk bekerja seperti biasanya. Ketika aku bertanya, “Mamah, papah
mau pergi kemana?” Ibu hanya menggelengkan kepala, dan tak lama
kemudian… dia menangis. Sejak saat itulah, aku jadi enggan
mempertanyakan hal itu lagi.
Ibu adalah manusia yang tegar dan ketegarannya sangat terasa olehku.
Ibu membuat suasana rumah seakan seperti biasa saja dan sedang tidak
terjadi apa-apa. Sebuah sikap yang luar biasa karena kejadian yang
menyakitkan telah terjadi dan memberikan pengaruh besar pada kehidupan
keluargaku kini. Sebuah kejadian yang membuat aku ingin menjerit
sekeras-kerasnya.
Pada saat itu, aku masih duduk di kelas 5 SD di pusat kota. Untuk
pergi ke sekolah, aku harus menggunakan jasa transportasi umum selama 15
menit. Dulu, kendaraan belum seramai sekarang. Sepeda motor hanya milik
masyarakat menengah ke atas. Di lingkungan tempat tinggal kami,
mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya dengan bermata pencaharian
sebagai karyawan swasta. Sehingga, saat itu belum banyak keluarga yang
memutuskan untuk membeli kendaraan pribadi. Angkutan kota, cukup menjadi
jasa antar mereka kemana-mana.
“Mamah, aku berangkat sekolah dulu.” ucapku sambil mengenakan sepatu
di teras rumahku. “Iya, hati-hati di jalan ya.” Jawab ibuku. Ia berjalan
menghampiriku dengan menuntun si kecil yang masih mengantuk. Adikku
masih berusia dua tahun setengah, berjalan sempoyongan dituntun ibu
karena baru bangun tidur. Memang, telah menjadi kebiasaan bagi si kecil
selalu ingin dadah ke kakaknya setiap mau berangkat ke sekolah.
“Mamah mamah, Aa mau cekolah yah.” tutur si kecil. Ibuku menggendong
dan menciumnya seraya berkata, “Iya de, Aa mau sekolah. Dede mau ikut?”
“Iya mau, dede ikut.” jawabnya lantang. Aku tertawa saat itu, begitu pun
ibu. Si kecil mana mengerti, mukanya nampak bingung. Mungkin bingung
alasan mengapa kami tertawa saat itu. Aku mencium tangan ibu dan si
kecil mencium tanganku. Aku berangkat ke sekolah diiringi doa dari ibu,
dan dadah dari adikku. Kata ibu, setelah ritual dadah kepadaku, biasanya si kecil langsung tidur lagi. Ia hanya bangun untuk dadah padaku
saja. Saat ibu menceritakan tingkah si kecil pada siang hari, aku
sering kali terharu dan sering menciuminya saat malam ketika dia sudah
terlelap. Aku sangat menyayangi adik perempuanku satu-satunya itu.
Seminggu telah berlalu, mulai ada perasaan ganjil di rumah. Kini, ibu
tidak setenang biasanya. Bahkan, sewaktu-waktu aku secara tidak sengaja
memergoki ibu sedang menangis: di dapur ketika memasak dan pada saat
menemani si kecil tidur. Saat itulah aku berpikir bahwaada hal yang
tidak beres melanda keluargaku. Sikap ibu memaksaku untuk diam. Diam
saat si kecil sering bertanya kepadaku, “Aa, papah kemana?” secara
tiba-tiba. Setiap adikku bertanya, aku hanya diam. Seiring berjalannya
waktu, aku justru sering kali berbohong kepadanya. Aku berkata dengan
lembut, “Papah lagi kerja de”. Adikku hanya menjawabnya dengan, “Ooh…”
saja. Begitu saja setiap harinya. Aku tidak tahu harus menjawab apa,
karena ibu pun tidak menjawab pertanyaanku tentang ayah.
Si kecil semakin rewel akhir-akhir ini. Ibu pun menjadi mudah marah,
tidak seperti biasanya. Saat aku tatap raut wajahnya, aku bisa merasakan
ada beban yang sangat berat yang sedang dipikulnya. Suasana rumah
menjadi lebih mencekam, tidak seceria dulu saat ayah masih ada. Dulu,
saat ayahku masih berkumpul bersama kami, setiap sore tepatnya ba’da
ashar dia sering memutar musik-musik kesukaan si kecil atau yang lainnya
seperti Qasidah bahkan Tilawatil Qur’an. Ia sering membeli kaset DVD
sepulang kerja dan kami pun senang saat ayah membeli kaset baru. Apalagi
DVD kartun kesenanganku. Namun, kini setiap senja suasana rumah menjadi
aneh. Rasa-rasanya, hanya suara tangisan si kecil saja yang terus
mengisi waktu. Sejak saat itu, aku berubah menjadi pendiam. Teman-teman
sepermainanku menjadi tidak nyaman dengan sikap baruku itu. Ibu terlihat
lebih sibuk karena harus menjadi pedagang pakaian keliling sehingga
jarang berada di rumah. Kulitnya memerah karena terus ditempa panas
terik matahari. Si kecil pun sama, tempat bermainnya kini menjadi
dimana-mana karena selalu ikut ibu kemana pun ibu pergi. Sepulang
sekolah, sering kali kudapati rumah sepi dan kosong. Ibu masih
menjalankan aktivitasnya sebagai pedagang pakaian kredit keliling. “Ini
pasti gara-gara papah!” Gumamku kesal.
Senja pun berlalu, ibu dan si kecil pun tiba di rumah. Ibu nampak
lusuh, sedangkan si kecil langsung bermain seakan tidak mengenal rasa
letih setelah seharian diajak keliling di bawah terik matahari. Kini,
ibu jadi jarang berkomunikasi dan becanda kepadaku. Kesehariannya adalah
berangkat pagi dan pulang sore. Merasakan letih dan badan yang sakit,
ibu selalu tidur sore-sore. Selepas isya, ibu langsung tertidur pulas.
Aku mengerti kondisinya, niatku untuk kembali menanyakan tentang ayah
pun urung dan luluh seketika. Setiap malam, aku tidur dalam gejolak jiwa
yang aku sendiri bingung. Aku terlalu lemah untuk mencari jawaban saat
itu. Ya Allah, aku membutuhkanmu…
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar