Rabu, 30 September 2015

Analisis dan Argumentasi Pribadi Pada Kasus 'Manusia yang Tidak Memiliki Akal dan Pengetahuan Tidak Dapat Memiliki Kebebasan dan Tanggungjawab'


Tujuan Penulisan
Karya tulis ini disusun untuk merepresentasikan argumen penulis terhadap kalimat ‘Manusia yang tidak memiliki akal dan pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan dan tanggungjawab’. Penulis pada akhirnya akan memutuskan apakah menyetujui kalimat tersebut (pro) atau justru sebaliknya (kontra). Tentunya, pengambilan keputusan itu berdasarkan dari literatur, referensi, dan informasi yang pernah penulis ketahui sebelumnya.

Teknis Pengambilan Keputusan
Saya membaca kalimat itu secara seksama dan akhirnya memeroleh kesimpulan sementara, yaitu “Saya tidak bisa langsung memutuskan apakah saya berada di pihak pro atau kontra.” Hal tersebut disebabkan karena saya menemukan lebih dari dua term dalam kalimat ‘Manusia yang tidak memiliki akal dan pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan dan tanggungjawab’.  Sehingga, akan melahirkan proposisi yang lebih dari satu. Adapun nantinya, kesimpulan saya dalam mengambil keputusan ‘pro’ atau ‘kontra’ hanya bisa saya berikan kepada tiap-tiap proposisi yang dihasilkan nanti.
Term-term yang dikumpulkan akan saya kategorisasikan dalam tabel di bawah ini:
Term Bebas
Term Terikat
Akal
Kebebasan
Pengetahuan
Tanggungjawab
Apabila kita amati dengan seksama, kalimat di atas mengandung hubungan kasualitas dengan paham positivistik (jika X maka Y). Sehingga term di atas bisa berganti istilah menjadi Variabel, (1) Tidak berakal, (2) Tidak Berpengetahuan, (3) Tidak dapat memiliki kebebasan, (4) Tidak dapat memiliki tanggungjawab. Alhasil setelah dikategorikan, variabel-variabel tersebut dapat kita hubungkan menjadi proposisi-proposisi yang akan membantu saya dalam mengambil keputusan. Selengkapnya dapat kita perhatikan dalam bagan di bawah ini:


Dari bagan tersebut dapat diketahui empat proposisi, diantaranya:
1.      Manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki kebebasan
2.      Manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki tanggungjawab
3.      Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan
4.      Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki tanggungjawab

Analisis Term
Saya yakin perlu untuk mengetahui makna dari term tersebut. Tentunya akan berpengaruh kepada kesimpulan yang akan saya hasilkan kelak. Apabila kita perhatikan kembali kepada tiap-tiap proposisi di atas, maka akan ada sesuatu hal yang saya rasa menarik untuk ditanyakan (tentunya sebatas pertanyaan yang akan membantu saya untuk mengambil simpulan), hal itu seperti: (1) Apa itu akal? (2) Apakah akal memiliki batasan tertentu, sejauh mana? (3) Apa itu pengetahuan? (4) Pengetahuan seperti apa yang dimaksud dan sampai mana batasannya? (5) Apa itu kebebasan? (6) Apakah dalam kebebasan ini absolut, atau justru terdapat batasannya? (7) Apa itu tanggungjawab? (8) Apakah tanggungjawab dalam kasus ini bersifat ke dalam atau ke luar?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akal memiliki empat definisi diantaranya: Daya pikir (untuk memahami sesuatu); Jalan atau cara untuk melakukan sesuatu/daya upaya/ikhtiar; Tipu daya/kelicikan/ muslihat/kecerdikan; Kemampuan melihat dan cara memahami lingkungan. Beralih kepada konsep akal menurut Alquran, akal secara bahasa berasal dari kata Al-‘Aql. Dengan kekuatan akal, manusia mendapatkan ilmu dan ilmu yang digunakan serta dimiliki manusia bergantung pada kekuatan akalnya1. Alquran menggunakan akal sebagai sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang untuk terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Dengan kata lain, manusia yang berakal mampu mengendalikan hawa nafsunya, misalnya dorongan biologisnya semata. Pengertian yang lain pun mengatakan bahwa akal adalah sesuatu peralatan rohaniah manusia (tak nampak) yang berfungsi untuk mengingat, menganalisis, menyimpulkan, dan menilai serta membedakan sesuatu apakah itu benar atau salah2. Dari berbagai definisi akal di atas saya pun menyimpulkan bahwa batasan akal dalam konteks ini merupakan kemampuan untuk membedakan benar dan salah, baik dan buruknya sesuatu untuk dirinya dan selain dirinya (lingkungan).
            Pengetahuan berkata dasar tahu yang menurut KBBI berarti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb); kenal atau mengenali akan sesuatu; mengindahkan bahkan sampai memperdulikan; pandai atau cakap. Sedangkan menurut Adlany (2015) pengetahuan (knowledge) merupakan sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan hubungan dengan lingkungan dan pikiran-pikiran3. Dalam komunikasi sehari-hari kita acap kali sering menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah terbiasa menyelesaikan soal-soal seperti ini”, “Saya menginformasikan kejadian itu” dan kalimat-kalimat lainnya yang menunjukan bahwa kita telah mengetahui sesuatu. Dari definisi di atas maka diketahuilah bahwa batasan dari pengetahuan tergantung pada konteks atau kasus apa yang sedang kita kaji. Batasan pengetahuan adalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
            Kebebasan dalam kasus ini saya tafsirkan sebagai kebebasan berperilaku. Manusia saya asumsikan sebagai pemilik kebebasan tertinggi dalam hidupnya. Milyaran pilihan dalam kehidupan membuat dia harus
memilih satu dari sekian banyak. Sesungguhnya bebas dan sah-sah saja. Hanya saja, manusia yang memiliki akal dan mengetahui mana yang baik dan buruk dan benar serta salah terbatasi kebebasannya. Kita sebut saja norma dan etika, bagaimana kebebasan itu terkerangkengi oleh dua hal itu. Jadi, kebebasan itu adalah sesuatu yang ada dalam diri setiap manusia. Namun keberadaannya terbatasi oleh akal.
            “Kamu harus bertanggungjawab!”, “Amanat tidak akan salah memilih pundak, dan kelak nanti kamu akan mempertanggungjawabkannya”, “Apakah divisi Anda sudah melampirkan laporan pertanggungjawabannya?”. Sebenarnya apa itu tanggungjawab? Mengapa manusia harus bertanggungjawab. Tentunya ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diketahui bukan?
      Naufal Muttaqien dalam Kompasiana (Published: 12/06/2013) mendefinisikan tanggungjawab sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak. Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Naufal pun mengatakan bahwa tanggungjawab bersifat kodrati. Artinya, sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan pasti masing-masing orang akan memikul suatu tanggungjawabnya sendiri-sendiri. Apabila seseorang tidak mau bertanggungjawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa untuk tindakan tanggungjawab tersebut4. Dengan demikian tanggungjawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
      1.      Dari sisi yang berbuat
      2.      Dari sisi kepentingan pihak lain
Saya menafsirkan bahwa dua sisi itu juga mengandung arti kita mutlak harus bertanggungjawab kepada diri sendiri, dan juga orang lain. Mau atau tidak, cepat atau lambat saya yakini akan ada pertanggungjawabannya.

Pengambilan Keputusan
      1.     Manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki kebebasan
Saya setuju dengan kalimat ini. Karena, manusia yang berakal (mengetahui mana yang baik dan buruk) saja tidak dapat memiliki kebebasan untuk memilih pilihan karena terbatasi oleh norma, etika, dan agama. Apalagi yang tidak berakal? Akan sangat berbahaya terhadap orang lain di lingkungannya atau bahkan dirinya sendiri apabila dia mendapatkan atau diberikan kebebasan. Pernah mendengar kalimat, “Jangan bersikap semaumu dewek lah!, nyebelin!”.

       2.     Manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki tanggungjawab
Dalam kasus ini saya ingin membagi tanggungjawab ke dalam dua jenis sebagaimana di paparan sebelumnya, yaitu tanggungjawab kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Maka, saya memutuskan untuk Tidak Setuju apabila manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki tanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Karena, sampai saat ini saya masih bisa menyaksikan manusia yang tidak berakal (maaf) orang gila yang sering kita lihat dipinggir jalan masih mencari makanan, bahkan minta rokok, dan urusan perut lainnya. Sederhananya, dia bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Hal itu saya asumsikan bahwa akalnya turun beberapa tingkat sehingga menyentuh tingkat yang paling mendasar yaitu bertahan hidup. Kita lebih familiar dengan istilah tuntutan biologis atau hewani. Namun, saya Setuju apabila itu akal dia dikaitkan dengan tanggungjawab kepada pihak lain. Sebab akan sangat berbahaya apabila manusia yang tidak berakal diberikan kewenangan/dapat memiliki tanggungjawab. Contoh saja (sekali lagi maaf) orang gila kita berikan atau dapati tanggungjawab untuk membetulkan listrik di rumah kita. Apakah kita akan mau melakukannya dan mempercayakan amanat itu kepadanya? Akankah dia bisa mempertanggungjawabkannya? Sampai saat ini saya belum mengetahui bahwa orang yang tidak berakal layak dapat memiliki tanggungjawab.

       3.     Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan
Pengetahuan apa? Perlu diberikan perumpamaan. Masih, soal listrik saja supaya hangat. Saya Setuju dengan statement ini (dalam konteks melibatkan orang lain atau sebaliknya). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dalam bidang kelistrikan sesungguhnya memiliki kebebasan di dalam dirinya. Apakah dia akan memegang kawat listrik bertegangan, atau dia belajar. Dia bebas melakukan apa saja sesuai apa yang dia kehendaki dibalik ketidaktahuannya terhadap listrik. Hanya saja, tentu itu tidak boleh terjadi. Seorang balita yang belum mengetahui listrik misalnya, dia tidak dapat memiliki kebebasan untuk mengotak-atik listrik karena ketidaktahuannya pada hal itu. Dikatakan tidak dapat karena ada yang melarang, siapa? Ya, kamu benar: Lingkungannya. Bisa jadi orang tuanya, atau keluarganya.

       4.     Manusia yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki tanggungjawab
Tidak memiliki pengetahuan bukan berarti tidak berakal bukan? Saya mengasumsikan subjek adalah seseorang yang berakal sehat dan tidak mengetahui tentang dunia kelistrikan. Saya Setuju pada kalimat di atas dalam konteks jika output pekerjaannya dirasakan orang lain. Misalnya ketika subjek diberikan tanggungjawab untuk membetulkan listrik suatu rumah yang terjadi konsleting, mana dia mau? Bahkan, pasti dia akan menolak amanat itu sebelumnya. Atau walaupun dia mau, teman-temannya yang mengetahui ketidaktahuannya mungkin akan melarang dia. Dengan kata lain, dia tidak dapat memiliki tanggungjawab terhadap pekerjaan itu karena tidak memiliki pengetahuan.