Minggu, 07 September 2014

Prinsip Komunikasi Massa


1.      KOMUNIKATOR TERLEMBAGAKAN
Ditinjau dari komunikatornya, komunikasi massa itu menggunakan media, baik media cetak maupun elektronik. Komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. Sebagai contoh konkret dari uraian di atas adalah kronologis proses penyusunan pesan dari komunikator kepada komunikan yang akan disampaikan melalui surat kabar. Seperti yang tertulis pada (Ardianto dkk, 2014: 7) tahapan itu terdiri dari: komunikator menyusun pesan dalam bentuk artikel atas dasar asumsi keinginan pribadinya maupun permintaan suatu media massa yang bersangkutan. Selanjutnya, pesan tersebut diperiksa oleh penanggungjawab rubrik. Dari penanggung jawab rubrik diserahkan kepada redaksi untuk diperiksa layak tidaknya pesan itu untuk dimuat atau tidaknya. Ketika sudah layak, pesan dibuat setting-nya, lalu diperiksa oleh korektor, disusun oleh lay-out man agar komposisinya bagus, dibuat plate, kemudian masuk mesin cetak. Tahap akhir setelah dicetak merupakan tugas bagian distribusi untuk menyebarluaskan surat kabar yang berisi pesan itu kepada pembacanya.

2.      PESAN BERSIFAT UMUM
Pesan yang ditujukan dari komunikasi massa bersifat umum. Di sini timbul sifat komunikasi massa yang terbuka. Dalam artian pesan tersebut tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu, namun untuk semua orang. Dengan demikian, pesan komunikasi massa dapat berupa fakta walaupun tidak semua fakta dapat dimuat dalam media massa. Pesan tersebut harus memiliki kriteria: penting atau menarik, atau penting sekaligus menarik. Sehubungan dengan sifat pesan yang umum, isi pesan yang dimuat dalam media massa harus penting untuk semua orang. Dewasa ini, banyak sekali berita-berita yang ‘dinasionalkan’ padahal tidak memenuhi kriteria di atas. Seperti tayangan pada stasiun TV nasional tentang Bus Trans Jakarta, bagi masyarakat Jakarta itu ‘barangkali’ penting, namun bagi masyarakat Papua, apa pentingnya bagi mereka?

3.      KOMUNIKANNYA ANONIM DAN HETEROGEN
Pada komunikasi antarpribadi, komunikator akan mengenal komunikannya, mengetahui identitasnya, seperti: nama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, bahkan mungkin mengenal sikap dan perilakunya. Sedangkan dalam komunikasi massa sebaliknya, karena komunikasinya menggunakan media dan tidak melewati proses tatap muka. Komunikannya juga heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi.

4.      MEDIA MASSA MENIMBULKAN KESEREMPAKAN
Effendy (1981) mengartikan keserempakan media massa itu sebagai keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. Ini merupakan suatu kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak pada waktu tertentu memperoleh pesan secara serempak.

5.      KOMUNIKASI MENGUTAMAKAN ISI KETIMBANG HUBUNGAN
Komunikasi antarpribadi mengutamakan unsur hubungan. Semakin mengenal antarpelaku komunikasi, maka komunikasinya semakin efektif. Sebagai contoh, pembicaraan sepasang suami istri di meja makan tentu tidak harus menggunakan sistematika tertentu seperti pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Penyampaian pesan bisa dengan ‘seenaknya’ ngaler ngidul terlebih dahulu tanpa harus memerhatikan sistematika yang diutamakan komunikasi massa. Pada komunikasi massa, hal terpenting dalam proses penyusunan pesan adalah sistematika pesan yang disesuaikan dengan jenis medianya. Hal itu agar komunikannya dapat memahami isi pesan tersebut. Itulah sebabnya mengapa perlu ada cara penulisan lead untuk media cetak, lead untuk media elektronik (radio maupun televisi), cara menulis artikel yang baik, dan seterusnya.

6.      KOMUNIKASI MASSA BERSIFAT SATU ARAH
Dibalik ‘kekuatan’ dari komunikasi massa, ini merupakan kelemahan daripadanya: bersifat satu arah. Dengan penggunaan media dalam penyampaian pesannya, komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung, Komunikator akan mendominasi dalam menyampaikan pesan dan komunikan pun aktif dalam menerima pesan. Namun, di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana yang terjadi dalam komunikasi antarpribadi.
            Berkembangnya media elektronik membuat inovasi baru dalam bermedia massa. Kini, surat kabar tidak hanya berbentuk cetak yang seakan-akan mutlak komunikasi massa bersifat satu arah. Dengan adanya surat kabar elektronik, pengelola media menyediakan kolom komentar di setiap berita. Hal itu merupakan terobosan positif dalam inovasi dan perkembangan media massa. Komunikan dapat menyatakan apresiasinya terhadap pemberitaan tersebut. Walaupun tetap saja tidak ada interaksi antara pembaca dengan penulis berita pada kolom komentar tersebut.

7.      STIMULASI ALAT INDRA TERBATAS
Penggunaan alat indera dalam komunikasi massa juga tidak seperti komunikasi lainnya. Perbandingannya adalah pada komunikasi antarpribadi yang bersifat tatap muka, pada saat itulah kedua belah pihak dapat meilhat, mendengar secara langsung, bahkan mungkin terjadi sentuhan. Itu tidak terjadi dalam komunikasi massa, stimulasi alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan media cetak lainnya, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8.      UMPAN BALIK TERTUNDA DAN TIDAK LANGSUNG

Inilah unsur dalam berkomunikasi yaitu feedback. Itu menjadi penting sehingga seringkali menjadikan feedback sebagai tolak ukur efektivitas komunikasi. Komunikasi antarpribadi, kelompok, dan massa pun membuat feedback menjadi sesuatu yang penting. Umpan balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda dan tidak langsung. Artinya, komunikator pada komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya. Tanggapan khalayak bisa diterima lewat telepon, surat pembaca, dll. Tanggapan tersebut tidak dapat diperoleh langsung sebagaimana komunikasi antarpribadi. Proses penyampaian tanggapan melalui telepon menunjukan bahwa feedback komunikasi massa bersifat tidak langsung. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan telepon, menulis surat dan lainnya menunjukan bahwa tanggapan komunikasi massa bersifat tertunda.

Rabu, 03 September 2014

Mengenal Komunikasi Organisasi


AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran


Tugas ini merupakan rangkuman buku Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan yang ditulis oleh R. Wayne Pace dan Don F. Faules halaman 1-22. Di dalam rangkuman ini akan terjawab tiga pertanyaan:
      1.      Apa itu komunikasi organisasi?
      2.      Bagaimana pandangan Pace dan Faules terhadap manusia?
      3.      Bagaimana pandangan Pace dan Faules terhadap organisasi?
      
      Apa itu Komunikasi Organisasi?

Sebuah literatur komunikasi organisasi harus mempertimbangkan setidaknya dua konsep dasar: organisasi dan komunikasi. Dengan demikian, studi komunikasi organisasi merupakan studi mengenai cara orang memandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri. Objek-objek tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan berorganisasi, misalnya manusia dan organisasi itu sendiri. Tentu saja kita memerlukan dua momen yang berbeda saat memelajari objek-objek tersebut. Ada kalanya kita menempatkan diri kita di sisi luar objek, namun juga dari dalam objek itu sendiri. Sehingga, kita akan mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan harapan awal.
Istilah “pengorganisasian” dan “organisasi” sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari, hal itu menjadi alasan mengapa orang-orang mengabaikan kerumitan berorganisasi. Padahal, untuk memahami hakikat berorganisasi tidak cukup dengan sekedar medefinisikan pengorganisasian, organisasi, dan komunikasi organisasi. Untuk memahaminya, perlu adanya pemahaman terkait realitas sosial, sifat manusia, dan organisasi. Ketiga hal tersebut merupakan pandangan-pandangan alternatif yang akan memandu pemahaman kita mengenai komunikasi organisasi dan pengimplementasiannya.
Di dalam buku ini, terdapat istilah objektif dan subjektif dalam merujuk suatu perkara. Penjelasan dari istilah objektif merujuk kepada pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata”. Lingkunganlah yang mendominasi serta menjadi sistem yang independen dari pengamat (perceiver)-nya. Sedangkan istilah “subjektif” menunjukan bahwa realitas itu sendiri merupakan suatu konstruksi sosial (sistem yang dapat berubah dan diubah). Pandangan “objektif“ mengasumsikan bahwa orang-orang dapat menjauhkan diri mereka dari bias-bias mereka dan bahwa “kebenaran” dapat ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penilaian. Semetara itu, pandangan “subjektif” mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan tidak mempunyai sifat yang “tidak dapat berubah”.

Pandangan-Pandangan Alternatif  yang dimaksud adalah:
     1.     Realitas Sosial
                  Pandangan ini mengenalkan kita kepada realitas sosial tepatnya petunjuk praktis dalam      memahami dunia sosial kita. Terdapat beberapa poin penting yang mendasari pandangan          ini:
1.      Orang-orang (dengan segala perbedaannya) berperilaku dengan cara berbeda pula pada sesuatu yang mereka anggap sebagai objek yang layak untuk diamati.
2.      Perbedaan-perbedaan tersebut didasari oleh pemikiran orang-orang tentang objek-objek tertentu.


Dalam pandangan ini, objek yang dimaksud adalah objek sosial: sekedar objek yang mempunyai makna bagi suatu kolektivitas atau menuntut tindakan dari manusia. Dalam pengertian ini, perilaku dan objek merupakan sebuah konstruksi sosial, karena manusialah yang memegang peranan penting dalam proses pembuatan perilaku dan objek itu signifikan. Dengan kata lain, besar atau kecil pengaruh objek sosial bergantung pada manusia yang memaknainya.

Asumsi ontologis mengenai realitas berdasarkan:
1.      Pendekatan Subjektif
a.   Realitas sebagai proyeksi imajinasi manusia
   Dunia sosial dianggap sebagai proyeksi dari kesadaran individu; ia merupakan suatu tindakan imajinasi kreatif dan kondisi intersubjektif yang meragukan. Dikatakan bahwa pikiran seseorang adalah dunia seseorang.
b.   Realitas sebagai suatu konstruksi sosial
Dunia sosial sebagai suatu proses yang berkesinambungan, dicipta ulang dalam setiap pertemuan (encounter) kehidupan sehari-hari ketika orang-orang menuntut diri mereka sendiri (di dunia mereka sendiri) untuk membentuk suatu wilayah definisi yang bermakna.
c.    Realitas sebagai wacana simbolik
Dunia sosial merupakan suatu pola hubungan dan makna simbolik yang ditopang oleh suatu proses tinfakan dan interaksi manusia. Pola tersebut selalu terbuka bagi reafirmasi atau perubahan melalui penafsiran dan tindakan individu.

2.      Pendekatan objektif
a.      Realitas sebagai bidang informasi kontekstual
   Dunia sosial adalah suatu bidang bentuk dan kegiatan yang selalu berubah berdasarkan tranmisi informasi. Bentuk kegiatan yang berlaku pada suatu saat tertentu mencerminkan suatu pola perbedaan yang ditopang oleh suatu cara tertentu pertukaran informasi.
b.     Realitas sebagai proses yang konkret
    Dunia sosial adalah suatu proses yang berkembang, yang sifatnya konkret, namun selalu berubah dalam bentuk rincinya. Segala sesuatu berinteraksi dengan segala sesuatu lainnya dan amat sulit untuk menemukan hubungan kausal yang tetap antara proses-proses utamanya.
c.      Realitas sebagai struktur konkret
     Dunia sosial adalah sesuatu “di luar sana” yang keras, konkret, dan nyata, yang mempengaruhi setiap orang yang mempengaruhi setiap orang dengan suatu cara. Dunia sosial dapat dianggap sebagai suatu struktur yang terdiri dari suatu jaringan hubungan tetap antara bagian-bagian pokoknya.

Mulai dari ujung “objektif” kontinum itu, perilaku adalah sangat ditentukan dan individu adalah benar-benar produk lingkungan. Menuju ujung “subjektif”, perilaku menjadi lebih “suka rela” dan manusia lebih cenderung merupakan faktor yang memutuskan bagaimana lingkungan eksternal dikonstruksi. Pandangan “objektif” yang ekstrem menunjukan bahwa manusia mengamati lingkungan mereka, menentukan mereka, menentukan makna, dan menggunakan bahasa sesuai dengan itu. Sedangkan pandangan “subjektif” menekankan penciptaan makna. Penman (1992) di dalam buku ini menyatakan bahwa, “pemahaman kita berasal dari proses penciptaan makna kita, bukan berasal dari pengalaman fisik atau pengamatan semata”. Berdasarkan pandangan ini pula, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Di dalam buku ini pula, Weick (1977) menyatakan bahwa alih-alih mengendalikan lingkungan kita, suatu perubahan pikiran mendorong individu untuk memperoleh pandangan lebih baik guna mengendalikan proses yang menghasilkan suatu lingkungan yang dimainkan dan proses penjulukan (labeling) yang terjadi setelah itu.
Seorang objektivis yang ekstrem memandang dunia sosial dengan cara yang sama ketika kita memikirkan dunia fisik dan alam, sebagai sesuatu yang konkret dan terpisah dari orang yang memandang dan menyentuh dunia. Seorang subjektivis yang ekstrem, sebaliknya, berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang eksis di luar pikiran orang yang bertindak dan mempersepsi, dan bahwa realitas adalah benar-benar suatu proses manusiawi yang memungkinkan kita menciptakan objek-objek fisik dalam pikiran kita dan memberikan tanggapan terhadap objek-objek tersebut, seakan-akan objek-objek tersebut eksis sebagai peristiwa-peristiwa alam.
Orang yang mendekati realitas secara objektif melihat realitas tersebut sebagai sesuatu yang konkret atau fisik dengan suatu struktur yang harus dan ditemukan. Sebaliknya, orang yang mendekati realitas secara subjektif memandang realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang-orang menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Berdasarkan pandangan kaum itu, orang-orang menciptakan suatu keteraturan bahkan menemukan keteraturan objek-objek dunia, dan semua hal yang ada di dalamnya, pada dasarnya tidak terstruktur, atau sekurang-kurangnya berperilaku dengan cara-cara yang tidak memahami dirinya sendiri.

2.     Sifat Manusia
      Asumsi mengenai sifat manusia berdasarkan:
1.         Pendekatan Subjektif
a.    Manusia Sebagai Mahkluk Transendental
Manusia dipandang memunyai tujuan, mengarahkan energi psikis dan pengalamannya dengan cara-cara yang mewujudkan dunia dalam suatu bentuk yang bermakna dan bertujuan.
b.   Manusia Menciptakan Realitas
Manusia dianggap mampu menciptakan realitas mereka dengan cara-cara yang paling mendasar, dalam usaha untuk membuat dunia mereka dapat dijelaskan kepada mereka sendiri dan kepada orang-orang lainnya.
c.    Manusia Sebagai Aktor Sosial
Manusia adalah aktor sosial yang menafsirkan lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi mereka. Dalam proses ini manusia menggunakan bahasa, label, dan rutinitas untuk pengelolaan kesan, dan mode-mode lain tindakan yang spesifik secara kultural.

2.         Pendekatan Objektif
a.      Manusia Sebagai Pemroses Informasi
Manusia dianggap terlibat dalam suatu proses berkesinambungan interaksi dan pertukaran dengan konteks mereka: menerima, menafsirkan, dan bertindak berdasarkan informasi yang diterima, dan dengan demikian menciptakan suatu pola baru informasi yang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam bidang tersebut secara keseluruhan.
b.     Manusia Sebagai Agen yang Adaptif
Manusia eksis dalam hubungan yang interaktif dengan dunia mereka. Mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks atau lingkungan mereka.
c.      Manusia Sebagai Mekanisme yang Menanggapi
Manusia adalah suatu produk kekuatan eksternal dalam lingkungan yang melingkupi mereka. Meskipun persepsi manusia dapat mempengaruhi proses ini hingga derajat tertentu, manusia selalu memberikan tanggapan terhadap situasi dengan suatu cara yang berdasarkan hukum (berdasarkan aturan).

Pendekatan objektif sangat menekankan lingkungan sebagai suatu faktor penentu dalam menjelaskan perilaku manusia. Manusia dibentuk oleh lingkungan, dan keberhasilan serta kelangsungan hidup mereka bergantung pada seberapa baik mereka beradaptasi dengan realitas nyata. Pendekankan subjektif menekankan bahwa manusia punya peranan yang lebih aktif dan kreatif. Kreasi mereka sendiri bukanlah produk lingkungan, namun mereka menciptakan lingkungan tersebut.
Beralih ke tindakan manusia: berdasarkan pandangan kaum objektivis, tindakan itu bertujuan, intensional, goal-oriented, dan rasional. Mereka bertindak berdasarkan tujuan, mempertimbangkan konsekuensi tujuan mereka secara hati-hati. Teruntuk kaum subjektivis, tindakan muncul dari proses sosial dalam interaksi manusia. Fokusnya adalah perilaku yang berkembangan (emergent) yang bergantung pada konstruksi sosial yang terjadi selama proses interaksi. Kaum objektivis menyarankan bahwa manusia dapat diramalkan, selama kekuatan-kekuatan pokok keteraturan alamiah (natural order) dapat diuraikan. Tujuan utamanya adalah berperilaku secara rasional dan menentukan bagaimana orang-orang beradaptasi dengan situasi. Kaum subjektivis menekankan bahwa manusia menciptakan keteraturan dan situasi.

3.   ORGANISASI
                Pendekatan objektif menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik dan konkret, dan merupakan sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti. Sebagian orang menyebut pendekatan ini sebagai pandangan yang menganggap organisasi sebagai wadah (container view of organisations). Pendekatan subjektif memandang organisasi sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang. Organisasi diciptakan dan dipupuk melalui kontak-kontak yang terus menerus berubah yang dilakukan orang-orang antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak eksis secara terpisah dari orang-orang yang perilakunya membentuk organisasi tersebut.
        Berdasarkan pandangan objektif, organisasi berarti struktur; berdasarkan pandangan subjektif, organisasi berarti proses. “Organisasi” secara khas dianggap sebagai kata benda, sementara “pengorganisasian” dianggap sebagai kata kerja (Weick, 1979). Kaum objektivis menganggap organisasi sebagai struktur, sesuatu yang stabil. Kaum subjektivis menganggap organisasi sebagai mengorganisasikan perilaku.
         Alat yang digunakan untuk menggambarkan organisasi untuk memberikan pandangan serta pemahaman mengenai organisasi; alat tersebut merupakan alat deskriptif yang primer: metafora (kiasan). Morgan dan Smircich (1980) berpendapat bahwa teoretisimemilih metafora yang didasarkan atas asumsi-asumsi  mengenai realitas dan sifat manusia yang melibatkan mereka dalam jenis dan bentuk pengetahuan tertentu. Morgan kembali berpendapat bahwa suatu metafora didasarkan atas suatu kebenaran parsial, dan ekspresi metafora yang paling kreatif bergantung pada “kekeliruan konstruktif”, yang menekankan ciri-ciri tertentu. Keterlibatan utama dari gagasan ini, menurut Morgan, adalah bahwa, “Tidak ada metafora yang dapat menangkap sifat kehidupan organisasi secara total”, dan bahwa, “Metafora yang berbeda dapat menangkap sifat kehidupan organisasi dengan cara yang berbeda, setiap metafora menciptakan cara pandang yang kuat, khas, namun pada dasarnya parsial... Mengakui bahwa teori organisasi bersifat metafora adalah mengakui bahwa teori organisasi adalah suatu usaha yang pada dasarnya subjektif, yang berkaitan dengan produksi analisis satu sisi atas kehidupan organisasi”.
          Ingatlah bahwa di mana dan bagaimana manusia sesuai dengan teori organisasi akan bergantung pada pendekatan mana yang anda gunakan (lihat Morgan, 1986, mengenai metafora-metafora organisasi).

Senin, 01 September 2014

Teknik Kampanye: Pandangan Praktis

AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran



Secara sederhana, kampanye bertujuan untuk memengaruhi khalayak supaya memiliki anggapan yang sama dengan pengirim pesan kampanye. Sebagaimana definisi kampanye menurut Rogers dan Storey (1987) sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Venus (2012) mengemukakan bahwa dari definisi di atas, kampanye memiliki beberapa karakter seperti: sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggungjawab suatu produk kampanye, sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi bahkan mengevaluasi kredibilitas sumber pesan tersebut setiap saat.
            Masyarakat relatif hanya mengetahui istilah ‘kampanye’ secara alami. Momen pemilu legislatif maupun presiden sarat dengan kegiatan kampanye. Baliho, spanduk, dan berbagai aksesoris kampanye “berkutat” dalam kehidupan masyarakat dalam kurun waktu tertentu walau masih banyak berbagai pelanggaran. Dengan alat-alat kampanye itulah berbagai kepentingan “menjual diri” pada kurun waktu tertentu.
            Hampir serupa dengan kampanye: pemasaran politik. Pemasaran politik merupakan strategi dari kampanye politik. Menurut O’Shaughnessy, seperti dikutip Firmanzah (2008), Marketing politik bukanlah konsep untuk hanya “menjual” partai politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Di samping itu, marketing politik merupakan sebuah teknik untuk memelihara hubungan dua arah dengan publik.
Dari definisi tersebut terkandung pesan; Pertama, pemasaran politik dapat menjadi “teknik” dalam menawarkan dan mempromosikan parpol atau kandidat. Kedua, menjadikan pemilih sebagai subjek, bukan objek. Ketiga, menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam penyusunan program kerja. Keempat, pemasaran politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan alat untuk menjaga hubungan dengan pemilih sehingga, dari hal itu akan terbangun kepercayaan yang kemudian diperoleh dukungan suara pemilih.
            University College London Union mengemukakan bahwa dewasa ini berbagai lembaga kampanye telah bereksperimen terkait bagaimana proses dan teknik berkampanye efektif. Tentunya hasil eksperimen ini dapat digunakan secara praktis oleh siapa saja yang hendak berkampanye. Beberapa teknik kampanye efektif tersebut terdiri dari:
1.        Menulis surat
                 Tanggapan positif tercipta pada kampanye dengan teknik menulis surat. Pada masa kampanye pemili presiden tempo lalu, teknik kampanye ini sempat menuai kontroversi. Seperti dilansir oleh Detik.com (2/7),
Jakarta -Calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto mengirimkan jutaan surat khusus kepada berbagai pihak, termasuk guru-guru melalu jasa 'Pak Pos'. Cara Prabowo tersebut disebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pelanggaran aktivitas kampanye karena pengiriman surat berisi konten politik ke sekolah. 
Pengaplikasian teknik itu diperlukan kewaspadaan tinggi karena memiliki resiko yang kompleks.

2.        Dukungan selebritis maupun tokoh penting lain
                 Mempunyai banyak relasi tokoh-tokoh penting dan berprestasi serta bersedia untuk memberikan testimoni positif akan mendongkrak citra organisasi yang melakukan kampanye. Di dalam salah satu strategi dan teknik jitu pemasaran, teknik rekomendasi menjadi teknik yang sangat direkomendasikan untuk kampanye tidak langsung,

3.        Menulis di media massa cetak maupun elektronik
          Walaupun hasil Survei Media Index yang dilakukan oleh Nielsen Media menunjukkan penetrasi media cetak terhadap pembacanya semakin menurun sejak tahun 2005. Namun tetap saja media massa menjadi peran penting bagi suksesnya kampanye. Berbeda halnya dengan media elektronik seperti penggunaan internet. Lembaga yang sama menyatakan bahwa hasil survei yang berbeda justru terjadi pada media internet dan film. Kedua media ini terus berkembang secara perolehan konsumen. Internet terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah pengguna internet yang semakin meluas.
                 Pada kuartal kedua tahun 2009, para konsumen media internet mencapai 17 persen. Melonjak jauh dari tahun 2005 yang hanya 8 persen. Demikian juga media film, walaupun sempat turun pada tahun 2006 dengan hanya memperoleh 10 persen. Namun perlahan, pengguna media film meningkat pada kuartal kedua 2009, mencapai 17 persen.

4.        Selebaran
                 Selebaran bisa menjadi langkah efektif untuk meraih perhatian. Dengan menggunakan itu, informasi mengenai isi kampanye dapat terlihat lebih sederhana dan mudah untuk dicerna. Pengimplementasian selebaran ini bisa di tempat-tempat ramai seperti toko, stand di kampus, apalagi ketika sedang berkumpulnya khalayak pada suatu acara. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk keefektifan teknik selebaran adalah:
a.     Batasi informasi hanya tiga poin penting saja
b.    Bubuhkan detail terkait beberapa kegiatan penting
c.     Selalu membubuhkan kontak lanjut seperti rincian organisasi, nomor pelayanan telepon dll.

5.        Aksi Langsung
                 Teknik ini dianggap yang paling efektif untuk mengambil hati khalayak. Sebagaimana Kompas edisi 24 September 2013 membahas teknik kampanye Jokowi dan Ahok kala masa Pilkada DKI Jakarta.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, cara kampanye dari Jokowi dan Basuki atau Ahok itu telah menjadi kunci kemenangan kandidat yang diajukkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya tersebut. Cara kampanye itu berbeda dari cara-cara dari figur ataupun elite partai politik sebelumnya.
"Cara berkampanye Jokowi-Ahok itu efektif. Dia tidak kumpulkan orang, tapi datangi orang. Kampanye jemput bola yang tentu menghemat biaya," ujar Jeirry di Maarif Institute, Jakarta, Senin (24/9/2012).
Jeirry menjelaskan, kampanye yang biasa dilakukan figur atau elite parpol dengan cara mengumpulkan orang di lapangan terbukti tidak efektif dalam menarik suara pemilih. Hal tersebut disebabkan adanya jarak antara pemilih dan figur yang akan dipilihnya. Selain itu, masyarakat Indonesia telah jenuh dengan cara kampanye di lapangan yang teramat monoton.”
Kemenangan Joko Widodo pada pemilu 2014 diperkirakan karena teknik ini. Hal itu didukung dengan berkacanya konsultan kampanye pasangan capres-cawapres nomor urut dua itu serupa dengan gaya kampanye Presiden Amerika Serikat terpilih yaitu Barack Obama. Seperti dilansir pada koran elektronik Tempo.co. (6/7):
TEMPO.CO, Jakarta - Melihat gaya kampanye calon presiden Joko Widodo di Stadion Gelora Bung Karno, Sabtu, 5 Juli 2014, mengingatkan orang pada kampanye Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ketika mencalonkan diri pada 2008 dan 2012, Obama biasa menggunakan pakaian sederhana dan lincah di panggung kampanye.

Daftar Pustaka
Firmanzah. (2008). Marketing Politik. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Rogers, E. M., & Storey  J. D. (1987). Communication Campaign. Dalam C. R. Berger & S.H. Chaffe (Eds.), Handbook of Communication Science. New Burry Park, CA:Sage
Venus, Antar. (2012). Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media



Hakikat Komunikasi Organisasi

AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran



In syaa Allah sedang dalam tahap penyusunan :)

Jaket Hoodie Unpad: Menebarkan Semangat dengan Kehangatan

Bismillah.. :)
Apa kabar Sahabat Kresna?
Dengan bangga kami membuka pemesanan JAKET HOODIE UNPAD: LET'S DO IT! To Be Better Person For The Better Future.
Jaket ini kami yakini mampu merepresentasikan semangat kebanggaan menjadi bagian dari Universitas Padjadjaran.
Pemesanan dibuka mulai hari ini sampai tanggal 20 September 2014.

Format pemesanan: NAMA LENGKAP, FAKULTAS, DAN UKURAN. 
Kirim ke No. Handphone 0896 2796 0494 atau melalui akun medsos yang tertera pada gambar.
Pesanan akan diproses apabila telah melakukan transfer sebesar 120K melalui nomor rekening BRI a.n. Aziz Muslim 401601011465537.
Setelah itu konfirmasi dan unggahlah foto bukti pembayaran melalui pesan FB Aziez Moeslim.


Terima kasih
Salam
CEO & FOUNDER KRESNA A. CLOTHING
AZIZ MUSLIM