Setiap
proses komunikasi sudah dapat dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan.
Baik itu komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan komunikasi lainnya.
Sebagai insan akademika yang berkecimpung dalam keilmuan komunikasi, sudah
sepatutnya kita mengetahui apa-apa saja yang kemungkinan akan menjadi hambatan
dalam proses komunikasi kita. Dalam Ardianto (2014), terdapat beberapa hambatan
yang telah dikelompokan. Sehingga, kita dapat mampu mengenali dan mempelajarinya
lebih mudah. Seusai mengenali dan mempelajari, kita diharapkan mampu memahami
berbagai hambatan dari komunikasi massa. Supaya kita dapat mengantisipasi
berbagai hambatan tersebut.
Hambatan
dalam komunikasi massa dikelompokan menjadi tiga hal, yakni psikologis,
sosiokultural, dan interaksi verbal. Berikut ini adalah pembahasan mengenai
ketiga hal tersebut.
1.
Hambatan
Psikologis
Alasan
mengapa disebut hambatan psikologis karena hambatan tersebut merupakan
unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia (Ardianto, 2014, hal. 89) . Terdiri dari
subpembahasan yakni kepentingan, prasangka, stereotip, dan motivasi.
Pemaparan
dari kepentingan adalah bahwa manusia hanya akan memperhatikan stimulus yang
ada hubungannya dengan kepentingannya. Jika tidak ada kepentingan, maka itu
akan dilewati begitu saja. Ditambah lagi bahwa komunikan dalam komunikasi massa
bersifat heterogen. Sangat kompleks sekali karena kita bisa mengelompokannya
dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lainnya. Tentu saja
perbedaan itu berpengaruh terhadap kepentingan-kepentingan mereka saat
berkomunikasi massa. Karena pada setiap pesan di dalam komunikasi massa akan
mendapatkan persepsi yang berbeda-beda dari komunikannya terutama dari segi manfaat
atau kegunannya. Maka, seleksi pun akan secara otomatis terjadi dalam kegiatan
komunikasi massa.
Prasangka
berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap
serta perilakunya terhadap mereka. Persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2003, hal. 51) . Terdapat faktor
fungsional dan faktor struktural yang merupakan penentu dari persepsi. Pada
umumnya, prasangka dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap
kelompok masyarakat lainnya karena perbedaan suku ras dan agama (Ardianto,
2014, hal. 92). Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi
tercapainya suatu tujuan dalam komunikasi. Menurut (Effendy, 2002, hal. 44) prasangka melibatkan
emosi yang memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka tanpa
menggunakan pikiran yang rasional. Emosi seringkali membutakan pikiran dan
pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Untuk mengatasi hambatan prasangka,
komunikator dalam komunikasi massa diharapkan berada di posisi yang netral.
Juga harus memiliki reputasi yang baik, artinya dia tidak pernah terlibat dalam
suatu perkara yang telah menyakiti sekelompok komunikaan tertentu.
Kesimpulannya, komunikator dalam komunikasi massa harus bersipat acceptable.
Stereotip
merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak
pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip ini merupakan
hal yang harus diwaspadai komunikator komunikasi massa. Mengingat apabila dalam
proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotip tertentu pada
komunikannya, maka dapat dipastikan pesan apa pun tidak akan bisa diterima oleh
komunikan.
Motivasi
komunikan juga berpengaruh kepada efektivitas komunikasi massa. Saking
berpengaruhnya, motivasi lebih dianggap sebagai penghambat dalam proses
komunikasi massa. Setiap manusia pada hakikatnya memiliki motif tertentu. Motif
merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau
dorongan-dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat
sesuatu. Kita mengetahui bahwa heterogenitas manusia membentuk motif yang
beraneka ragam dalam kegiatan komunikasi massa. Melihat berbagai motif yang
berbeda antara orang perorang, maka identitas tanggapan seseorang terhadap
pesan komunikasi pun berbeda sesuai dengan jenis motifnya. Semakin sesuai pesan
komunikasi dengan motivasi seseorang, maka semakin besar kemungkinan komunikasi
itu dapat diterima dengan baik oleh komunikan. Sebaliknya, komunikan akan
mengabaikan suatu pesan dalam komunikasi massa yang tidak sesuai dengan
motivasinya (Ardianto, 2014: 94).
2.
Hambatan
Sosiokultural
Tentunya
hambatan ini melibatkan lingkungan sosial dan budaya seorang komunikan.
Ardianto (2014) membagi hambatan ini menjadi beberapa aspek, yakni keberagaman
etnik, perbedaan norma sosial, kurang mampunya berbahasa, faktor semantik,
kurang meratanya pendidikan, dan berbagai hambatan mekanis. Perlu diperhatikan
dalam proses pengkajian perbedaan norma sosial adalah hakikat dari norma sosial
itu sendiri. Norma sosial erupakan suatu cara, kebiasaan, tata krama dan adat
istiadat yang disampaikan secara turun-temurun, yang dapat memberikan petunjuk
bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat. Beragamnya
norma sosial yang berlaku di Indonesia harus menjadi perhatian bagi komunikator
komunikasi massa. Pasalnya, kemungkinan adanya pertentangan nilai, dalam arti
kebiasaan dan adat istiadat yang dianggap baik bagi suatu masyarakat, dan
sebaliknya yaitu dianggap tidak baik bagi masyarakat. Solusinya adalah
komunikator harus mengaji dengan seksama pada setiap pesan yang akan
disebarkan. Apakah pesan itu melanggar norma sosial tertentu atau tidak? Perlu
adanya kehati-hatian bagi komunikator komunikasi massa karena komunikator yang
baik adalah komunikator yang memahami budaya masyarakatnya.
Beragamnya
suku bangsa membuat bahasa daerah yang beraneka ragam. Masih banyak masyarakat
Indonesia yang tidak mampu berbahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Sedangkan
kita mengetahui bahwa bahasa adalah penghubung pemikiran dan realitas.
Semantik
merupakan pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya. Jadi,
alasan mengapa semantik dianggap sebagai hambatan dalam proses komunikasi massa
terletak pada bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantis dalam
suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa hal: Pertama, komunikator
salah mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai akibat berbicara terlalu
cepat. Kedua, adanya perbedaan makna dan pengertian untuk kata atau istilah
yang sama sebagai akibat aspek psikologis. Ketiga, adanya pengertian yang
konotatif.
Inilah
mungkin yang menjadi penghambat yang menjadi penyebab dari berbgai aspek di
atas. Yaitu kurang meratanya pendidikan di Indonesia. Mengingat pada jumlah
penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 210 Juta jiwa dan tersebar di
seluruh pulau dan kepualauan nusantara. Ditinjau dari sudut pendidikan, maka
tingkat pendidikan di Indonesia belum merata. Adanya kesenjangan pendidikan
antara penduduk perkotaan dan pedesaan (misalnya) telah menjadikan penghambat
dalam proses komunikasi massa. Heterogenitas komunikan, terutama dalam tingkat
pendidikan, akan menyulitkan komunikator dalam menyusun dan menyampaikan pesan.
Masalah akan timbul manakala komunikan yang berpendidikan rendah tidak dapat
menerima pesan secara benar karena keterbatasan daya nalarnya atau daya
tangkapnya. Komunikator komunikasi massa harus mampu mengantisipasi hal-hal
tersebut dengan cara menggunakan tokoh pemuka, penerjemah, dan orang lain yang
dianggap mampu mengomunikasikan kembali supaya lebih mudah dicerna oleh
masyarakat sasaran.
Hambatan
komunikasi lainnya adalah hambatan mekanis. Hambatan mekanis adalah hambatan
teknis sebagai konsekuensi penggunaan media massa.
3.
Hambatan
Interaksi Verbal
Jenis-jenis
hambatan interaksi verbal terdiri dari polarisasi, orientasi intensional,
evaluasi statis, dan indiskriminasi. Polarisasi merupakan kecenderungan untuk
melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem,
seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau
bodoh, dan lain-lain. Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat
titik-titik ekstrem dan mengelompokan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk
lawan kata yang ekstrem.
Orientasi
intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan
kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Orientasi intensional
terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada
orangnya sendiri. Dalam proses komunikasi massa, orientasi intensional biasanya
dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan sebaliknya. Cara mengatasi
orientasi intensional adalah dengan ekstensionalisasi, yaitu dengan memberikan
perhatian utama kita pada manusia, benda, atau kejadian-kejadian di dunia ini
sesuai dengan apa yang kita lihat.
Evaluasi
statis merupakan resiko yang perlu diketahui komunikator komunikasi massa.
Pasalnya, evaluasi ini ditentukan oleh momen pertama proses komunikasi massa.
Jika pada saat pertama komunikan menganggap komunikatornya tidak memiliki
sesuatu hal yang baik, maka tanggapan dia akan terus berkelanjutan.
Indiskriminasi
terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau kejadian
dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu
diamati secara individual. Indiskriminasi merupakan inti dari stereotip. Jadi,
dalam indiskriminasi, jika komunikan dihadapkan dengan seorang komunikator,
reaksi pertama komunikan itu adalah memasukan komunikator itu ke dalam kategori
tertentu, mungkin menurut kebangsaan, agama, atau disiplin ilmu.
Bibliography
Ardianto, E.
(2014). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, O. U.
(2002). Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rakhmat, J.
(2003). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar