Selasa, 04 November 2014

Hambatan-Hambatan dalam Komunikasi Massa

Setiap proses komunikasi sudah dapat dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan. Baik itu komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan komunikasi lainnya. Sebagai insan akademika yang berkecimpung dalam keilmuan komunikasi, sudah sepatutnya kita mengetahui apa-apa saja yang kemungkinan akan menjadi hambatan dalam proses komunikasi kita. Dalam Ardianto (2014), terdapat beberapa hambatan yang telah dikelompokan. Sehingga, kita dapat mampu mengenali dan mempelajarinya lebih mudah. Seusai mengenali dan mempelajari, kita diharapkan mampu memahami berbagai hambatan dari komunikasi massa. Supaya kita dapat mengantisipasi berbagai hambatan tersebut.

Hambatan dalam komunikasi massa dikelompokan menjadi tiga hal, yakni psikologis, sosiokultural, dan interaksi verbal. Berikut ini adalah pembahasan mengenai ketiga hal tersebut.

1.        Hambatan Psikologis
Alasan mengapa disebut hambatan psikologis karena hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia (Ardianto, 2014, hal. 89). Terdiri dari subpembahasan yakni kepentingan, prasangka, stereotip, dan motivasi.
Pemaparan dari kepentingan adalah bahwa manusia hanya akan memperhatikan stimulus yang ada hubungannya dengan kepentingannya. Jika tidak ada kepentingan, maka itu akan dilewati begitu saja. Ditambah lagi bahwa komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen. Sangat kompleks sekali karena kita bisa mengelompokannya dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lainnya. Tentu saja perbedaan itu berpengaruh terhadap kepentingan-kepentingan mereka saat berkomunikasi massa. Karena pada setiap pesan di dalam komunikasi massa akan mendapatkan persepsi yang berbeda-beda dari komunikannya terutama dari segi manfaat atau kegunannya. Maka, seleksi pun akan secara otomatis terjadi dalam kegiatan komunikasi massa.
Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2003, hal. 51). Terdapat faktor fungsional dan faktor struktural yang merupakan penentu dari persepsi. Pada umumnya, prasangka dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya karena perbedaan suku ras dan agama (Ardianto, 2014, hal. 92). Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi tercapainya suatu tujuan dalam komunikasi. Menurut (Effendy, 2002, hal. 44) prasangka melibatkan emosi yang memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional. Emosi seringkali membutakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Untuk mengatasi hambatan prasangka, komunikator dalam komunikasi massa diharapkan berada di posisi yang netral. Juga harus memiliki reputasi yang baik, artinya dia tidak pernah terlibat dalam suatu perkara yang telah menyakiti sekelompok komunikaan tertentu. Kesimpulannya, komunikator dalam komunikasi massa harus bersipat acceptable.
Stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip ini merupakan hal yang harus diwaspadai komunikator komunikasi massa. Mengingat apabila dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotip tertentu pada komunikannya, maka dapat dipastikan pesan apa pun tidak akan bisa diterima oleh komunikan.
Motivasi komunikan juga berpengaruh kepada efektivitas komunikasi massa. Saking berpengaruhnya, motivasi lebih dianggap sebagai penghambat dalam proses komunikasi massa. Setiap manusia pada hakikatnya memiliki motif tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu. Kita mengetahui bahwa heterogenitas manusia membentuk motif yang beraneka ragam dalam kegiatan komunikasi massa. Melihat berbagai motif yang berbeda antara orang perorang, maka identitas tanggapan seseorang terhadap pesan komunikasi pun berbeda sesuai dengan jenis motifnya. Semakin sesuai pesan komunikasi dengan motivasi seseorang, maka semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh komunikan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu pesan dalam komunikasi massa yang tidak sesuai dengan motivasinya (Ardianto, 2014: 94).

2.        Hambatan Sosiokultural
Tentunya hambatan ini melibatkan lingkungan sosial dan budaya seorang komunikan. Ardianto (2014) membagi hambatan ini menjadi beberapa aspek, yakni keberagaman etnik, perbedaan norma sosial, kurang mampunya berbahasa, faktor semantik, kurang meratanya pendidikan, dan berbagai hambatan mekanis. Perlu diperhatikan dalam proses pengkajian perbedaan norma sosial adalah hakikat dari norma sosial itu sendiri. Norma sosial erupakan suatu cara, kebiasaan, tata krama dan adat istiadat yang disampaikan secara turun-temurun, yang dapat memberikan petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat. Beragamnya norma sosial yang berlaku di Indonesia harus menjadi perhatian bagi komunikator komunikasi massa. Pasalnya, kemungkinan adanya pertentangan nilai, dalam arti kebiasaan dan adat istiadat yang dianggap baik bagi suatu masyarakat, dan sebaliknya yaitu dianggap tidak baik bagi masyarakat. Solusinya adalah komunikator harus mengaji dengan seksama pada setiap pesan yang akan disebarkan. Apakah pesan itu melanggar norma sosial tertentu atau tidak? Perlu adanya kehati-hatian bagi komunikator komunikasi massa karena komunikator yang baik adalah komunikator yang memahami budaya masyarakatnya.
Beragamnya suku bangsa membuat bahasa daerah yang beraneka ragam. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu berbahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia. Sedangkan kita mengetahui bahwa bahasa adalah penghubung pemikiran dan realitas.
Semantik merupakan pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya. Jadi, alasan mengapa semantik dianggap sebagai hambatan dalam proses komunikasi massa terletak pada bahasa yang digunakan oleh komunikan. Hambatan semantis dalam suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa hal: Pertama, komunikator salah mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai akibat berbicara terlalu cepat. Kedua, adanya perbedaan makna dan pengertian untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologis. Ketiga, adanya pengertian yang konotatif.
Inilah mungkin yang menjadi penghambat yang menjadi penyebab dari berbgai aspek di atas. Yaitu kurang meratanya pendidikan di Indonesia. Mengingat pada jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 210 Juta jiwa dan tersebar di seluruh pulau dan kepualauan nusantara. Ditinjau dari sudut pendidikan, maka tingkat pendidikan di Indonesia belum merata. Adanya kesenjangan pendidikan antara penduduk perkotaan dan pedesaan (misalnya) telah menjadikan penghambat dalam proses komunikasi massa. Heterogenitas komunikan, terutama dalam tingkat pendidikan, akan menyulitkan komunikator dalam menyusun dan menyampaikan pesan. Masalah akan timbul manakala komunikan yang berpendidikan rendah tidak dapat menerima pesan secara benar karena keterbatasan daya nalarnya atau daya tangkapnya. Komunikator komunikasi massa harus mampu mengantisipasi hal-hal tersebut dengan cara menggunakan tokoh pemuka, penerjemah, dan orang lain yang dianggap mampu mengomunikasikan kembali supaya lebih mudah dicerna oleh masyarakat sasaran.
Hambatan komunikasi lainnya adalah hambatan mekanis. Hambatan mekanis adalah hambatan teknis sebagai konsekuensi penggunaan media massa.

3.        Hambatan Interaksi Verbal
Jenis-jenis hambatan interaksi verbal terdiri dari polarisasi, orientasi intensional, evaluasi statis, dan indiskriminasi. Polarisasi merupakan kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dan lain-lain. Kita mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat titik-titik ekstrem dan mengelompokan manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.
Orientasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Dalam proses komunikasi massa, orientasi intensional biasanya dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan sebaliknya. Cara mengatasi orientasi intensional adalah dengan ekstensionalisasi, yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada manusia, benda, atau kejadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa yang kita lihat.
Evaluasi statis merupakan resiko yang perlu diketahui komunikator komunikasi massa. Pasalnya, evaluasi ini ditentukan oleh momen pertama proses komunikasi massa. Jika pada saat pertama komunikan menganggap komunikatornya tidak memiliki sesuatu hal yang baik, maka tanggapan dia akan terus berkelanjutan.
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok orang, benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi merupakan inti dari stereotip. Jadi, dalam indiskriminasi, jika komunikan dihadapkan dengan seorang komunikator, reaksi pertama komunikan itu adalah memasukan komunikator itu ke dalam kategori tertentu, mungkin menurut kebangsaan, agama, atau disiplin ilmu.


Bibliography

Ardianto, E. (2014). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, O. U. (2002). Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J. (2003). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.



Tidak ada komentar: