Jumat, 30 Mei 2014

LAPORAN KUNJUNGAN KE OBJEK WISATA
SITU DAN CANDI CANGKUANG
Leles-Garut, 23 Mei 2014



AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran




Fotografi memang layak untuk dinikmati. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai fotografi menurut perspektif saya. Semuanya bisa terabadikan dengan teknologi pengabadian momen ini. Saya mendapatkan pencerahan mengenai kegunaan fotografi saat mengikuti kelas fotografi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada semester dua. Fill in, foreground and background, patttern, texture, color, dan komposisi-komposisi dalam fotografi telah dosen kami ajarkan. Namun, langkah selanjutnya adalah terserah saya. Saya memiliki hak untuk memilih gaya saya ketika melukis dengan cahaya. Karena, fotografi merupakan suatu seni. Dan seni bukanlah sesuatu yang caklek harus begitu, namun juga menyesuaikan dengan karakter seseorang. Itulah yang membuat fotografi berkembang pesat sampai saat ini.

Mengingat ujian akhir semester akan segera kami hadapi, dosen kami menugaskan untuk mulai terjun ke lapangan. Saya rasa cukup mempelajari berbagai teori di dalam kelas, sekarang saatnya mengimplementasikan ilmu yang telah diajarkan. Itu perkiraan saya tentang isi hati dosen fotografi kami. Kami mendapatkan tugas untuk memotret dan mengabadikan momen-momen yang berbau dengan kebudayaan. Saya sempat sedikit bingung terkait tugas yang diberikan. Apa yang harus saya potret? Namun, setelah saya merenung, saya pun sadar bahwa saya lebih kuat dan lebih cerdas dari yang terpikirkan sebelumnya. Akhirnya, saya pun bangkit dan memandang alam dengan khidmat. Berbagai ide pun muncul pada suasana ini. Saya pun akhirnya menemukan jalan keluar.

Ternyata, ide awal saya tergantikan saat Hani, Shandra, dan Bintang mengajak saya untuk bertamasya. Pada mulanya, saya diajak untuk bertamasya ke Bandung. Namun, saya mengusulkan untuk ke Garut dengan ngabibitaan mereka dengan informasi terkait Situ Cangkuang yang saya ketahui sebelumnya. Akhirnya, mereka pun menyetujui rencana perjalanan saya.

Lusa dari ditetapkannya lokasi, tepatnya pada tanggal 23 Mei 2014, kami berangkat ke Garut dari Jatinangor pukul 08.30 WIB dengan menggunakan dua sepeda motor. Kami tiba di lokasi tepat pada pukul 10.00 WIB. Dengan membayar tiket senilai Rp 4000,00-, per orang, kami pun  masuk ke area wisata dan langsung menyiapkan kamera untuk memotret.

Situ Cangkuang memiliki pemandangan yang eksotis. Hamparan air yang jernih serta dibatasi oleh gunung-gunung yang menjulang perkasa, serta langit yang biru diselingi awan-awan putih menyambut kehadiran kami. Ternyata, tidak hanya kami----warga lokal yang mengunjungi objek wisata indah ini. Setelah kehadiran kami, datanglah rombongan turis mancanegara ditemani pemandu-pemandunya. Ini membuat kami semakin yakin dan bangga, bahwa kami harus mengabadikan seluruh objek di sini guna mengenalkan dan menarik minat wisatawan lainnya untuk mengunjungi objek wisata di Kabupaten Garut ini.

Tidak hanya menikmati jernihnya air di situ yang memiliki kedalaman + 2 meter ini, kami pun beranjak untuk melihat Candi Cangkuang dari dekat. Bapak perakit itulah sebutan bagi mereka yang mengantar kami ke komplek Candi dengan menggunakan rakit. Dengan tarif yang relatif murah, bahkan jika kita mau mengobrol sebentar dengan beliau, kita akan mendapatkan tarif yang lebih murah dari biasanya. Untuk perorangan, tarif dewasa adalah Rp 4000,00- PP. Sedangkan untuk borongan (menyewa rakit untuk sendiri) seharga Rp 80.000,00,- PP. Perakit-perakit ini dihimpun dalam Paguyuban Usaha Tukang Rakit (PUTRA) Cangkuang. Paguyuban ini diketuai oleh Pak Usep dan Pak Taufik.

Untuk informasi mengenai sejarah candi Cangkuang, saya mengutip langsung dari candi1001.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------
Sejarah
Candi Cangkuang Garut adalah sebuah candi Hindu yang berada di Kampung Pulo, di desa cangkuang Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Letak Candi Cangkuang ini cukup unik karena berada di sebuah puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh sebuah Situ atau Danau yaitu Situ Cangkuang.

Letak situs candi ini lebih tepatnya berada pada koordinat Google Maps -7.101989 +107.919483. Melihat letaknya yang berada di tengah danau, maka tentu untuk menuju ke situs ini kita akan memerlukan sebuah rakit atau sampan. Situs ini berada pada jarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota garut, dan bisa ditempuh dengan menggunakan jasa delman, ojek, atau bisa juga dengan berjalan kaki.

Selain terdapat sebuah situs candi, di areal Candi Cangkuang Garut ini juga terdapat sebuah makam kuno dari batu yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai makam Embah Dalem Arief Muhammad yang diyakini sebagai sesepuh pendiri daerah tersebut. Disamping itu, di kawasan Kampung Pulo ini juga terdapat cagar budaya yang berupa pemukiman adat masyarakat Kampung Pulo yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik.

Sejarah Candi Cangkuang Garut - Latar Belakang Ditemukannya
Asal muasal nama Candi Cangkuang Garut diambil dari nama desa tempat di mana situs ini berada. Cangkuang sendiri sebenarnya adalah sebuah nama pohon yaitu Pohon Cangkuang. Pohon Cangkuang memang banyak ditemukan di daerah ini, dan ini yang membuat desa ini disebut dengan nama Desa Cangkuang.

Sejarah Candi Cangkuang Garut diawali dari sebuah penemuan oleh seorang Belanda bernama Vorderman, yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yaitu Notulen Bataviach Genoot Schap. Buku notulen ini ditulisnya pada tahun 1893. Dan dalam catatannya di buku ini Vorderman menyebutkan bahwa di bukit Kampung Pulo di Desa Cangkuang telah ditemukan sebuah makam kuno dan sebuah arca Siwa yang telah rusak.

Sebuah tim penelitian yang dipimpin oleh seorang ahli purbakala bernama Drs.Uka Tjandrasasmita dan Prof. Harsoyo, pada tanggal 9 Desember 1966 telah menemukan kembali Candi Cangkuang yang telah lama hilang terpendam.

Sejarah Candi Cangkuang Garut - Pemugaraan
Mulai dari penemuan awal itulah lalu dilakukan penelitian yang lebih besar pada tahun 1967-1968. Penemuan pertama ini hanya menemukan sebuah makam kuno yang diyakini sebagai makam Arief Muhammad seorang pendiri desa itu. Disamping makam kuno ini juga ditemukan sebuah pondasi berukuran 4,5 x 4.5 meter dengan batu-batu yang berserakan di sekitarnya. Oleh masyarakat sekitar, batu-batu yang berserakan ini kerap kali diambil dan dipakai sebagai batu nisan di makam mereka.

Pada tahun 1974 – 1976 dimulailah penggalian, pemugaran, dan proses rekonstruksi secara total. Proses ini dimulai dengan penggalian besar-besaran di areal itu. Dilanjutkan dengan mengumpulkan semua reruntuhan dan mendatanya. Lalu terakhir dilakukan penataan dan pemasangan kembali semua reruntuhan.

Dalam proses rekonstruksi ini telah berhasil merekonstruksi kaki candi, badan candi, atap candi, dan sebuah patung Dewa Siwa. Sayangnya dalam proses ini batu yang asli dari reruntuhan candi hanya ditemukan sekitar 40% saja. Maka untuk merekonstruksi ulang bangunan candi, digunakanlah batuan buatan. Dan akhirnya proses pemugaranpun selesai dan Candi Cangkuang Garut akhirnya diresmikan pada tanggal 8 Desember 1976.

Sejarah Candi Cangkuang Garut
Candi Cangkuang Garut adalah sebuah candi peninggalan Hindu yang diyakini berasal dari abad ke-8. Hal ini didasarkan pada beberapa fakta. Yang pertama terlihat dari kesederhanaan bentuk candi yang sangat polos tanpa relief. Pertimbangan kedua adalah dilihat dari tingkat kelapukan batunya.

Selain itu keberadaan Candi Cangkuang Garut ini juga sangat penting karena diyakini sebagai sebuah penghubung dari bagian mata rantai yang hilang antara beberapa penemuan yaitu Candi Jiwa di Karawang, Candi Dieng di daerah Dieng Wonosobo, dan Candi Gedong Songo di daerah Bandungan Ambarawa.

Sejarah Candi Cangkuang Garut – Arsitektur
Dari segi bentuk, candi ini sangat mirip dengan penemuan candi di 3 tempat di atas. Luasnya sekitar 4,5 x 4,5 meter dengan ketinggian mencapai 8,5 meter. Bangunan Candi Cangkuang Garut menghadap ke arah timur yang ditandai dengan adanya sebuah tangga setinggi 1 meter yang menuju sebuah pintu masuk.

Di candi ini kita tidak dapat menemukan hiasan relief atau pahatan apapun. Di dalam candi terdapat sebuah ruangan seluas 2,2 m2, dan ruangan ini memiliki ketinggian 3,38 meter. Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah patung Siwa setinggi 40 cm yang sedang duduk di atas Nandi (sapi) dengan sebelah kaki dilipat.

Sejarah Candi Cangkuang Garut - Makam Kuno Di Sampingnya
Satu hal yang sangat unik di situs ini adalah ditemukan sebuah makam kuno Islam berada yang tepat di samping bangunan candi cangkuang garut yang notabenenya merupakan candi Hindu. Makam tersebut kemudian diketahui sebagai makam Arief Muhammad atau yang dikenal juga dengan Embah Dalem Ariref Muhammad.

Arief Muhammad sendiri sebenarnya adalah seorang Senopati dari kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Beliau ini bersama dengan pasukannya mendapat tugas untuk menyerang tentara VOC di Batavia, namun ternyata beliau gagal mengalahkan VOC. Karena kalah, alih-alih pulang ke Yogyakarta beliau lalu malah menyingkir ke pedalaman tanah Priangan tepatnya di daerah Leles Garut.

Di tempat ini beliau lalu menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar yang sebelumnya telah memeluk agama Hindu. Di tempat ini pula beliau bersama dengan masyarakat sekitar membendung dan membuat sebuah danau yang diberi nama Situ Cangkuang. Daratan-daratan yang terbendung kemudian terbentuk menjadi gundukan bikit atau pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu diberi nama Pulau Panjang (tempat dimana Kampung Pulo berada), Pulau Masigit, Pulau Wedus, Pulau Gede, Pulau Katanda, dan Pulau Leutik.

Sejarah Candi Cangkuang Garut - Toleransi Agama Dan Inkulturasi Budaya
Arief Muhammad kemudian menetap dan menikahi wanita setempat, dan memiliki 6 orang anak perempuan dan 1 laki-laki. Penyebaran agama Islam yang dilakukannya sangat berhasi dan membuat penduduk sekitar memeluk agama Islam. Hal ini terbukti dari beberapa penemuan selanjutnya yaitu:
  • Kitab Suci Al Qu’ran terbuat dari kulit kayu atau Saih berukuran 24 cm x 33 cm. 
  • Naskah Khotbah Jum’at terbuat dari kulit kambing berukuran 23 cm x 176 cm. 
  • Kitab Ilmu Fiqih terbuat dari kulit kayu atau Saih berukuran 18,5 cm x 26 cm. 
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa toleransi agama dan inkulturasi budaya di daerah ini masih sangat kuat bahkan sampai dengan saat ini. Hal ini terbukti dari letak makam Arief Muhammad seorang pemuka agama Islam, yang berada tepat di sebelah sebuah candi agama Hindu.

Inkulturasi lain yang terjadi adalah masih digunakannya aturan-aturan adat setempat walaupun masyarakatnya telah memeluk agama Islam. Hal ini terrbukti dengan ditetapkannya hari Rabu sebagai hari besar masyarakat setempat, bukannya hari Jum’at. Pada hari Rabu masyarakat diwajibkan untuk hanya melakukan kegiatan keagamaan saja seperti mengaji, mendengar ceramah agama, dan belajar agama Islam. Aturan adat yag berlaku, pada hari Rabu orang dilarang berziarah di makam Arief Muhammad.

Keunikan Pemukiman Adat Kampung Pulo Candi Cangkuang
Pemukiman adat Kampung Pulo berada tepat di atas Pulau Panjang di dekat situs Candi Cangkuang Garut. Pemukiman adat ini sangatlah unik, karena hanya terdiri dari 6 rumah dengan 6 kepala keluarga. Pemukiman Adat Kampung Pulo adalah sebuah perkampungan mini yang tersusun dari 3 rumah di sebelah kanan dan 3 rumah di sebelah kiri yang saling berhadapan, ditambah dengan sebuah masjid.

Keunikan lainnya yaitu jumlah kepala keluarga di kampung ini tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika ada anggota keluarga yang menikah, keluarga baru itu pun harus segera pergi meninggalkan kampung adat tersebut dan diberi waktu paling lambat 2 minggu setelah pernikahan. Keluarga baru itu hanya boleh kembali ke kampung jika di kampung adat tersebut ada salah satu keluarga yang meninggal. Itu pun hanya anak wanita yang diijinkan, dan harus ditentukan melalui pemilihan oleh warga setempat.
Keberadaan kampung adat dan situs sejarah candi cangkuang garut di daerah ini merupakan salah satu bukti keberagaman dan toleransi antar agama dan budaya yang sangat tinggi pada masa silam. Walaupun hanya merupakan sebuah kampung kecil dengan sebuah situs candi kecil namun situs budaya dan sejarah Candi Cangkuang Garut tetaplah sangat menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan.
---------------------------------------------------------

Perjalanan kami di komplek Candi Cangkuang akan kami paparkan dalam bentuk gambar. Selamat menikmati...
KENALI, CINTAI!!! BUDAYA INDONESIA, BUDAYA DUNIA!!! 




























Silaturahim Ke Kediaman Aktor The Raid 2 Berandal

Pada tanggal 24 Mei 2014, saya mengunjungi kediaman Pak Cecep Arif Rahman. Motifnya adalah untuk mengenalkan sahabat saya kepada beliau. Saya memiliki rasa bangga untuk mengenalkan, karena beliau memiliki prestasi-prestasi yang luar biasa. Belakangan ini, beliau menjadi aktor dalam film The Raid 2 Berandal. Bersama Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan, beliau turut menambah greget film aksi bertaraf internasional tersebut.

Motif kedua, saya ingat bahwa pada tanggal 28 Mei 2014 ada acara NgeBatik Asyik Rame-Rame (BATARA) yang diselenggarakan oleh Kelompok Grafis Fikom (KGF). Saya dipercayai untuk mengisi acara pada kegiatan bertajuk pelestarian budaya dengan cara yang menyenangkan tersebut. Sehubungan dengan hanya pencak silat yang dapat saya tampilkan, akhirnya terlintas dalam benak saya bahwa inilah saat yang tepat untuk berlatih dengan guru yang tepat pula. Hal ini didukung oleh cuaca yang tidak mendukung. Memang sedikit aneh kalimat yang tadi. Didukung, namun tidak mendukung. Pasalnya, jika pada hari itu hujan tidak turun, maka saya pun akan memutuskan untuk pulang lebih awal. Karena, setiap sore saya selalu menyempatkan waktu untuk berlatih tari Ronggeng Panggung di Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran (Lises Unpad). Apalagi, pada Jum’at ini kelompok ronggeng kami diagendakan untuk mengikuti materi bersama pelatih, atau istilah di Lises yang lebih familiar disebut dengan cut to cut.

Saya berpikir keras saat latihan. Mengingat bahwa saya adalah orang yang mencintai kesempurnaan, maka saya pun meminta saran dari Pak Cecep Arif Rahman untuk kesempurnaan tampilan saya. Saat itulah beliau menggagas inovasi baru dalam bentuk pengoptimalan pola lantai. Namun, itu hanya untuk tampilan tangan kosong saja. Saya pikir dalam acara Batara nanti, saya ingin tampil lebih dari hanya tampilan tangan kosong. Saya menguasai gerakan-gerakan golok dan tongkat. Saya mau menampilkan itu. Namun, saya tidak memiliki senjata-senjata tersebut. Meminjam senjata untuk pementasan adalah motif saya yang ketiga.

Pada tiga hari sebelumnya, saya teringat kepada Dilla dan Didah. Mereka menitipkan uang untuk membeli celana pangsi yang dijual oleh Pak Cecep. Celana pangsi bordir yang membuat penggunanya merasa bangga menjadi bagian dari pelestari budaya asli Indonesia yaitu Pencak Silat.

Hampir tiga bulan saya belum membelikan pesanan dari adik seperguruan saya itu. Dengan berbagai alasan seperti kegiatan-kegiatan di kampus. Walaupun pada bulan Maret, saya menyempatkan diri untuk pulang ke Pangandaran. Namun, saya lupa terhadap pesanan mereka. Dengan kesempatan berkunjung ke kediaman Pak Cecep 23 Mei lalu, saya memutuskan untuk membelikan pesanan adik-adik seperguruan saya. Lucunya, saya hanya menyisakan uang tunai pas-pasan. Sangat pas sekali sehingga uang didompet saya langsung nihil. Teman-temanku pun menertawakanku. Kami pun memulai transaksi seusai latihan. Inilah yang menjadi motif ketiga saya yang tidak terniatkan sebelumnya pada saat kunjungan ke kediaman Pak cecep Arif Rahman.

Seusai bersilaturahim dan berlatih, saya mendapatkan beberapa informasi terkait dengan daya komitmen dan daya gedor saya do dalam proses pencapaian cita-cita saya. Diantaranya adalah kemampuan saya untuk tetap konsisten dalam ranah saya yaitu pencak silat. Beliau mengkritik saya karena adanya resiko jika mengikuti kegiatan yang baru. Hal tersebut disebabkan oleh seringkali manusia melupakan yang telah lalu karena memiliki sesuatu hal yang baru. Saran dari beliau adalah supaya saya tetap konsisten. Professional dan tetap teguh berdiri di ranah saya. Alasan yang saya tangkap adalah lebih baik bergelut di satu bidang kemudian menjadi seorang ahli yang memiliki kekuasaan rujukan, daripada memiliki berbagai kegiatan dengan berharap menjadi seseorang yang multitalent namun karena berbagai alasan yang sekiranya mengganggu seperti cape, jenuh, jadwal yang bertindih dan alasan-alasan lain, jangankan menjadi ahli dari semua bidang yang ia geluti, satu pun tidak ada yang menjamin ia akan sukses. Karena, pikiran dia akan melebar membentuk cabang-cabang yang bisa membawa seseorang itu ke dalam ketidakteraturan hidup.





Kamis, 22 Mei 2014

LISES UNPAD JAJAP ANU WISUDA














Hasil Analisis Film Let Me In Dalam Perspektif Konsep Diri Kajian Psikologi Komunikasi




AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran


KONSEP DIRI SEBAGAI SEBUAH LITERATUR PRAKTIS DALAM PROSES PENGOPTIMALAN KUALITAS DIRI

Satu dari beberapa hal yang memiliki pengaruh penting dalam kejiwaan manusia adalah konsep diri. Selama otak manusia itu bekerja, itu akan memanfaatkan kemampuannya bermain nilai estetika dalam memberikan argumentasinya kepada orang lain. Namun, menurut Erving Goffman dalam Rakhmat (2012), ternyata manusia tidak selalu menanggapi orang lain; manusia juga secara tidak sadar berproses dalam mempersepsi dirinya sendiri. Mengutip dari yang disampaikan saudara Rendi Ermansyah pada tanggal 17 Mei 2014: Dengan terungkapkannya segenap informasi dari dalam diri seseorang (biasanya berbentuk komunikasi antarpribadi); manusia sudah memberikan setengah dari informasi yang sedang dia butuhkan. Sebut saja Asep memiliki permasalahan dalam kegiatan belajarnya di kampus. Dia secara sadar ingin berbagi informasi berupa permasalahannya tersebut pada teman yang ia percaya. Di dalam percakapan tersebut, Asep mengemukakan permasalahannya secara terperinci sehingga sampai pada sebuah titik yang secara tidak sadar membuat dia mengungkapkan berbagai alasan dari permasalahan yang dia hadapi. Itulah yang membuat temannya dapat memberikan solusi yang kemungkinan besar dapat diterima oleh Asep. Dengan demikian, temannya memiliki persepsi tertentu terhadapnya. Sehingga, Asep secara alami akan berusaha menyesuaikan dengan persepsi temannya.

Dari Jalaluddin Rakhmat, John Locke (1932-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep pengalaman adalah sang pemberi warna. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak memiliki “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku manusia lalu. Lalu apa kaitannya dengan konsep diri?

Konsep diri timbul dari pengalaman. Pengalaman berkomunikasi antarmanusia memiliki peranan penting dalam efektifnya proses perubahan nilai-nilai diri. Dari pengalaman-pengalaman hidup yang unik, manusia pun berusaha untuk membuat diri mereka unik. Ketika itulah manusia memulai untuk berbenah diri. Menurut Charles Horton Cooley (Rakhmat, 2012), manusia melakukan pembenahan diri dengan cara membayangkan dirinya sebagai orang lain; dalam benaknya sendiri. Di sana akan bermain persepsi diri kita terhadap pandangan orang lain. Jika diuraikan, terdapat tiga hal yang akan terjadi: Pertama, manusia akan membayangkan bagaimana keadaan dirinya untuk orang lain; manusia akan melihat dirinya sekilas seperti dihadapan sebuah cermin. Sehingga, dia akan mendefinisikan keadannya sesuai dengan referensi dalam memorinya. Kedua, manusia akan membayangkan bagaimana keadaan dirinya dari penilaian orang lain terhadapnya. Dalam kondisi ini, manusia akan berpikir bahwa orang lain mungkin suka/tidak suka terhadap keadaannya. Ketiga, kita merasakan bangga atau kecewa; bisa jadi merasa sedih atau malu (Vander Zanden,1975:79)

Dengan mengamati diri kita, sampailah kita terhadap gambaran dan penilaian diri kita (Rakhmat, 2012:98). Umar bin Khattab mengatakan, “Manusia yang mengenal siapa dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Inilah yang disebut dengan konsep diri. Sebuah kajian yang diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas diri. Karena, setelah manusia mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya, manusia akan menjadi semakin bijak dalam menentukan sikap yang berperan sebagai rujukannya dalam mencapai sesuatu yang dia inginkan.

Konsep diri tidak sesederhana yang kita pikirkan. Itulah yang menyebabkan ilmu psikologi komunikasi menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting guna mencapai efektifitas proses komunikasi. Menjadikan konsep diri sebagai aspek dari sistem komunikasi antarpribadi dalam kajian psikologi komunikasi.

Lalu, apa yang disebut konsep diri? Di dalam Rakhmat (2012: 98), William D Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai, “those physical, social,and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsinya bisa ditinjau dari perspektif psikologi, sosial, dan fisis. Maka, konsep diri meliputi apa yang manusia rasakan dan pikirkan tentang dirinya. Terdapat dua komponen dalam konsep diri: komponen kognitif dan afektif (Rakhmat, 2012: 99). Kognitif dalam hal ini memiliki makna pandangan berdasarkan referensi kita. Membuat sebuah penilaian yang melinatkan intervensi dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan afektif merupakan pandangan secara subjektif manusia tersebut terhadap permasalahan yang ia hadapi. Dalam ranah ini, intervensi lingkungan tidak berarti apa-apa. Jika komponen kognitif saya menyatakan bahwa, “Kulit gelap ini membuat saya terlihat kurang menarik.” Namun, setelah itu komponen afektif saya mengatakan, “Mungkin ini yang terbaik untuk saya. Tidak masalah, karena warna kulit bukanlah sebuah perkara yang perlu dipermasalahkan.” Atau dalam kondisi lain, komponen afektif saya mengatakan, “Sial, saya malu dengan kulit ini. Saya akan pastikan bahwa dengan terapi ini kulit saya akan menjadi lebih cerah.Hubungan antara komponen kognitif dan afektif sangat dinamis. Hal tersebut menyesuaikan dengan situasi kejiwaan manusia tersebut, apakah dalam kondisi bahagia maupun sedang sedih, itulah yang membuat komponen afektif menyesuaikan secara otomatis. Maka, psikologi sosial menyebutkan bahwa komponen kognitif merupakan istilah lain dari citra diri dan komponen afektif merupakan istilah lain dari harga diri. Citra diri dan harga diri memang sulit untuk dibedakan karena memiliki beberapa karakteristik yang bertumpang tindih satu sama lain, seperti kredibilitas. Namun, kita dapat membedakannya dengan memperhatikan sifat dari kedua komponen tersebut saat proses pengimplementasiannya. Jika citra diri lebih cenderung kepada penilaian awal yang bersifat lebih objektif, harga diri muncul sebagai pembela maupun peneguh citra diri manusia tersebut. Sehingga, para pembicara dalam seminar motivasi berkata, “Sikap Anda yang menentukan ingin dicap sebagai apa Anda di mata orang lain.” Walaupun kognisi kita sadar bahwa itu kurang tepat dengan norma (misalnya), namun kita lebih cenderung mendengarkan komponen afeksi kita.

ANALISIS FILM LET ME IN BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSEP DIRI

Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Di sini kita mempunyai dua tokoh yaitu Owen dan Abby. Owen merupakan anak laki-laki yang memiliki fisik yang lemah. Sehingga membuat dia kurang merasa kurang percaya diri saat berada di kelas. Kaitannya dengan konsep diri adalah lingkunganlah yang membuat Owen memiliki kepribadian unik. Di lingkungan rumah, Owen dihadapkan dengan suasana yang penuh dengan tekanan-tekanan: orang tua yang bercerai dan seringkali bertengkar, sehingga Owen harus menyaksikan ibunya menangis secara langsung; tetangganya pun memberikan kode-kode visual yang saya rasa tidak pantas untuk dilihat oleh anak seumur 12 tahun seperti Owen; faktor lainnya adalah kondisi fisik lingkungan: cuaca dingin membuat tekanan diri Owen semakin kelam pula; di kelas, Owen sering kali menjadi bahan ejekan, cacian, bahkan siksaan fisik oleh rekan kelasnya. Sehingga, hati kecil Owen merasa tertekan dan ingin sekali untuk merubah keadaan. Namun, apa daya kondisi fisiknya yang ia sendiri sadari tidak mungkin untuk melawan.

Cukup menarik jika berbagai masalah yang di atas kita rujuk kepada faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Memang, jika menalar apa yang telah disampaikan Rakhmat (2012), walaupun kita telah mengetahui kapabilitas diri kita berdasarkan asumsi pribadi secara subjektif, namun ternyata  orang lain juga memiliki peranan penting dan sangat berpengaruh dalam persepsi diri kita. Dengan demikian, persepsi diri yang semula akan berubah setelah jiwa manusia itu mempertimbangkan nilai positif dan negatif dari pandangan orang lain pada dirinya. Jika pandangan orang lain kepada dirinya dalam hal yang positif, maka ia akan mempertahankannya. Namun sebaliknya, jika pandangan orang lain negatif kepadanya, ia akan berusaha membuktikan bahwa ia akan lebih baik daripada yang dipersepsikan orang lain. Walaupun, tidak semua pengeluaran sifatnya seperti itu. Karena, ada beberapa orang yang justru kepercayaan dirinya semakin jatuh saat orang lain mempersepsikan nilai-nilai negatif kepadanya.

Owen merasa bosan dengan penderitaan itu. Sehingga ia mengalami tekanan jiwa yang mengarahkannya ke arah balas dendam. Namun, itu tersaring oleh keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan, seperti yang sejak awal saya tuturkan. Itu nampak pada ketertarikan dia pada senjata-senjata tajam. Ia melampiaskan setiap amarah dan tekanan jiwa dalam dirinya pada sebuah pohon dengan cara menusuk-nusukan pisau yang telah ia beli secara sembunyi-sembunyi. Owen tidak bisa menerima dirinya, sekaligus menyiasati bagaimana ia mengoptimalisasi dirinya.

Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Dikuatkan oleh penelitian dari Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956): Penilaian orang lain terhadap diri kita terdiri atas nilai kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain kepada dirinya. Dari penelitian ini ditariklah suatu kesimpulan yang cukup menarik yaitu, orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan penilaian positif yang lebih tinggi kepada dirinya sendiri.

Karakter Owen yang bersifat bersebrangan muncul ketika ia berjumpa dengan Abby. Owen merasakan sebuah kenyamanan dari seorang teman. Berbincang, bertukar informasi, saling menguatkan, bahkan Abby memanipulasi pola pikir Owen dengan cara mengajaknya untuk bangkit dalam arti melupakan berbagai kekurangan dalam dirinya. Pada saat itulah, Owen mulai bisa menerima dirinya walaupun belum optimal.

Hanya Abby yang mampu mengubah Owen. Pertanyaannya adalah mengapa bukan teman-temannya di kelas yang seringkali ia jumpai bahkan mengapa ibunya pun tidak mendapatkan kepercayaan untuk menjadi tempat menampung curahan hatinya dan menjadi orang yang mampu membantu menyelesaikan permasalahannya. Itu disebabkan karena tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita (Rakhmat, 2012: 100). Maka, George Herbert Mead (1934) menyebut mereka yang berpengaruh terhadap diri kita itu dengan istilah significant others ─ orang lain yang sangat penting. Lantas, bagaimana mungkin seorang ibu menjadi tidak penting bagi dirinya? Ibunya tetap penting bagi Owen, namun tidak dalam permasalahan ini. Seseorang yang sangat penting bagi Owen adalah Abby, tetangganya. Hal ini memiliki relevansi dengan penjelasan teori dari Mead, bahwasanya orang yang sangat penting bagi diri kita adalah orang tua kita, saudara-saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Namun, Mead tidak menyebutkan kekasih di dalamnya. Padahal, kekasih sering kali menjadi seseorang yang kita lebih percayai untuk menjadi tempat mencurahkan isi hati dalam berbagai kondisi dan situasi tertentu. Kemudian, Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamai hal serupa dengan istilah affective others ─ orsang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Bahkan, Dewey dan Humber menyertakan kesimpulan bahwa dari merekalah kita membentuk konsep diri kita. Owen memiliki rasa tanggungjawab atas kebahagiaan Abby. Dia merasa berhutang budi kepada Abby. Owen merasa dirinya semakin membaik setelah berjumpa dengan Abby.

Di atas, saya telah menyinggung bahwa keadaan lingkungan pulalah yang membuat kepribadian Owen itu unik. Itu disebabkan pula oleh kelompok yang ia rujuk sebagai landasan kepribadiannya. Kita analogikan kehidupan bertetangganya sebagai kegiatan berkelompok. Tidak ada teman sebaya yang menemani Owen sebelum kedatangan Abby. Alhasil, Owen merujuk kepribadiannya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Owen pun berbicara sendiri. Melakukan segalanya sendiri, tanpa ada interaksi positif dengan satu pun kawan yang ia jumpai di sekolah dan daerah dekat tempat tinggalnya.

Analisis ini didasari oleh teori-teori konsep diri yang merupakan bagian dari sistem komunikasi interpersonal. Film ini secara tidak langsung telah membukakan mata kita untuk senantiasa membuka daya nalar kita tentang siapa diri kita. Dengan menguasai ilmu konsep diri, kita akan mampu memilah secara bijaksana berbagai stimuli dari persepsi orang lain terhadap diri kita. Menampung terlebih dahulu segenap persepsi kemudian analisis pribadi tentang kekuatannya. Apakah masih ada celah bagi diri kita untuk menjadi seorang manusia yang lebih positif, atau justru semakin menjerumuskan kita kepada rasa penyesalan, dengki, dendam, dan sifat negatif lainnya akibat kita tidak bisa menerima diri kita.

REFERENSI

Dewey, R. dan W.J. Humber. (1967). An Introduction to Social Psychology. London: Collier-McMilan
Mead, M. (1928). Coming of Age in Samoa: A Pasychologycal Study of Primitive Youth for Civilization. New York.
Miyamoto, S.F. dan S.M. Dornbusch. (1956). A Text of Interactionist Hypotheses of Self-Conception. American Journal of  Sociology-61, 399-403.
Rakhmat, Jalaluddin.(2012). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sullivan, H.S. (1953). The Interpersonal Theory of  Psychiatry. New York: Norton.
Vander Zanden, J.W. (1977). Social Psychology. New York: Random House.