Minggu, 06 Oktober 2013

Relasi Pikiran, Bahasa, dan Realitas



RELASI PIKIRAN, BAHASA, DAN REALITAS

            Keterkaitan antara pikiran, bahasa, dan realitas selalu kita tunaikan dalam berbagai hal di kehidupan walau tidak semua orang menyadarinya. Ketika saya berkumpul bersama kawan di taman, saya bisa berpikir tentang warna baju dan mengucapkannya dengan bahasa Indonesia bahwa, “Baju dia berwarna merah.” Saya tidak bisa menarik kesimpulan serta mengucapkan dengan bahasa jika dia menggunakan baju warna kuning. Kasus ini telah dikaji oleh para ahli seperti Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dia mengatakan bahwa bahasa merupakan sarana ekspresi.
            Kita harus mengetahui alur dari kajian ini dengan mengetahui dan memahami bahasa, pikiran, dan realitas. Demikian supaya memudahkan kita mengetahui keterkaitan diantara ketiganya.
            Untuk memaknai bahasa, secara garis besar ada dua paham tentang bahasa, yakni instru-mentalisme dan determinisme. Perbedaan diantara kedua paham tersebut hanya terletak pada persepsi kegunaan bahasa tersebut. Instru-mentalisme menganggap bahasa sebagai sarana pengungkapan ekspresi, pikiran, dan emosi. Sedangkan determinisme menganggap bahasa sebagai syarat mutlak untuk berpikir. Instru-mentalisme memiliki makna bahwa bahasa bukan merupakan sarana utama untuk menuangkan hasil pemikiran. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Seseorang yang sedih pun tak perlu membahasakan dengan lisannya, namun cukup dengan tangisan ataupun mimik muka yang cemberut atau nampak masam. Maka, Poespoprodjo (1999) mengatakan bahwa, paham intru-mentalisme lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tetap terasa pula dalam (kebanyakan) praktek karya ilmiah. Paham determinisme berkata lain tentang bahasa. Itu mendefinisikan bahwa bahasa merupakan syarat bagi kita untuk menuangkan hasil pemikiran. Jika tidak ada bahasa, maka hasil pemikiran kita tidak akan tercurahkan.
            Sebagian orang berpendapat bahwa berpikir merupakan awal dari semua proses realitas. Mungkin mereka menganggap adanya printer terlahir karena pikiran. Padahal lahirnya printer karena mereka telah mengetahui efektivitas kerja dari realitas printer tersebut. Manusia berpikir untuk menyelesaikan permasalahannya, yaitu pemborosan waktu, tenaga, dan kertas akibat mesin tik (realita). Maka, kenyataannya realitaslah awal dari semua proses tersebut. Realitas merupakan sumber pikiran. Hal itu disebabkan berpikir adalah proses menerima, dan realitas sebagai pendatang dan sumber pemikiran. Sebagai penerima, berpikir berfungsi sebagai suatu proses tanggapan kepada realutas yang ia dapatkan dari panca inderanya. Dengan kata lain, sungguh tidak dianjurkan jika kita berpikir semena-mena tanpa memikirkan apa yang realitas ungkapkan pada diri kita.
            Realitas merupakan sumber, perangsang, penarik minat otak kita untuk berpikir. Realitaslah yang mampu mengetahui sejauh mana pengetahuan dan memori kita terhadap realita di depan kita. Realitas sejatinya merangsang pikiran untuk mencari ungkapan yang tepat dengan dituangkannya pikiran atau realitas. Sehingga apa yang realitas katakan dapat dibahasakan oleh pikiran kita dan dikomunikasikan kepada orang lain. Bahasa merupakan jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya (Poespoprodjo,1999).
            Maka benar jika dikatakan bahwa ada relasi antara pikiran, bahasa, dan realitas. Tidak akan ada bahasa dan pikiran jika tidak ada realitas. Daur dari hubungan tersebut akan terus berlangsung karena realitas tidak akan pernah habus dipikirkan dan diungkapkan.
                                           


Referensi


Tidak ada komentar: