Namaku
Aisyah, gadis remaja biasa yang baru bangun dari tidur lelapnya. Sudah menjadi
kebiasaan bagiku meletakkan jam alarmku bersebelahan dengan kamar mandi. Supaya
mau tidak mau aku harus berjalan untuk mematikan si berisik itu.
Alarm
berdering. Kriiing..kriing.. kriiiingg! Nyaring sekali bunyinya. Benar saja jam
menunjukan pukul 04.15 WIB. Suhu kamarku dingin sekali saat itu karena aku
tinggal di kaki gunung Manglayang.
Aku
keluar dari selimut dan berharap supaya nampak seperti ulat yang keluar dari
kepompong.Berubah menjadi sosok yang lebih cantik dari sebelumnya. Kupu-kupu
yang penuh warna dan siap terbang mencari nektar yang manis. Ups, aku melamun.
Aku
pun meminum segelas air putih di sebelah si berisik itu.Lega sekali tenggorokanku
setelah itu.Seluruh nyawaku telah berkumpul setelah meminum air yang sengaja
aku simpan sebelum tidur itu.Melompatlah aku ke kamar mandi, aku harus
menunaikan kewajibanku.Segarnya percikan air wudu yang membasuh wajahku. Dua
rakaat pun aku tunaikan seraya berharap ada keajaiban yang akan Allah berikan
kepadaku hari ini.
Ibu
adalah orang pertama yang terucap di setiap doaku.Berharap supaya Allah
memberikan kasih sayang-Nya sebagaimana ibu memberikan kasih sayangnya kepadaku
dari kecil. Ayah telah meninggalkan kami sejak aku masih balita. Kadang aku
bersedih karena Allah memanggilnya terlalu cepat sehingga sampai saat ini aku
tidak pernah tahu sosoknya.Namun, ibu selalu mengatakan bahwa wajahku mirip
ayah. Ayah adalah lelaki hebat, bertanggungnjawab, dan menyayangi keluarganya.
* * *
“Ayahmu
sangat tampan namun yang membuat ibu jatuh cinta karena kemuliaan hatinya.Ibu
sangat menyayanginya.Wajahmu mengingatkan ibu kepadanya.”Kalimat itu terus
menerus ibu ulangi ketika aku selalu bertanya bagaimana sosok ayah. Ibu adalah
sosok wanita yang tegar, dia seakan telah bersumpah untuk tidak akan bersedih
di hadapan anaknya.
Umurku
sebentar lagi enam tahun. Kala itu ibu bekerja sebagai pedagang pakaian
keliling. Berjalan menyusuri setiap gang di kampung-kampung yang berbeda.Aku
sering memaksa untuk ikut ibu berdagang walau sering ibu tolak dengan alasan
aku harus sekolah. Sekolah sama saja dengan mencekik ibu pelan-pelan. Aku
bersikukuh mempertahankan logikaku saat itu.Namun yang membuatku takjub adalah
tatapan mata ibu ketika berusaha meyakinkanku.Ibu pun bekerja seharian demi
memastikan cukup biaya untuk sekolahku.
Tahun berikutnya aku didaftarkan ibu
masuk Sekolah Dasar.Aku adalah seorang anak yang supel dan ceria.Sebetulnya
agak sedikit tomboy sehingga teman laki-lakiku menghindar dariku.Namun, aku
tetaplah gadis mungil yang imut.Ibu selalu memakaikan kerudung yang lucu
untukku.Sehingga orang tua teman-temanku selalu gemas ketika berjumpa denganku.
Berbeda dengan teman-temanku yang
selalu diantar dan diawasi seharian di sekolah, aku sebaliknya.Membuatku
sedikit iri.Karena teman sekelasku seperti melihat makhluk aneh walau
sesungguhnya itu timbul dari perasaanku saja.Selain anak yang ceria, aku juga
termasuk anak yang rewel.Aku selalu mengamuk kepada ibu untuk ikut berdagangbersamanya.Namun,
ibu tidak pernah satu kali pun memarahi karena sikapku. Dia hanya tersenyum
kepadaku dan mengatakan,
“Besok ibu
temenin kamu di sekolah ya.”
Setidaknya
ucapan ibu menyumpal mulutku yang rewel.
Selama dua minggu aku berangkat ke
sekolah bersama ibu.Aku menyeringai dan menatap mata teman-temanku dengan mimik
penuh kemenangan.Ibu selalu mengintip gadis kecilnya dari jendela.Aku jadi
salah tingkah dibuatnya.Aku senang sekali.Aku menjadi sangat aktif di kelas.Ibu
guru pun terkesima olehku.Ibu hanya tersenyum saja menatapku. Aku tersenyum dan
hati kecilku berkata,
“Ibu, telima
kasih!”
Aku kini menjadi lebih
mandiri.Semangat belajarku berkobar.Ibu selalu mengajariku dengan tulus.Aku
sangat senang jika ibu menantangku untuk menghapal Alquran.Karena ibu selalu
memberikan hadiah, jika aku berhasil menuntaskan hapalanku.
“Ibu, telima
kasih!”
Sekarang, aku berangkat sekolah
dengan menggendong tas yang lebih besar dari tubuhku sendirian. Ibu tidak
membujukku sama sekali. Ibu pun tersenyum tulus ketika aku mantap berkata,
‘Bu, besok
Aisyah belangkat sekolah sendili yah.Deket ini kok bu.”
Alhasil, ibu dan aku berangkat
bersama setiap pagi namun kemudian kami berpisah.Ibu berdagang dan aku ke SD
Sinar Harapan.Tidak sedikitpun mengurangi semangat belajarku.Aku menjadi juara
kelas.Ibu meneteskan air mata dan menciumi pipi tembemku.
“Telima kasih
Ibu!”
* * *
Aku
beranjak membaca bahan untuk kuliah hari ini.Kebetulan, hari ini kuliah
pertamaku pukul 10.20 WIB.Jadi cukup membuatku agak santai pagi ini.Aku
menemukan kalimat yang di dalamnya tersisip kata pengorbanan.Selintas aku ingat
ibu.Beasiswa yang kuterima ini berkat motivasi darinya.Bekerja sekuat tenaga
menjadikan siang sebagai malam dan sebaliknya.
* * *
Ketika
aku masuk SMA, ibu pindah profesi menjadi koki.Ya, ibu pandai sekali
memasak.Walau dulu jarang sekali untuk makan daging.Namun, sayur capcay ibu
adalah yang terbaik menurut versiku.
Pengorbanan
untuk aku, ibu melakukan ini semua demi kebahagiaan putrinya.Putrinya yang
berevolusi menjadi wanita bertaqwa setelah bergabung dengan Ikatan Remaja
Masjid sejak SMP.Inikah yang dinamakan pengorbanan yang sejati?
Pengorbanan.Sering aku dengar dari
teman-temanku tentang kata itu.Tapi mereka selalu menyisipkan sebelum kata pacarku.Mereka hanya membahas tentang
seberapa besar pengorbanan pacarnya kepada mereka atau sebaliknya. Pengorbanan
macam apa itu? Kata hatiku.
Ayah, anakmu kini telah tumbuh dewasa karena
ibu. Aku mulai mengetahui apa alasan ayah mencintai ibu karena aku pun sangat
mencintainya. Ayah, betapa beruntungnya aku karena masih memiliki ibu.Ibu yang
seperti dia. Walau tak sedikit teman-temanku yang sering membicarakan keburukan
ibunya.Mereka bersemangat sekali ketika membicarakan ibunya yang sering cerewet
menyuruh dia makan, cerewet agar tidak pulang malam, dan cerewet khas ibu
lainnya. Namun aku percaya satu hal..ayah, ibu seperti itu karena ibu
menyayangi anaknya bukan?
* * *
Ketika
mengingat ibu, aku terharu sekaligus kagum. Dari keringatnyalah aku bisa duduk
di bangku kuliah ini. Ibu adalah motivasi terbesarku. Ibu adalah pahlawan yang
selalu ada di hatiku. Apa jadinya aku jika tidak ada ibu? Sungguh pertanyaan
yang tidak mau aku jawab.Hati kecilku belum siap untuk menerima kemungkinan
tersebut.
Aku melanjutkan membacaku.... TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar