Kamis, 17 Oktober 2013

Menyumpahinya 12 kali


Damar yang kala itu baru saja pulang dari kampus berpapasan dengan Indah. Mereka berbincang mengenai tugas yang baru saja di berikan oleh dosennya.
“Tugas itu sulit sekali lah, aku bingung mengerjakannya.” Damar terus saja menundukan kepala. Indah hanya tersenyum dan menatap ke arah Damar yang sedang lowbat itu.

Senja kala itu menjadi kenangan. Udara semilir berbau bunga yang sedang mekar. Mereka terus saja berjalan hendak menuju asrama yang berjarak dua kilo meter dari kampusnya. Damar menatap langit, matanya menerawang kosong. Dia menghentikan langkahnya. Indah kebingungan dan bertanya,
“Ada apa Mar?”

Damar hanya terdiam. Pandangannya masih kosong menatap ke langit. Walau sekarang Indah beranggapan bahwa Damar sedang menghitung segerombolan burung yang entah mau kemana. Indah berjalan ke depan Damar dan menatap wajahnya serius. Indah masih belum mengerti apa yang sedang Damar pikirkan. Apa yang sedang dia lihat, gumam Indah.

Jam menunjukan pukul 17.16. Sudah senja, mereka harus lekas pulang. Namun, angin senja meniup terlalu nyaman. Mungkin itu penyebab Damar menghentikan langkahnya. Pepohonan pun kebingungan apa yang sedang Damar lihat dan pikirkan.
“Indah..” Damar akhirnya bersuara. Suara itu lemah sekali. Tak mampu mengalahkan suara burung-burung yang bersilhoete di balik jingga.
“Apa, kamu gak papa Mar?” Indah menatap bingung wajah Damar yang masih menatap langit.
“Apakah kamu tahu sesuatu tentang apa yang aku pikirkan?” Damar melangkah kecil. Sekarang posisi Damar berada di depan Indah.

Indah menyumpahi Damar tiga kali. Apa yang akan ditanyakannya justru ditanyakan oleh orangnya sendiri. Indah berlari kecil mengejar Damar. Sikap Damar seperti so keren. Namun, rasa terbelalak kagum sekaligus aneh timbul di hati Indah. Damar memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana katunnya. Wajahnya masih menatap ke langit jingga. Sayangnya, matahari senja yang seperti kuning telur itu tidak ada dihadapan mereka. Matahari itu ada di sebelah kanan mereka. Jika ada seseorang di sebelah kiri mereka, maka dia akan melihat siluet dua manusia. Siluet pria dengan perawakan tinggi dan wanita yang seperti sedang mengejarnya. Rambut mereka mengalun seiring arah angin. Manis sekali jika itu diabadikan dalam frame.
“Indah, apakah kamu tahu perasaanku?” Damar mengulangi pertanyaan yang sama.

Indah menyumpahinya enam kali. Namun, kini Indah menjawab pertanyaannya. Walau dia memang so tahu.
“Kamu sedang memikirkan wajah Dosen killer di kelas tadi. Kamu membencinya, tapi kamu menyukainya bukan?”

Indah menjawab dengan nada serius. Damar tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap Indah serius. Indah menghentikan langkahnya. Indah pun menatap wajahnya. Apakah akan ada peperangan di jalan itu? Mereka saling menatap. Indah semakin bingung. Damar membuka bibirnya hendak mengucapkan sesuatu. Indah bercucuran keringat. Dia semakin tegang. Otak dan hatinya terus mencari-cari kemungkinan kira-kira apa yang akan di ucapkannya.
“Indah...”
“Ya...”
“A.....a....a...a..”
“Iya apa Mar..?” Suara Indah semakin lembut. Mungkin terbawa suasana romantis kala itu.
“A...ku...aku...aku..”

Mata Indah semakin terbelalak, berbinar penasaran. Dia menatap tajam ngotot ingin melihat isi  otaknya. Jarak mereka tinggal satu langkah lagi. Jantung Indah berdetak semakin cepat. Apakah mungkin doanya setiap di setiap pertiga malam akan dikabulkan oleh Allah. Indah sangat berharap Damar akan menyatakan cintanya saat itu. Jadinya Indah selalu berharap ada keajaiban. Apalagi momennya sedang romantis seperti ini. Langit yang jingga, pohon-pohon melambai, dan angin yang terus berhembus menentramkan hati.
“A..ku...akuu...”

Indah menyumpahi Damar sembilan kali. Hatinya semakin jengkel. Jika diwakilkan dalam emotikon nampaknya Indah akan memilih gambar meledak.
“Iyaa,,apa Damar..”
“Aku..aku..aku”

Damar memang begitu, selalu saja gagap jika ingin membicarakan hal yang penting. Itu berarti hatinya sedang tidak tenang. Itulah yang membuat persentase kemungkinan hipotesis Indah bahwa Damar menyukainya meningkat. Angin semakin cepat berhembus. Jalanan itu seakan menjadi milik mereka berdua. Ya setidaknya burung-burung pun menjauhi mereka. Takut mengganggu kenyamanan mereka.
“Aku...akuu..aku mulai lapar..”

Indah pun menyumpahi Damar 12 kali, namun kali ini dibantu dengan cubitan-cubitan panas. Damar pun akhirnya tertawa. Indah pada awalnya memasang wajah kecut, namun setelah melihat wajah Damar, dia pun tertawa juga. TAMAT



Tidak ada komentar: