Senin, 11 Agustus 2014

Media Sosial Sebagai Kunci Utama Perkembangan Bahasa Indonesia Di Kalangan Remaja






AZIZ MUSLIM
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN




Media sosial: Facebook di Indonesia berkembang sangat pesat. Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi efektif serta inovatif, memberikan data terkini pengguna Facebook di Indonesia. Menurut mereka, kini mayoritas penduduk Indonesia yang telah menggunakan media sosial mencapai sekitar 65 juta pengguna aktif. Penggunaan media sosial melalui perangkat mobile per bulan mencapai angka 55 juta jiwa, sedangkan per hari 28 juta jiwa. Secara umum pengguna aktif per harinya tercatat 33 juta jiwa. Indonesia menempati posisi ke-4 penggunaan Facebook di dunia. Apalagi didukung kepribadian bangsa Indonesia yang terkenal dengan budaya sopan, ramah, dan gemar bersilaturahmi. Adanya media sosial membantu masyarakat untuk berkomunikasi dan memenuhi kebutuhan informasi. Dengan memiliki salah satu akun media sosial berbagai informasi terkait pemerintah, ekonomi, bisnis, hingga hiburan dapat diakses. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab berkembang pesatnya ‘aneka’ media sosial di Indonesia.
Dari segi pemakaian, kini media sosial tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang memiliki komputer atau laptop yang terhubung pada internet saja. Namun, berbagai jenis gadget yang memiliki harga lebih terjangkau membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah tetap bisa melakukan aktivitasnya di media sosial. Di pasar lokal saja, gadget bisa dibawa pulang dengan harga Rp 700.000,- bahkan bisa kurang. Ini pun menjadi salah satu  faktor penunjang pesatnya perkembangan media sosial di Indonesia. Seiring dengan bertambahnya pengguna media sosial di Indonesia dikhawatirkan akan berdampak buruk pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada kalangan remaja. Pasalnya, selain penyerapan bahasa daerah ke dalam percakapan resmi contoh: blusukan, kini remaja Indonesia menggunakan istilah bahasa asing ke dalam percakapan sehari-hari. Bahkan media massa saja seringkali kecolongan, contoh pada judul berita di Merdeka.com (31/7) tertulis, “Blusukan di Solo, Jokowi bagi angpao dan beli bunga”. Seharusnya, penulisan kata daerah dan asing diberikan tanda baca yang sesuai dengan kaidah EYD, seperti halnya pada Kompas.com (28/7), “Saat Jadi Presiden, Jokowi Akan Tetap Lebih Sering ‘Blusukan’ daripada di Kantor”. Penggunaan bahasa asing pun menjadi hal yang lumrah dewasa ini. Tidak percaya? Kunjungilah mal terdekat. Berkunjunglah ke sebuah tempat makan di sana. Besar kemungkinan kita akan disodori menu berbahasa Inggris. Seperti Fried Chicken, Beef Pepper Rice, Milk Shake with Banana dan lain-lain. Bukankah seharusnya selaku bangsa Indonesia kita merasa bangga dengan bahasa sendiri?
Media sosial menjadi kunci bagi perkembangan Bahasa Indonesia kini. Masalah tidak akan ditemukan apabila itu berkembang ke arah yang lebih baik. Media sosial diharapkan mampu untuk menumbuhkan semangat berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun kenyataannya, pengguna media sosial selalu disuapi dengan istilah-istilah asing.
“Individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan” (Ivan Petrovich Pavlo).
Terjadinya pengulangan akan membentuk sebuah kebiasaan baru dalam berbahasa Indonesia ketika beraktivitas di media sosial. Sehingga, akan berimbas ke dalam pergaulan sehari-hari. Pemilik  akun media sosial kini merasa lumrah dalam menggunakan istilah asing ketika berkomunikasi. Secara spontan mereka mengatakan, “Happy birthday, come on, pre order, ready stock, online, download, upload, posting, share dan lain-lain”.
Media sosial memiliki fasilitas berupa simbol-simbol visual pengungkap emosi (emoticon pada Facebook dan Sticker pada Line). Penyampaian pesan secara visual menjadi kekuatan bagi media sosial. Aneka jenis gambar emosi: emoticon, sticker, dan lain-lain membuat berkomunikasi semakin efektif. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Berkeley, Yale, Stanford, Northeastern, Claremont, dan McKenna menyimpulkan semua responden setuju bahwasanya emoticon dapat menambah kejelasan keadaan emosi dalam bicara dengan cara on-line sampai 62 %. Pada Line, sticker seringkali disisipi tulisan asing seperti, “Oh my god why, no!, thank you, please, i’m ok, talk to the hand! dan lain-lain”. Sangat disayangkan, padahal sticker bisa menjadi salah satu solusi untuk menumbuhkan semangat berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan, segilintir orang mengatakan bahwa penggunaan istilah asing bukanlah permasalahan serius. Namun, justru inilah permasalahan utama yang sedang dihadapi bangsa ini.
Pemerintah selayaknya harus memelopori semangat berbahasa Indonesia yang baik dan benar di lingkungan pekerjaan, contoh: melayani masyarakat; bekerja sama dengan perusahaan media sosial dengan cara memperbanyak sticker yang mampu mewakili budaya Indonesia, membatasi penggunaan istilah-istilah asing dalam iklan, informasi, dan fasilitas lain; memunculkan kembali rasa nasionalisme dengan program menarik, seperti: Hari Senin berbahasa Indonesia yang baik dan benar, pengembangan kurikulum Bahasa Indonesia yang lebih aplikatif dan menjunjung tinggi budaya Indonesia.
Peribahasa mengatakan bahwa bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Didukung dengan pernyataan Budayawan Sunda H. Asep Sunandar Sunarya (Alm.) yang menyatakan, “Darajat hiji bangsa bisa diukur tina budayana. Lamun budayana awut-awutan, kalayan pasti bangsana ge awut-awutan”.  Alhasil, jika penggunaan istilah asing semakin banyak saya khawatir kita akan semakin terjajah secara mental. Kita akan menjadi bangsa yang malu di negeri sendiri. Bahkan, kita akan merasa bingung karena merasa terasing di tanah kelahiran kita sendiri. Berusaha menirukan budaya asing merupakan indikasi bahwa bangsa kita sedang dilanda rendah diri yang akut.

Tidak ada komentar: