AZIZ MUSLIM
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Media sosial: Facebook di
Indonesia berkembang sangat pesat. Webershandwick,
perusahaan public relations dan
pemberi layanan jasa komunikasi efektif serta inovatif, memberikan data terkini
pengguna Facebook di Indonesia. Menurut mereka, kini mayoritas penduduk Indonesia yang telah menggunakan
media sosial mencapai sekitar 65 juta pengguna aktif.
Penggunaan media sosial melalui perangkat mobile
per bulan mencapai angka 55 juta jiwa, sedangkan per hari 28 juta jiwa.
Secara umum pengguna aktif per harinya tercatat 33 juta jiwa. Indonesia
menempati posisi ke-4 penggunaan Facebook di dunia. Apalagi didukung kepribadian
bangsa Indonesia yang terkenal dengan budaya sopan, ramah, dan gemar
bersilaturahmi. Adanya media sosial membantu masyarakat untuk berkomunikasi dan
memenuhi kebutuhan informasi. Dengan memiliki salah satu akun media sosial berbagai
informasi terkait pemerintah, ekonomi, bisnis, hingga hiburan dapat diakses. Hal
ini merupakan salah satu faktor penyebab berkembang pesatnya ‘aneka’ media
sosial di Indonesia.
Dari segi pemakaian, kini
media sosial tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang memiliki komputer atau
laptop yang terhubung pada internet saja. Namun, berbagai jenis gadget yang memiliki harga lebih
terjangkau membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah tetap bisa melakukan
aktivitasnya di media sosial. Di pasar lokal saja, gadget bisa dibawa pulang dengan harga Rp 700.000,- bahkan bisa
kurang. Ini pun menjadi salah satu faktor
penunjang pesatnya perkembangan media sosial di Indonesia. Seiring dengan bertambahnya
pengguna media sosial di Indonesia dikhawatirkan akan berdampak buruk pada
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada kalangan remaja. Pasalnya,
selain penyerapan bahasa daerah ke dalam percakapan resmi contoh: blusukan, kini remaja Indonesia
menggunakan istilah bahasa asing ke dalam percakapan sehari-hari. Bahkan media massa
saja seringkali kecolongan, contoh pada
judul berita di Merdeka.com (31/7)
tertulis, “Blusukan di Solo, Jokowi bagi
angpao dan beli bunga”. Seharusnya, penulisan kata daerah dan asing
diberikan tanda baca yang sesuai dengan kaidah EYD, seperti halnya pada Kompas.com (28/7), “Saat Jadi Presiden, Jokowi Akan Tetap Lebih Sering ‘Blusukan’ daripada
di Kantor”. Penggunaan bahasa asing pun menjadi hal yang lumrah dewasa ini.
Tidak percaya? Kunjungilah mal terdekat. Berkunjunglah ke sebuah tempat makan
di sana. Besar kemungkinan kita akan disodori menu berbahasa Inggris. Seperti Fried Chicken, Beef Pepper Rice, Milk Shake
with Banana dan lain-lain. Bukankah seharusnya selaku bangsa Indonesia kita
merasa bangga dengan bahasa sendiri?
Media
sosial menjadi kunci bagi perkembangan Bahasa Indonesia kini. Masalah tidak
akan ditemukan apabila itu berkembang ke arah yang lebih baik. Media sosial
diharapkan mampu untuk menumbuhkan semangat berbahasa Indonesia yang baik dan
benar. Namun kenyataannya, pengguna media sosial selalu disuapi dengan
istilah-istilah asing.
“Individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon
yang diinginkan” (Ivan
Petrovich Pavlo).
Terjadinya pengulangan akan
membentuk sebuah kebiasaan baru dalam berbahasa Indonesia ketika beraktivitas
di media sosial. Sehingga, akan berimbas
ke dalam pergaulan sehari-hari. Pemilik akun media sosial kini merasa lumrah dalam menggunakan
istilah asing ketika berkomunikasi. Secara spontan mereka mengatakan, “Happy birthday, come on, pre order, ready
stock, online, download, upload, posting, share dan lain-lain”.
Media sosial memiliki
fasilitas berupa simbol-simbol visual pengungkap emosi (emoticon pada Facebook dan Sticker
pada Line). Penyampaian pesan secara visual
menjadi kekuatan bagi media sosial. Aneka jenis gambar emosi: emoticon,
sticker, dan lain-lain membuat berkomunikasi semakin efektif. Penelitian
yang dilakukan oleh Universitas Berkeley, Yale, Stanford, Northeastern,
Claremont, dan McKenna menyimpulkan semua responden setuju bahwasanya emoticon dapat menambah kejelasan
keadaan emosi dalam bicara dengan cara on-line
sampai 62 %. Pada Line, sticker seringkali
disisipi tulisan asing seperti, “Oh my
god why, no!, thank you, please, i’m ok, talk to the hand! dan lain-lain”.
Sangat disayangkan, padahal sticker bisa
menjadi salah satu solusi untuk menumbuhkan semangat berbahasa Indonesia yang
baik dan benar. Bahkan,
segilintir orang mengatakan bahwa penggunaan istilah asing bukanlah
permasalahan serius. Namun, justru inilah permasalahan utama yang sedang
dihadapi bangsa ini.
Pemerintah selayaknya harus memelopori semangat
berbahasa Indonesia yang baik dan benar di lingkungan pekerjaan, contoh:
melayani masyarakat; bekerja sama dengan perusahaan media sosial dengan cara
memperbanyak sticker yang mampu
mewakili budaya Indonesia, membatasi penggunaan istilah-istilah asing dalam
iklan, informasi, dan fasilitas lain; memunculkan kembali rasa nasionalisme
dengan program menarik, seperti: Hari Senin berbahasa Indonesia yang baik dan
benar, pengembangan kurikulum Bahasa Indonesia yang lebih aplikatif dan menjunjung
tinggi budaya Indonesia.
Peribahasa
mengatakan bahwa bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Didukung dengan
pernyataan Budayawan Sunda H. Asep Sunandar Sunarya (Alm.) yang menyatakan, “Darajat hiji bangsa bisa diukur tina budayana.
Lamun budayana awut-awutan, kalayan pasti bangsana ge awut-awutan”. Alhasil, jika penggunaan istilah asing
semakin banyak saya khawatir kita akan semakin terjajah secara mental. Kita
akan menjadi bangsa yang malu di negeri sendiri. Bahkan, kita akan merasa
bingung karena merasa terasing di tanah kelahiran kita sendiri. Berusaha
menirukan budaya asing merupakan indikasi bahwa bangsa kita sedang dilanda
rendah diri yang akut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar