Keberangkatan
Dewan Pengurus (DP) dan Dewan Pertimbangan Pengurus (DPP) Lises Unpad ke
Pangalengan bertujuan untuk Rapat Kerja Tengah Tahun (Rakerta). Rakerta
kepengurusan 2013/2014 itu akan dilaksanakan di kediaman Kang Sonny Tamara
Kecamatan Pangalengan. Namun, satu hari sebelumnya yaitu Jum’at, 22 Agustus
2014 saya diajak untuk ikut serta ke sana. Awalnya saya bingung karena beranggapan
itu hanya untuk DP dan DPP saja. Ternyata, yang berangkat ke Pangalengan bukan
hanya pengurus saja. Melainkan teman-teman Lises yang lain termasuk saya yang
notabene anggota termuda (Wisnuwarman).
Kami
tidak bermalam di kediaman Kang Sonny, melainkan di kediaman Ceu Siska.
Kediaman Ceu Siska berdekatan dengan Sonny. Saya, Kang Ade, Kang Daelan, Kang
Gandhi, Ceu Enod, Ceu Ableh, dan Juding tidur nyenyak dipepende oleh udara dingin segar Pangalengan. Rumahnya sederhana,
namun suasananya nyaman sekali. Saya masih ingat hangatnya keluarga Ceu Siska
saat pertama menginjakan kaki di halaman rumahnya. Sungguh membuat saya
merindukan suasana rumah.
Kami
melakukan perjalanan dari Jatinangor ke Pangalengan selama hampir tiga jam.
Teriknya sinar matahari membuat kami lelah. Terlebih udara Pangalengan siang
hari yang tetap panas jauh dari perkiraan awal (dingin). Kami berinisiatif
untuk istirahat sejenak menunggu waktu ashar di halaman belakang. Cukup asri
dan sejuk suasana di sana. Jika Anda keluar dari pintu belakang, Anda akan
langsung dihadapkan dengan kolam ikan yang dikelilingi pohon jambu yang sedang
berbuah.
Angin
sepoi-sepoi menemani waktu istirahat kami. Tidak begitu lama, Ibu Ceu Siska
menghampiri kami dengan membawa satu mangkuk besar tutut (Baca - Keong sawah).
Olahan makanan favorit suku Sunda itu sangat lezat, bumbunya kebetulan mirip
seperti rasa olahan rendang daging sapi. Apalagi ditemani kerupuk dan teh manis
hangat. Saya serasa ingin menulis ucapan TERIMA KASIH yang sangat besar pada
kain raksasa (saking bahagianya). Ternyata, keluarga Ceu Siska terus saja
menjamu kami. Setelah makan tutut, datanglah ayahnya Euceu dengan membawa alat
pancing. Beliau menghendaki kami untuk mancing: sambil menunggu sore katanya.
Awalnya kami ragu, tapi ujung-ujungnya mancing juga.
Cukup
sulit memancing di kolam yang tidak terlalu besar. Karena mungkin boro-boro ikan mau nyantap ikan, mau
berenang ke tengah juga sudah syukur. Karena, pemancing-pemancing amatir ini
selalu tertawa dan bolak-balik gak
jelas. Saya dan Kang Ade berhasil menangkap ikan. Hanya Kang Daelan yang gagal,
mungkin bukan harinya. Kami sempat putus asa karena hari sudah mulai gelap, sementara
tangkapan kami baru tiga ikan. Sekali lagi ayah Ceu Siska menjadi Superman bagi kami. Beliau telah
menyiapkan ikan-ikan besar sebelum kami sampai. Ikan-ikan itu disimpan di dalam
jaring dan kami tidak mengetahui keberadaannya. Kini, saya ingin menuliskan
lagi kata I LOVE YOU di atas langit untuk keluarga Ceu Siska.
Malam
pun tiba, kami menunaikan solat Isya bergantian. Perut yang keroncongan memaksa
kami untuk mencari makanan. Sampai ketika ada seorang di antara kami mengusulkan
untuk jajan bakso. Tidak ada pilihan lain, kami pun sepakat pergi bersama-sama
untuk membeli semangkuk bakso yang katanya bakso khas Pangalengan. Perut
kenyang dan bibir merah karena porsi yang sangat pedas. Namun, keluarga Ceu
Siska belum puas menjamu kami. Sepulang dari tempat bakso, kami disambut oleh
keluarga Ceu Siska dengan api unggun kecil yang hangat. Gelak tawa yang
terlontar akibat kelucuan keponakan-keponakan Ceu Siska menambah kehangatan
suasana pada malam itu. Kehangatan itu membuat jarak antara kami semakin tidak
tampak. Hal itu sempat menjadi ketakutan bagi saya karena khawatir predikat
saya sebagai akademisi justru membuat jarak dengan masyarakat. Namun, keterbukaan
menghapuskan jarak itu. Malam yang penuh kehangatan ini ditutup dengan memasak
ikan bakar dan makan bersama. Terima kasih keluarga Ceu Siska, semoga kebaikan
menyertai kehidupan Bapak, Ibu, Ceuceu, dan semuanya. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar