Tujuan Penulisan
Karya tulis ini disusun untuk merepresentasikan argumen
penulis terhadap kalimat ‘Manusia yang tidak memiliki akal dan pengetahuan
tidak dapat memiliki kebebasan dan tanggungjawab’. Penulis pada akhirnya akan
memutuskan apakah menyetujui kalimat tersebut (pro) atau justru sebaliknya
(kontra). Tentunya, pengambilan keputusan itu berdasarkan dari literatur,
referensi, dan informasi yang pernah penulis ketahui sebelumnya.
Teknis Pengambilan Keputusan
Saya membaca kalimat itu secara seksama dan akhirnya memeroleh
kesimpulan sementara, yaitu “Saya tidak bisa langsung memutuskan apakah saya
berada di pihak pro atau kontra.” Hal tersebut disebabkan karena
saya menemukan lebih dari dua term dalam kalimat ‘Manusia yang tidak memiliki
akal dan pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan dan tanggungjawab’. Sehingga, akan melahirkan proposisi yang
lebih dari satu. Adapun nantinya, kesimpulan saya dalam mengambil keputusan
‘pro’ atau ‘kontra’ hanya bisa saya berikan kepada tiap-tiap proposisi yang
dihasilkan nanti.
Term-term yang dikumpulkan akan saya kategorisasikan
dalam tabel di bawah ini:
Term
Bebas
|
Term
Terikat
|
Akal
|
Kebebasan
|
Pengetahuan
|
Tanggungjawab
|
Apabila
kita amati dengan seksama, kalimat di atas mengandung hubungan kasualitas
dengan paham positivistik (jika X maka Y). Sehingga term di atas bisa berganti
istilah menjadi Variabel, (1) Tidak berakal, (2) Tidak Berpengetahuan, (3)
Tidak dapat memiliki kebebasan, (4) Tidak dapat memiliki tanggungjawab. Alhasil
setelah dikategorikan, variabel-variabel tersebut dapat kita hubungkan menjadi
proposisi-proposisi yang akan membantu saya dalam mengambil keputusan.
Selengkapnya dapat kita perhatikan dalam bagan di bawah ini:
Dari
bagan tersebut dapat diketahui empat proposisi, diantaranya:
1.
Manusia
yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki kebebasan
2.
Manusia
yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki tanggungjawab
3.
Manusia
yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan
4.
Manusia
yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki tanggungjawab
Analisis Term
Saya yakin perlu untuk mengetahui makna dari term
tersebut. Tentunya akan berpengaruh kepada kesimpulan yang akan saya hasilkan
kelak. Apabila kita perhatikan kembali kepada tiap-tiap proposisi di atas, maka
akan ada sesuatu hal yang saya rasa menarik untuk ditanyakan (tentunya sebatas
pertanyaan yang akan membantu saya untuk mengambil simpulan), hal itu seperti:
(1) Apa itu akal? (2) Apakah akal memiliki batasan tertentu, sejauh mana? (3)
Apa itu pengetahuan? (4) Pengetahuan seperti apa yang dimaksud dan sampai mana
batasannya? (5) Apa itu kebebasan? (6) Apakah dalam kebebasan ini absolut, atau
justru terdapat batasannya? (7) Apa itu tanggungjawab? (8) Apakah tanggungjawab
dalam kasus ini bersifat ke dalam atau ke luar?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akal
memiliki empat definisi diantaranya: Daya pikir (untuk memahami sesuatu); Jalan
atau cara untuk melakukan sesuatu/daya upaya/ikhtiar; Tipu daya/kelicikan/ muslihat/kecerdikan;
Kemampuan melihat dan cara memahami lingkungan. Beralih kepada konsep akal
menurut Alquran, akal secara bahasa berasal dari kata Al-‘Aql. Dengan kekuatan akal, manusia mendapatkan ilmu dan ilmu
yang digunakan serta dimiliki manusia bergantung pada kekuatan akalnya1.
Alquran menggunakan akal sebagai sesuatu yang mengikat atau menghalangi
seseorang untuk terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Dengan kata lain, manusia
yang berakal mampu mengendalikan hawa nafsunya, misalnya dorongan biologisnya
semata. Pengertian yang lain pun mengatakan bahwa akal adalah sesuatu peralatan
rohaniah manusia (tak nampak) yang berfungsi untuk mengingat, menganalisis,
menyimpulkan, dan menilai serta membedakan sesuatu apakah itu benar atau salah2.
Dari berbagai definisi akal di atas saya pun menyimpulkan bahwa batasan akal
dalam konteks ini merupakan kemampuan untuk membedakan benar dan salah, baik
dan buruknya sesuatu untuk dirinya dan selain dirinya (lingkungan).
Pengetahuan berkata dasar tahu yang
menurut KBBI berarti mengerti sesudah melihat
(menyaksikan, mengalami, dsb); kenal atau mengenali akan sesuatu; mengindahkan
bahkan sampai memperdulikan; pandai atau cakap. Sedangkan menurut Adlany (2015)
pengetahuan (knowledge) merupakan sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa
dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan
dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan meliputi emosi, tradisi,
keterampilan, informasi, akidah, dan hubungan dengan lingkungan dan
pikiran-pikiran3. Dalam komunikasi sehari-hari kita acap kali sering
menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya
sudah terbiasa menyelesaikan soal-soal seperti ini”, “Saya menginformasikan
kejadian itu” dan kalimat-kalimat lainnya yang menunjukan bahwa kita telah
mengetahui sesuatu. Dari definisi di atas maka diketahuilah bahwa batasan dari
pengetahuan tergantung pada konteks atau kasus apa yang sedang kita kaji.
Batasan pengetahuan adalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat
ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
Kebebasan
dalam kasus ini saya tafsirkan sebagai kebebasan berperilaku. Manusia saya
asumsikan sebagai pemilik kebebasan tertinggi dalam hidupnya. Milyaran pilihan
dalam kehidupan membuat dia harus
memilih satu dari sekian banyak.
Sesungguhnya bebas dan sah-sah saja. Hanya saja, manusia yang memiliki akal dan
mengetahui mana yang baik dan buruk dan benar serta salah terbatasi
kebebasannya. Kita sebut saja norma dan etika, bagaimana kebebasan itu
terkerangkengi oleh dua hal itu. Jadi, kebebasan itu adalah sesuatu yang ada
dalam diri setiap manusia. Namun keberadaannya terbatasi oleh akal.
“Kamu harus bertanggungjawab!”,
“Amanat tidak akan salah memilih pundak, dan kelak nanti kamu akan
mempertanggungjawabkannya”, “Apakah divisi Anda sudah melampirkan laporan
pertanggungjawabannya?”. Sebenarnya apa itu tanggungjawab? Mengapa manusia
harus bertanggungjawab. Tentunya ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk
diketahui bukan?
Naufal Muttaqien dalam Kompasiana
(Published: 12/06/2013) mendefinisikan tanggungjawab sebagai kesadaran manusia
akan tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak.
Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Naufal pun mengatakan bahwa tanggungjawab bersifat kodrati. Artinya, sudah
menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan pasti
masing-masing orang akan memikul suatu tanggungjawabnya sendiri-sendiri.
Apabila seseorang tidak mau bertanggungjawab, maka tentu ada pihak lain yang
memaksa untuk tindakan tanggungjawab tersebut4. Dengan demikian
tanggungjawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1.
Dari
sisi yang berbuat
2.
Dari
sisi kepentingan pihak lain
Saya
menafsirkan bahwa dua sisi itu juga mengandung arti kita mutlak harus
bertanggungjawab kepada diri sendiri, dan juga orang lain. Mau atau tidak,
cepat atau lambat saya yakini akan ada pertanggungjawabannya.
Pengambilan Keputusan
1. Manusia
yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki kebebasan
Saya setuju dengan kalimat ini. Karena, manusia yang
berakal (mengetahui mana yang baik dan buruk) saja tidak dapat memiliki
kebebasan untuk memilih pilihan karena terbatasi oleh norma, etika, dan agama.
Apalagi yang tidak berakal? Akan sangat berbahaya terhadap orang lain di
lingkungannya atau bahkan dirinya sendiri apabila dia mendapatkan atau
diberikan kebebasan. Pernah mendengar kalimat, “Jangan bersikap semaumu dewek
lah!, nyebelin!”.
2. Manusia
yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki tanggungjawab
Dalam kasus ini saya ingin membagi tanggungjawab
ke dalam dua jenis sebagaimana di paparan sebelumnya, yaitu tanggungjawab
kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Maka, saya memutuskan untuk Tidak
Setuju
apabila manusia yang tidak memiliki akal tidak dapat memiliki
tanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Karena, sampai saat ini saya masih bisa
menyaksikan manusia yang tidak berakal (maaf) orang gila yang sering kita lihat
dipinggir jalan masih mencari makanan, bahkan minta rokok, dan urusan perut
lainnya. Sederhananya, dia bertanggungjawab pada dirinya sendiri. Hal itu saya
asumsikan bahwa akalnya turun beberapa tingkat sehingga menyentuh tingkat yang
paling mendasar yaitu bertahan hidup. Kita lebih familiar dengan istilah
tuntutan biologis atau hewani. Namun, saya Setuju apabila itu akal dia
dikaitkan dengan tanggungjawab kepada pihak lain. Sebab akan sangat berbahaya
apabila manusia yang tidak berakal diberikan kewenangan/dapat memiliki
tanggungjawab. Contoh saja (sekali lagi maaf) orang gila kita berikan atau
dapati tanggungjawab untuk membetulkan listrik di rumah kita. Apakah kita akan
mau melakukannya dan mempercayakan amanat itu kepadanya? Akankah dia bisa
mempertanggungjawabkannya? Sampai saat ini saya belum mengetahui bahwa orang
yang tidak berakal layak dapat memiliki tanggungjawab.
3. Manusia
yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki kebebasan
Pengetahuan apa? Perlu diberikan
perumpamaan. Masih, soal listrik saja supaya hangat. Saya Setuju dengan statement ini (dalam konteks melibatkan
orang lain atau sebaliknya). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dalam
bidang kelistrikan sesungguhnya memiliki kebebasan di dalam dirinya. Apakah dia
akan memegang kawat listrik bertegangan, atau dia belajar. Dia bebas melakukan
apa saja sesuai apa yang dia kehendaki dibalik ketidaktahuannya terhadap
listrik. Hanya saja, tentu itu tidak boleh terjadi. Seorang balita yang belum
mengetahui listrik misalnya, dia tidak dapat memiliki kebebasan untuk mengotak-atik
listrik karena ketidaktahuannya pada hal itu. Dikatakan tidak dapat karena ada
yang melarang, siapa? Ya, kamu benar: Lingkungannya. Bisa jadi orang tuanya,
atau keluarganya.
4. Manusia
yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat memiliki tanggungjawab
Tidak memiliki pengetahuan bukan berarti tidak berakal
bukan? Saya mengasumsikan subjek adalah seseorang yang berakal sehat dan tidak
mengetahui tentang dunia kelistrikan. Saya Setuju pada kalimat di atas dalam
konteks jika output pekerjaannya dirasakan orang lain. Misalnya ketika subjek
diberikan tanggungjawab untuk membetulkan listrik suatu rumah yang terjadi
konsleting, mana dia mau? Bahkan, pasti dia akan menolak amanat itu sebelumnya.
Atau walaupun dia mau, teman-temannya yang mengetahui ketidaktahuannya mungkin
akan melarang dia. Dengan kata lain, dia tidak dapat memiliki tanggungjawab
terhadap pekerjaan itu karena tidak memiliki pengetahuan.