HIMPUNAN PENCAK SILAT
PANGLIPUR
Rd. Enny
Rukmini Sekarningrat,
Pejuang
Kemerdekaan RI dan
Pendekar Pencak Silat Empat Jaman
Menjadi seorang guru dan pemimpin pencak silat dapat dikatakan
cukup berat, di samping harus menguasai jurus-jurus dan teknik-teknik seni
beladiri pencak silat yang mantap, fisik yang prima, serta mental yang kuat
tentunya juga dituntut harus memahami falsafah seni beladiri pencak silat
secara mendalam, seperti yang pernah dialami Rd. Enny Rukmini Sekarningrat,
pakar pencak silat dan pejuang wanita empat zaman, puteri Abah Aleh (1856-1980)
pendiri Panglipur. Abah Aleh adalah seorang maestro seni beladiri pencak silat
yang mampu menggabungkan aliran-aliran pencak silat menjadi jurus Panglipur
yang indah, luwes, efektif, dan praktis untuk membela diri. Ketika
"Duel" menemui Rd. Enny Rukmini Sekarningrat, sepertinya ia tak
nampak ekspresi seorang tua, pada umumnya. Ia masih lantang berbicara, ringan
bergerak, jalan dan melompat. Saat dilakukan pemotretan, ia masih bisa dengan
mudah memperagakan sembilan jurus pokok Panglipur, lengkap dengan aplikasinya,
ternyata tenaganya masih kuat mendorong dan melemparkan lawannya dengan cepat,
kuat dan bertenaga, seperti mengadung ilmu tenaga dalam.
Nama Rd.
Enny Rukmini Sekarningrat cukup terkenal dikalangan masyarakat luas terutama bagi mereka yang mencintai seni beladiri
pencak silat. Bahkan namanyapun telah tercatat di PB IPSI sebagai Dewan Pakar
Pencak Silat Nasional, sehingga tidaklah mengherankan apabila namanya sudah terkenal
sampai ke tingkat Internasional. Memang kalau kita belum mengenalnya sekilas
terlihat galak apalagi didukung oleh sorot matanya yang tajam, membuat orang
yang melihatnya menjadi segan. Namun semua itu tidak benar, buktinya bila kita
sudah terlibat perbincangan dengannya ternyata ia seorang yang ramah, baik,
sopan, dan rendah hati.
Panggilannya
pendek saja, boleh dipanggil "Ibu" atau "Ibu Enny", tapi
umumnya para pesilat di lingkungan Himpunan Pencak Silat Panglipur memanggilnya
"mamih". Maklum sebutan terakhir ini merupakan kebiasaan pesilat
Panglipur yang sudah dekat dengannya. Pernah ada yang menanyakan, "Apakah
betul Ibu ada keturunan Belanda? Saya jawab, tidak, dan memang sebenarnya saya
bukan keturunan orang Belanda," tuturnya. Bahkan pertanyaannya tidak cukup
sampai di situ saja, kadang-kadang mereka suka meneruskan dengan pertanyaan
lain, "Ah masa, buktinya raut muka Ibu mirip Indo? Mendengar pertanyaan
seperti itu saya hanya tersenyum, mungkin karena saya cukup lama bersama-sama
dengan orang Belanda, ketika masih sekolah di Zending School.
Tidak heran apabila saya terpengaruh oleh kebiasaan orang Belanda, dan
kebetulan kulit saya putih, sehingga orang menyangka bahwa saya mirip orang
bule. Padahal saya tidak ada keturunan Indo, ayah saya Abah Aleh keturunan
Banten dan Ibu saya Ma Uki asli orang Garut."
Masa
Perjuangan
Sejak kecil ia sudah menyenangi kesenian daerah dan bahkan pernah belajar tari
sunda, termasuk belajar pencak silat hanya tidak sungguh-sungguh dan tidak
mendalaminya, cukup asal bisa saja. Setelah menginjak remaja malah senang
belajar dansa yaitu sejenis tarian yang suka diperagakan oleh remaja-remaja
dari Barat (orang asing). Walaupun demikian, ayahnya tidak melarang mempelajari
dansa, apalagi sampai mempunyai murid mahasiswa, karena kebetulan waktu itu
banyak mahasiswa-mahasiswa yang mengontrak (indekos) di rumah, sehingga
kesenangan pada dansa semakin kuat.
Puteri
pasangan Abah Aleh (pendiri Panglipur) dan Ma Uki, yang dilahirkan di Gg.
Durman Bandung pada tanggal 17 Agustus 1915 ini, dalam usia 12 tahun sudah
menikah. Mungkin Abah Aleh merasa khawatir mengingat situasi waktu itu kurang
aman. Pertama dia menikah dengan seorang pemuda bernama Nandung, punya anak
satu bernama Etty Sumartini dan mempunyai cucu 12 (dua belas), tinggal di Jakarta. Abah Aleh
mengharapkan ia menjadi seorang istri yang mandiri, sehingga Abah Aleh
mengijinkannya untuk melanjutkan sekolah. Setelah tamat dari Zending School
diteruskan ke Darul Mualim 6 tahun, sekitar tahun 1946 keluar dari sana sempat
menjadi Guru Agama di bawah pimpinan Ajengan Toha dan Rachmat Sulaeman,
mengajar di Madrasah Al Balah dan di Madrasatul Choeriah di Gg Affandi Braga
Bandung. Tidak lama setelah itu suami tercinta meninggal dunia. Lalu menikah
dengan Lurah Cimahi, tidak lama meninggal dunia juga. Kemudian menikah lagi
dengan seorang pejuang kemerdekaan bernama Bunjali, kebetulan ia seorang tokoh
silat sehingga Abah Aleh sangat senang kepadanya, mungkin karena nasib, tidak
lama setelah itu Bunjali ditangkap oleh Belanda ketika sedang pengajian
(mengajar membaca Al Qur’an). Ibu Enny sempat mencari sang suami mudah-mudahan
bisa bertemu lagi, lalu ikut menggabungkan diri sebagai wanita pejuang dengan
pasukan pangeran papak di Wanaraja Garut, di bawah pimpinan Mayor Kosasih. Nama
Sekarningrat juga diberi oleh Laskar Pangeran Papak. Berkat kesabaran dan
ketabahan hati, akhirnya ia bertemu juga dengan suami tercinta, sehingga waktu
itu bisa bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak lama setelah
itu masing-masing mendapat tugas, ia ditugaskan ke Ciniru dan suaminya
ditugaskan ke Cipakem Kuningan "Ternyata setelah kembali dari tugas, suami
saya meninggal dunia saat berjuang. Hati saya begitu sedih, mungkin sudah nasib
dan saya menyadari bahwa ini merupakan takdir Allah SWT," tuturnya.
Pada
tahun 1947, ibu Enny bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Letkol
Abimanyu dan Mayor U. Rukman sampai hijrah ke Yogya dan di sana bertemu dengan
seorang perwira TNI bernama Tabrani, ketika itu ia masih berpangkat kapten,
lalu kembali ke Jawa Barat dan berhenti sebagai pejuang, dan akhirnya kembali
ke masyarakat. Tahun 1950, pengembaraan di hutan belantara berakhir dengan
turunnya para pengungsi ke kota Bandung, yang sebelumnya
berjuang memakai senjata, namun sekarang perjuangan itu dilakukan dalam bentuk
lain. Kemudian saya menikah dengan Kapten Tabrani dan mempunyai anak laki-laki
bernama Djadja Widjayakusumah. Waktu itu pimpinan Panglipur oleh Abah Aleh
dipercayakan kepada kakak ibu Enny, Letnan AURI Udi. Lalu untuk mengenang masa perjuangan,
ia mencoba membuat drama pencak silat yang menceritakan perjuangannya dengan
suami dari mulai awal pertemuan sampai selesai. Penulisan naskah, skenario, dan
sutradara diatur oleh ibu Enny. "Waktu sedang latihan, saya berusaha untuk
tegar dan kuat tetapi ternyata dalam pelaksanaannya saya tidak kuasa menahan
rasa sedih dan merasa tidak kuat sampai saya jatuh pingsan," tuturnya.
Kira-kira tahun lima puluhan, Letnan AURI Udi yang dipercaya
oleh Abah Aleh untuk mengurus perguruan pencak silat Panglipur, meninggal
dunia. Kemudian Abah Aleh memanggilnya dan berkata, "Eneng, sabada Kang
Udi pupus, taya deui nu katoong ku Abah pikeun neruskeun jadi sesepuh paguron
teh iwal ti Eneng," saurna lemah lembut. ("Neng, setelah Kak Udi
meninggal dunia, tidak ada lagi yang terlihat oleh Abah yang mampu meneruskan
menjadi pemimpin perguruan pencak silat panglipur, hanya Enny," katanya
serius). "Ketika mendengar ucapan seperti itu, hati saya merasa kaget
bercampur bingung," tuturnya, "karena saya merasa belum mendalami
sungguh-sungguh tentang masalah pencak silat, dan putra-putri Abah Aleh itu ada
empat orang termasuk saya, Kak Udi, Kak Eyon, dan Kak Dati. Saya tidak mengerti
mengapa Abah Aleh memilih saya untuk menggantikannya. Setelah berpikir panjang
timbul perasaan dalam hati saya, mungkin Abah Aleh merasa yakin bahwa saya
mempunyai kemampuan untuk menjalankannya,
sehingga
saya tidak bisa menolaknya," tuturnya tegas. Ternyata ibu berparas cantik
ini dulunya tergolong anak yang taat dan patuh kepada orang tua, rasa hormat
kepada kedua orang tua sudah tertanam sejak ia masih kecil, jangankan menolak
keinginan orang tua, dimarahi dengan tidak merasa bersalahpun saya tidak berani
membantahnya apalagi sampai melawan pada orang tua. Akhirnya tawaran itu dia
terima dengan lapang dada.
Memimpin
Panglipur
Pada
tahun 1950, Abah Aleh secara resmi menyerahkan tapuk pimpinan Panglipur kepada
Ibu Enny, sebagai pewaris yang diangggap mampu memimpin Panglipur, demi
perkembangan dan kemajuan Panglipur di masa yang akan datang. Walaupun
anggapannya masih mentah dalam masalah persilatan, namun Ibu Enny berusaha
sekuat tenaga untuk memimpin panglipur bersama-sama dengan para tokoh Panglipur
yang lain.
"Ketika
memperhatikan Abah Aleh sedang melatih pencak silat, saya suka bertanya, kenapa
jurus-jurus Panglipur suka diberi nomor, dan semuanya tidak dibeda-bedakan,
alangkah baiknya setiap tingkatan dibeda-bedakan," katanya memberi
pertanyaan pada Abah Aleh.
"Untuk
ciri khas Panglipur, supaya ada keseragaman," katanya sambil tersenyum.
"Buktinya terasa oleh saya, ketika melatih 1600 pesilat untuk menyambut
Konperensi Asia Afrika tahun 1955. Dengan gerakan yang sudah diseragamkan
sehingga tidak sulit untuk melatihnya," tuturnya. Ibu Enny merasa kagum
kepada Abah Aleh yang bisa menyeragamkan gerakan yang begitu rumit dan
bermacam-macam.
Ada yang bertanya, "Apakah
silat dari Abah Aleh dibarengi dengan ilmu tenaga dalam? Saya menjawab tidak,
karena memang saya tidak belajar ilmu tenaga dalam, paling juga saya suka tirakat.
Saya pernah mengalami dikurung di dalam kamar oleh Abah Aleh selama tiga hari
tiga malam, selama di dalam kamar itu hanya disediakan sepiring kentang rebus
dan segelas air putih. Oleh karena itu, tidak heran apabila saya makan hanya
dua hari sekali atau tiga hari sekali."
"Pernah
ada kejadian aneh waktu saya berumur 40 tahun tiba-tiba gigi saya merasa linu
dan seolah-olah terasa menjadi panjang, kemudian diperiksa ke dokter katanya
tidak ada penyakit. Malam jum’at ternyata gigi saya rontok semua sehingga
sampai sekarang gigi saya menjadi ompong. Saya tidak mempunyai pikiran yang
bukan-bukan, atau mempunyai sangkaan negatip terhadap orang lain, mungkin gigi
saya rontok itu disebabkan oleh penyakit," katanya.
Sejak
berdirinya PPSI di Jawa Barat pada tahun 1957, di bawah pimpinan Pangdam
Siliwangi, Jendral Kosasih, Ibu Enny berusaha sekuat tenaga mengembangkan seni
beladiri pencak silat. Namun dalam pelaksanaannya tidak semudah apa yang kita
bayangkan, sebab waktu itu bantuan dari pemerintah maupun dari masyarakat belum
bisa diandalkan. Apalagi yang namanya pencak silat, setiap orang banyak yang
ingin memiliki kepandaian ini, tapi sedikit sekali yang mau mengeluarkan uang
atau dana untuk itu. Walaupun demikian, Rd. Enny Rukmini Sekarningrat dan
kawan-kawan seperguruan seperti Rd. H. Adang Mohammad Moesa (alm), Harun (alm),
Tarmedi (alm), Kol. H. MSTA. Jhonny (alm), M. Umbit (alm), Bakri, Udi, dan yang
lainnya berjuang untuk melestarikan seni beladiri pencak silat, khususnya
Panglipur sebagai warisan Abah Aleh yang sebelumnya telah berjuang tanpa
pamrih. Dan terbukti Panglipur telah diakui oleh pemerintah sebagai organisasi
yang terdaftar sebagai anggota PPSI maupun IPSI.
Di kota
Bandung saja waktu itu sudah ada lima cabang panglipur, antara lain cabang
Bandung Barat diketuai oleh H. Basuni (alm), Pagarsih diketuai oleh Abah Bakri
(alm), Ciwidey diketuai oleh Lurah Prawira (alm), Babakan Jati diketuai oleh H.
Basuki (alm), Lembang diketuai oleh Aki Tarmedi (alm), dan Buah Batu diketuai
oleh Bah Soma (alm), Kopo diketuai oleh Bah Omi, Oyi, dan Bah Udi, serta banyak
lagi tokoh-tokoh yang lainnya. Cabang-cabang Panglipur di luar Bandung, antara lain
Majalengka, Talaga, Kuningan, Garut, Cianjur. Semua cabang-cabang tersebut
harus berada dalam pengawasan Panglipur Pusat yang dipimpin olehnya. Sampai
detik ini Panglipur terus berkembang dengan pesat, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Di
samping sebagai seorang pimpinan Panglipur, ternyata Rd. Enny Rukmini
Sekarningrat, temasuk juga sebagai seorang guru silat atau pelatih yang aktif,
ia pernah melatih anggota tentara Rindam VI Siliwangi, Kompi Protokol Pimpinan
Kapten. H. MSTA. Jhonny (alm, terakhir berpangkat Kolonel), melatih anggota
tentara BDI II Siliwangi Pangalengan pimpinan Letkol. Suryamin, melatih
pemuda-pemuda putus sekolah, pernah melatih di SMP, SMA, SPG dan Mahasiswa,
serta siswa-siswa Dodiklat Polri dan anak-anak CPM di Cimahi, melatih
orang-orang asing yang sengaja datang untuk berguru di Panglipur. Bahkan pernah
mendirikan organisasi tukang becak yang diberi nama Himpunan Pengendara Becak Indonesia (HPBI), kemudian tukang Becak tersebut
dikursuskan setir mobil sampai mereka, menjadi sopir Bemo di Cicendo Bandung.
Disela-sela
latihan ia sering diberi wejangan oleh Abah Aleh, berupa amanat yang diberikan
kepadanya antara lain, "Eneng, boh dina hirup, boh dina penca, teangan
pikaresepeun batur, ulah neangan pikangewaeun batur," saurna.
("Neng, dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam penca, harus selalu
mencari yang membuat orang senang (menyenangkan orang lain) bukan sebaliknya
mencari sesuatu yang membuat orang tidak suka atau tidak disukai oleh orang
lain," katanya). Sesuai dengan falsafah Panglipur yang merupakan singkatan
dari:
1. Pek
Aranjeun Neangan Guru Luhung Ilmuna, Poma Ulah Ria (Takabur).
Artinya
dalam bahasa Indonesia
: Silakan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya, tetapi jangan
sombong (takabur).
2. Pek
Aranjeun Neangan Guru Luhung Ilmuna Pikeun Udageun Rasa.
Artinya
dalam bahasa Indonesia
: Silakan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya untuk kejaran rasa.
Memimpin
Tim Galih Pakuan Jawa Barat
Ada pengalaman yang menarik selama
ibu Enny memimpin Panglipur, ketika membawa rombongan Panglipur ke Singapura
pada tahun 1980, dengan H. Suhari Sapari (Ketua IPSI/PPSI) Jawa Barat.
"Ketika mengadakan pementasan di Singapura, setelah sampai di lokasi baru
teringat bahwa alat yang akan dipakai untuk peragaan tertinggal di penginapan,
padahal waktu untuk pementasan tinggal beberapa menit lagi. Saat itu tiba-tiba
saya teringat pada sobrah (sejenis rambut wanita yang panjang, digunakan untuk
sanggul) yang dapat mengganti alat yang tertinggal tadi. Ternyata pementasan
tersebut mampu memukau penonton dan mereka merasa puas, orang menyangka bahwa
sobrah itu merupakan kreasi baru," katanya sambil tersenyum. Selanjutnya
ia mengingatkan, "Oleh karena itu, peralatan atau senjata yang dipakai
untuk pencak silat itu bukan hanya Golok, Gobang (Pedang), Trisula, Toya, Alu
(halu), Tongkat, Limbuhan (sejenis senjata pendek) yang bisa dipakai dalam
peragaan, sobrah pun bisa dipakai untuk demo. Jadi harus kreatif apabila
kebetulan alat-alat tersebut ketinggalan atau hilang. Bahkan benang rafiapun
bisa dipakai sebagai alat membela diri," tuturnya menambahkan.
Selanjutnya
ia menyinggung tentang masalah kostum pencak silat, yang tidak lepas dari
perhatiannya. "Pesilat umumnya mempergunakan pakaian warna hitam, tetapi
untuk keperluan pentas tidak selalu harus hitam, warna lain pun bisa dipakai,
disesuaikan dengan ibing yang akan ditampilkan, supaya anak-anak kelihatan
cantik, indah, dan tidak memalukan. Kostum ini saya pakai ketika Panglipur
ditunjuk sebagai anggota Galih Pakuan Jawa Barat oleh Gubernur H. Aang Kunaefi
(alm) dari tahun 1978 sampai tahun 1985, antara lain ketika menyambut
Konperensi Asia Afrika (1985), Parasamya Purna Karya Nugraha, dan sebagainya.
Selama menjadi Tim Protokoler Jawa Barat (Galih Pakuan Jawa Barat), Panglipur
telah puluhan kali mentas di Istana Bogor, bersama-sama dengan kesenian lain
seperti Tari, Dogdog Lojor, Sisingaan, Buncis, Jaipongan, dan lain-lain di
bawah pimpinan Enoh Atmadibrata, Nugraha, Indrawati Lukman, Yeti Mamat, Irawati
Durban, Gugum Gumbira, Tati Saleh, dan seniman sunda yang lainnya," tutur
tokoh yang pandai merias pengantin ini, "Bahkan saya pernah mencoba
menampilkan ibing pencak silat dengan pakaian kebaya ternyata berhasil dan
dapat diterima oleh masyarakat pencak silat sebagai pementasan yang baik dan
indah, tanpa mengurangai nilai-nilai dan kaidah seni beladiri pencak silat yang
sebenarnya. Maksudnya yaitu dalam keadaan apapun, seorang pesilat tidak harus
selalu memakai seragam silat, khususnya bagi seorang perempuan memakai pakaian
kebayapun bisa membela diri dan menampilkan gerakan silat dengan baik,"
tandasnya.
Ibu yang
satu ini ternyata tergolong ketat dalam menerapkan disiplin di Panglipur,
misalnya antara anak laki-laki dan anak perempuan di perguruan harus seperti
kakak dan adik, saling melindungi, saling menyayangi, dan saling membantu
apabila masing-masing mempunyai kesulitan. "Saya tidak memberikan ijin ada
hubungan lebih dari saudara seperguruan, apalagi sampai terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Saya memperbolehkan murid perempuan menikah dengan dengan
murid laki-laki seperguruan asal benar-benar bisa membangun rumah tangga dengan
baik dan benar-benar sesuai dengan ajaran Agama Islam. Alhamdulillah, peraturan
ini sampai sekarang belum ada yang melanggarnya, apalagi sampai menimbulkan
retaknya hubungan kekeluargaan di Panglipur," tuturnya serius.
Tahun
1997, Rd. Enny Rukmini Sekarningrat dan Rd. H. Adang Mohammad Moesa ditunjuk
oleh PB IPSI berangkat ke Malaysia sebagai tokoh dan pakar pencak silat Jawa
Barat, selanjutnya berangkat lagi dengan E. Kusnadi ke Trengganu, Malaysia
sebagai peninjau pada Kejuaraan Pencak Silat Nusantara.
Sebagai
tokoh dan pakar pencak silat, sikap pergaulannya yang luwes ternyata mampu
membawa Panglipur menembus pergaulan pencak silat secara Internasional sehingga
dikenal di kalangan pakar-pakar pencak silat mancanegara. Selain itu, ia telah
berhasil membawa Panglipur sebagai perguruan pencak silat yang mampu
mempertahankan keasliannya.
Selama 91
tahun (1909-2001) Panglipur telah dipelajari oleh pecinta pencak silat dari
dalam maupun luar negeri, seperti Asia, Eropa,
dan Amerika. Dari waktu ke waktu Panglipur tetap eksis, prestasi dan dedikasi
Panglipur tak pernah absen dalam mengikuti pagelaran-pagelaran atau
kejuaraan-kejuaraan yang resmi yang diselenggarakan oleh Pengda IPSI maupun PB
IPSI, baik di tingkat Nasional maupun Internasional/Dunia. Terakhir, ia
mendapat undangan dari PB IPSI sebagai pakar pencak silat dalam Kejuaraan Dunia
Pencak Silat X dari tanggal 14 sampai 20 Nopember 2000, di Jakarta. Panglipur
Cabang Belanda tampil sebagai wakil dari Panglipur Indonesia.
"Alhamdulillah selama saya
memimpin perguruan pencak silat Panglipur, rasanya murid-murid Panglipur belum
pernah ada yang mengecewakan, bahkan cabang-cabang Panglipur terus bertambah
dan berkembang sampai ke mancanegara, antara lain Belanda, Amerika, Austria,
dan lain sebagainya," tuturnya bangga. (AIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar