Sabtu, 22 Juni 2013

EQ VS IQ

Kecerdasan Optimal 
Kesuksesan seseorang, ternyata sebanyak 80 persen ditentukan oleh kecerdasan
emosinya (EQ), sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan
kontribusi peran sebesar 20 persen. Seperti apakah kecerdasan emosi itu? Tulisan
ini merupakan bagian kesatu dari tiga tulisan 

Sebuah kisah tragis telah menimpa seorang siswa kelas dua SMU, beberapa tahun yang
lalu. Seorang pemuda rajin dan pandai, yang disukai teman-temannya karena pandai
bergaul. Ia pun terkenal aktif dalam kegiatan ibadah dan dakwah Islam di kepengurusan
OSIS di sekolahnya. Melihat catatan kepribadiannya yang begitu positif, wajar jika
seluruh guru dan temannya tak bisa mempercayai ketika suatu saat diketemukan si
pemuda alim telah menjadi mayat karena melakukan gantung diri di kamar mandi
rumahnya! 
Bahkan ayah, ibu dan saudara-saudaranya pun masih belum bisa mempercayai
kenyataan tersebut, walau telah membaca berpuluh-puluh kali rangkaian kalimat yang
dituliskan si pemuda dalam surat ia tinggalkan di meja belajarnya sebelum mengambil
keputusan mengenaskan itu. Dalam surat terakhirnya itu si pemuda mencoba
menuturkan kesedihan dan kekecewaan batinnya yang amat sangat mendalam, karena
telah gagal memenuhi janjinya kepada Allah swt dan terhadap dirinya sendiri. 
Ia kisahkan bahwa sejak sepuluh hari sebel umnya, ia telah membuat janji kepada Allah
swt, akan melaksanakan shalat tahajjud selama sepuluh hari. Begitu bersemangatnya si
pemuda berinisiatif mengikat janji tersebut, karena termotivasi dari kegiatan  training 
pembinaan keagamaan yang baru saja dilakukan para mahasiswa yang membina
kegiatan remaja masjid di daerah permukimannya. 
Namun rupanya ghirahnya ber-Islam tersebut tidak sempat terbimbing dengan benar,
hingga ketika ternyata ia berulang-ulang gagal untuk bangun pada malam hari, dari hari
pertama hingga hari ke sepuluh, seperti yang telah ia azzam -kan, maka kekecewaan
hatinya pun benar-benar tak terbendung lagi. Ia pun mengalami depresi akibat tumpukan
rasa berdosa yang sangat parah dan perasaan  tak berguna dalam dirinya. Saat itulah,
kondisi emosi menjadi lebih berperan mengalahkan pikiran rasional. Karena emosi si
pemuda ternyata belum cerdas, maka iapu n memilih jalan pintas dengan maksud
menebus kesalahan yang telah menghimpit perasaannya. 
Kisah tragis yang dialami pemuda alim tersebut memberikan pembelajaran kepada kita
tentang begitu pentingnya peran kecerdasan emosi dalam menentukan jalan hidup
seseorang. Sepintar apapun intelektual (IQ)  seseorang, bisa menjadi tak berarti jika tak
dibarengi kecerdasan emosional(EQ). 

Apakah itu kecerdasan emosional? 
Mari kita bayangkan sebuah kejadian, ketika anak-anak sedang melalui kewajiban untuk
mengikuti ujian akhir sekolah. Sebelumnya, mereka telah berusaha belajar berbulan-bulan di bawah bimbingan guru, dan mengerjakan beratus-ratus soal-soal latihan. Pada
hari pelaksanaan ujian, mereka merasa mantap dengan persiapan yang telah dilakukan
selama ini. 
Kesiapan mental mereka ternyata mulai goyah setelah mulai membaca soal-soal ujian
yang dibuat oleh sekolah lain. Ternyata model  soal serta materi yang ditanyakan di sana
sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini diajarkan oleh guru mereka! Tentu
saja, anak-anak pun kelabakan menghadapinya. 
Seorang anak segera mengalami down, kejatuhan mental karenanya. Timbul perasaan
kecewa yang sangat berat karena ternyata persiapan matang yang sudah dilakukan
selama ini salah dan tak berguna. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, wajahnya tegang,
dan hafalan-hafalan rumus yang semula sudah lekat di kepala pun tiba-tiba hilang tak
bersisa. Ia menghabiskan waktu dengan mencoret-coret lembar jawaban, terus-menerus
mendesah dan mengeluh jengkel, sambil melirik kanan kiri, melihat reaksi teman di
kanan kirinya, berharap ada teman yang sama bingungnya dengan dirinya. Akhirnya ia
pun menyelesaikan ujiannya dengan hampir separuh soal tak terisi. 
Anak yang lain bereaksi dengan mencoba meredam keterkejutannya, melihat betapa
sulit soal yang dihadapinya. Ia menarik nafas panjang, menegakkan punggungnya, dan
berusaha menenangkan hatinya. Sempat timbul keraguan, bisakah ia mengerjakannya?
Namun hati kecilnya cepat menepis keraguan itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya
sendiri, bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin untuk belajar. Diingatnya pesan ibunya,
bahwa Allah menilai berdasarkan sebera pa besar usaha seseorang, bukan seberapa
besar hasilnya. Maka ia pun mulai mencoba membaca dengan hati-hati soal demi soal
dengan tenang, dan mencoba menjawab sebatas kemampuannya. Ternyata, ia bisa
menyelesaikan seluruh soal yang ada, walaupun banyak yang diisinya penuh keraguan,
namun ia tak membiarkannya kosong tak berisi, karena bukankah mencoba mengisinya
masih lebih baik dari pada tidak diisi sama sekali? 
Dalam kisah di atas, anak sedang dihadapkan kepada situasi yang menegangkan dan
menimbulkan kekecewaan serta kekhawatiran yang mencekam. Dan kedua anak telah
menunjukkan dua reaksi emosi yang berbeda dalam menghadapinya. Anak pertama tak
mampu mengatasi stress yang dialaminya, sehingga ia tak bisa mengontrol kepandaian
otak rasionalnya. Sebaliknya anak kedua  mampu mempertahankan kestabilan perasaan
dan emosinya dalam menghadapi ketegangan tersebut, sehingga berhasil menguasai
otak rasionalnya. Ia telah memiliki emos i yang cerdas, yang akhirnya menyelamatkan
nasibnya dalam ujian tersebut. 
Dalam sisi kepribadian manusia, ternyata terdiri dua dimensi yang berbeda, yaitu sisi
rasional dan sisi emosional. Sisi rasional menyangkut kemampuan manusia dalam
menghitung, meneliti, memikirkan sebab akibat, menjalankan mesin dan memproduksi
sesuatu. Sementara sisi emosional membawa nuansa perasaan, menyangkut suasana
hati gembira, sedih, kecewa, tegang, takut, hingga pasrah. 
Seberapa mampu seseorang mengatasi kesedihan, ketakutan dan mengelola berbagai
sisi emosi dalam dirinya itulah yang disebut kecerdasan emosi. Mereka yang emosinya
cerdas, ia akan tahu dan mampu menata perasaannya, kapan ia harus marah, sedih
atau kecewa, dan kapan pula ia boleh gembira. 
Selain mampu mengelola emosi diri sendiri, anak yang emosinya cerdas pun pandai
memahami keadaan orang lain. Mereka mudah merasakan kesedihan dan kekhawatiran
yang dirasakan temannya, sehingga tumbuh empati mereka untuk menghibur teman
tersebut. Terhadap teman yang sedang jengkel, marah dan mengejek dirinya pun ia
mudah memaafkan. 
Kepandaian dalam bersosialisasi, termasuk salah satu aspek kecerdasan emosi. Anak
pandai bergaul, tidak pemalu, dan cenderung mengutamakan orang lain, setelah
kepuasannya sendiri tercukupi. Mereka yang sangat cerdas emosinya bahkan memiliki
kemampuan untuk memimpin teman-temannya, dijadikan panutan dan disukai banyak
teman. 

80 versus 20  
Contoh perbedaan reaksi anak dalam menghadapi ujian di atas, cukup memberikan
gambaran bagaimana kecerdasan emosi memberikan peran yang amat besar untuk
menentukan berfungsi tidaknya otak rasional. Anak pertama yang tak memiliki
kecerdasan emosi memadai, akhirnya tak mampu mengendalikan stressnya hingga otak
rasionalnya tak bisa berfungsi sempurna. Intelektualitasnya telah dikuasai dan
dikalahkan oleh emosinya yang sedang buruk. 
Contoh kemampuan anak kedua dalam mengendalikan stress, cukup memberikan
gambaran betapa besar peran sisi emosi ini dalam mengendalikan intelektualitas
seseorang. Mudah dipahami, bahwa Daniel Goleman, sang pakar kecerdasan emosional
mengungkapkan dalam bukunya,  Emotional Intelligence, bahwa perbandingan peran
antara kecerdasan emosional dibanding kecerdasan intelegensi dalam menentukan
kesuksesan hidup seseorang adalah setara dengan perbandingan 80 : 20. 

Bagaimana EQ melejitkan IQ 
Anak yang memiliki emosi cerd as, akan mengambil tindakan cukup simpatik ketika
dihadapkan pada situasi yang menegangkan. Mereka bisa mengendalikan emosi ketika
ketegangan muncul saat menghadapi soal-soal  ujian yang luar biasa sulitnya. Mereka
mampu menenangkan kekalutan jiwanya, kemudian mencoba berpikir jernih dalam
mengambil tindakan selanjutnya. 
Kemampuan si anak mengelola emosinya, telah memperbaiki hasil nilai ujiannya,
sehingga ia mampu meraih peringkat tinggi di kelas. Sementara temannya yang tak
mampu mengelola emosinya dengan baik, begitu gugup dan jatuh mentalnya dalam
mengerjakan soal ujian, hingga pikirannya tak mampu mengingat rumus-rumus yang
sebelumnya sudah ia hafal di luar kepala. Kejadian ini cukup memberikan gambaran,
bagaimana kecerdasan emosi anak bisa turut menentukan tingkat kecerdasannya. 
Selain itu, mereka yang memiliki EQ tinggi, adalah mereka yang mengetahui persis
kelemahan dirinya. Hanya mereka yang tahu kelemahan dirinyalah yang punya modal
untuk memperbaiki diri. Kalau seseorang yang pemarah tak mau dikatakan pemarah,
yang mudah tersinggung pun selalu tersinggung jika orang lain mengkritiknya, jangan
diharap bisa melakukan perbaikan diri. Itu sebabnya, kecerdasan emosional merupakan
syarat utama bagi mereka yang ingin memperbaiki diri dan ingin meningkatkan kualitas
potensi sumber daya manusianya. 
Mereka yang EQ-nya terasah, akan memiliki satu atau beberapa dari banyak karakter-karakter mental yang positif, seperti sabar, rajin, ulet, pantang putus asa, percaya diri,
tenang, supel hingga tawadhu'. Dengan adanya si fat-sifat positif ini, akan lebih mudah
lagi mencapai peningkatan intelektual (IQ). Sebaliknya, setinggi apapun IQ, bisa tak
berfungsi jika tak memiliki sifat-sifat positif tadi.• ( Ummu Zif)• 

Tidak ada komentar: