Selasa, 25 Juni 2013

Sejarah Singkat Abah Aleh (Sang Pendiri Panglipur)

Assalammualaikum Wr. Wb.
Postingan kali ini adalah sejarah singkat Abah Aleh (Pendiri Himpunan Pencak Silat Panglipur),dikutip dari karya tulis briliant guru saya Bapak Cecep Arif Rahman. Sampai saat ini,karya tulisnya belum juga selesai diakibatkan adanya berbagai halangan. Mohon doa restunya dari semua kalangan pembaca,mudah-mudahan sejarah ini dapat tuntas sebagaimana yang kita harapkan.

EPISODE 1-2

Abah Aleh dilahirkan pada tahun 1856 dengan nama Saleh, beliau merupakan putra dari pasangan R. Suriadilaga dan Eyang Pinot. Suriadilaga adalah orang Banten yang dipekerjakan sebagai Anemer di stasiun kereta api Cibatu Garut. Selama tugasnya di Stasiun Cibatu, ayah dari Abah Aleh ini menetap di daerah Sumursari Sukasono yang merupakan sebuah kampung asri di kaki gunung namun dekat anak stasiun Pasir Jengkol sehingga berdekatan dengan tempat kerjanya. Di tempat tinggal sementaranya inilah ia tertarik dan menikah dengan gadis asli daerah tersebut yaitu ibu dari Abah Aleh yang bernama Pinot.
Bekerja di stasiun kereta api tidak selalu bisa menetap terus di satu stasiun sehingga kadang-kadang harus selalu berpindah-pindah. Begitu pula R. Suriadilaga--ayah dari Saleh--pada saat Saleh masih dalam kandungan, Ia mendapat tugas dari pemerintah Belanda pada saat itu untuk berpindah tugas kembali lagi ke Banten. Pada saat informasi ini disampaikan ke istrinya, Eyang Pinot tidak mau ikut pindah berhubung dengan kondisi kandungan dan juga keluarganya yang tidak mengizinkannya untuk meninggalkan Sukasono. Maka dengan terpaksa dan berat hati, pasangan yang baru mau memiliki keturunan tersebut harus bercerai dan Suriadilaga pun meninggalkan istri dan anaknya yang masih berumur 7 bulan dalam kandungan. Namun ia sempat berpesan, bila kelak ia tidak bisa kembali ke Garut dikarenakan tugas pekerjaannya, maka ia berharap nanti anaknya bisa menemuinya di kampung Menes Banten.
Tahun demi tahun semenjak Saleh kecil dilahirkan, ia tumbuh besar di bawah bimbingan sang ibu dan ayah tirinya, karena setelah beberapa tahun Suriadilaga tidak bisa kembali ke Garut maka Eyang Pinot memutuskan untuk menikah lagi agar Saleh kecil memiliki seorang figur ayah yang baik dan bisa menyayanginya. Ayah tiri Saleh yang bernama Almad adalah seorang pekerja keras, tiap hari dia mencari hasil hutan dari Gunung Sedakeling untuk dibuatkan menjadi perkakas rumah tangga dan dijual untuk menghidupi keluarganya. Ia sangat menyayangi istri dan anak tirinya, Saleh kecil pun dibesarkan dalam didikan fisik dan mental yang baik karena daerah Sumursari adalah sebuah daerah yang masih memiliki banyak tokoh agama dan juga tokoh bela diri yang memang masih ada hubungan keluarga dengan Saleh.
Saleh kecil atau yang sering dipanggil dengan nama kecilnya ‘Aleh’ ini sering diajak ayah tiri dan guru silat di kampungnya, Bah Dibja—seorang ahli Ujungan, yaitu suatu sistem serang bela menggunakan rotan atau bambu wulung (bambu yang tidak memiliki lubang dan sangat keras) atau bisa pula menggunakan tebu kuning yang dibakar sebentar. Dalam pertandingan ujungan, awalnya biasanya keduanya memegang pemukul dan tameng/perisai, nantinya dalam proses pertandingan bisa menjadi salah seorang hanya melawan dengan tangan kosong. Abah Dibja adalah salah seorang teman ayahnya juga dulu—untuk berlatih sambil membantu bekerja di hutan sekitar gunung Sedakeling. Ia sering disuruh memanjat pohon-pohon sambil mengambil ranting-ranting pohon atau pun buah dan daun yang bisa dijual dengan tanpa bantuan alat, sering pula disuruh menangkap ikan di danau hanya dengan tangan kosong, ataupun mencengkeram pasir dan memungut batu-batu kecil dari dasar danau air panas di kaki gunung Sedakeling dan mengumpulkannya di pinggir danau. Di saat istirahat dari kerja bahkan sambil mandi di kolam air panas, ayah tirinya sering mengajaknya berlatih jurus dan limbuhan (berlatih berpasangan menggunakan bambu sepanjang lengan yang saling beradu dengan langkah yang teratur, satu orang berlatih serangan dan pasangannya berlatih pertahanan, limbuhan adalah biasanya sebagai pendasaran sebelum mengikuti pertandingan ujungan).
Begitulah kehidupan keseharian Aleh dari waktu ke waktu hingga menjelang usia 17 tahun. Pada saat usia inilah, terjadi suatu peristiwa yang akan menjadi permulaan dari petualangannya dalam menuntut ilmu berkeliling Jawa Barat. Seperti biasa, pagi itu ia dan Mang Almad ayah tirinya berangkat ke hutan Sedakeling untuk bekerja. Menjelang sore, sudah banyak hasil hutan yang bisa mereka kumpulkan hingga tinggal satu pohon lagi yang paling besar yang perlu mereka panjat. Saleh pun dengan sigap memanjat pohon tersebut untuk diambil beberapa dahan dan ranting yang hampir mati untuk nantinya dijadikan perkakas rumah tangga. Sang Ayah menunggu di bawah untuk memunguti dahan dan ranting yang dipatahkan Saleh. Namun belum lama mereka bekerja di pohon besar tersebut, datanglah beberapa penjaga hutan yang merupakan antekatau anak buah orang Belanda dengan membawa alat gergaji besar. Mereka sepertinya hendak  menebang pohon besar tua yang sedang dipanjat oleh Saleh.
Begitu mereka melihat pohon yang akan mereka tebang sedang dipanjati oleh Aleh dan diambil dahan dan ranting patahnya oleh Mang Almad, maka antek-antek Belanda tersebut langsung marah-marah menghardik ayah dan anak tersebut.
“Hai kalian, orang sini tidak boleh lagi mengambil bagian dari isi hutan ini tanpa izin kami, hutan ini sudah milik pemerintah Belanda, tinggalkan hasil hutan kalian dan pergi dari sini. Kalau tidak, kalian akan kami tahan!” Hardik mereka.
“Kami hanya mengambil dahan dan ranting yang sudah mati, lagipula hutan ini milik rakyat  kami sejak dari dulu, kami dan nenek moyang kamilah yang memelihara dan memanfaatkannya semenjak dulu hingga sekarang dengan tanpa merusaknya sedikitpun. Kalian sebenarnya yang sering merusak hutan kami, seharusnya kalian menjaga kelestarian hutan ini, namun kalian bahkan menebang pohon-pohonnya dengan serakah sehingga sumber air kami semakin sedikit”. Sahut Mang Almad.
“Aah...! Kamu jangan banyak omong, pergi dari sini atau kalian kami tangkap!” Sergah polisi hutan tersebut.
Gertakan para polisi hutan tersebut tidak membuat gentar Mang Almad, bahkan ia kelihatan bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Maka dengan serempak para polisi hutan yang berjumlah 6 orang tersebut menyerang ayah tiri Aleh yang seorang diri. Tempaan beladiri sejak kecil yang telah dimiliki ayah tiri Aleh ini memang membuahkan hasil, pukulan dan tebasan senjata yang dilancarkan para polisi hutan tersebut bisa dihindarkan Mang Almad dengan sekali hentakan langkah dan putaran tubuh yang disertai dengan liukan badan seperti gerakan pohon bambu atau pohon kelapa menghadapi serangan angin puting beliung. Dalam sekejap mata, serangan balik dari kedua tangan dan kaki kanan Mang Almad yang dilancarkan sekaligus—dengan bertumpu pada kuda-kuda satu kaki—mengenai kepala dan pinggang 3 orang polisi hutan dengan telak hingga jungkir balik. Menyadari keahlian bela diri Mang Almad yang sepertinya akan sulit dikalahkan, kepala polisi hutan yang memiliki senjata api langsung mencabutnya dan mengarahkan senjata ke arah Mang Almad. Melihat hal ini, Aleh yang dari tadi hanya menonton saja dari atas pohon terkejut dan sadar akan bahaya yang mengancam ayah tirinya. Tanpa pikir panjang sambil menggenggam sebilah dahan sebesar pergelangan anak kecil yang tadi baru dipatahkannya, Aleh segera melompat dari atas dahan pohon ke arah si kepala polisi hutan. Begitu salah satu kaki Aleh menginjak tanah, bersamaan dengan sambaran sekuat tenaga dari bilah dahan tersebut tepat mengenai pergelangan tangan si kepala polisi yang tidak menyadari datangnya serangan. Letusan dari peluru senjata api menggema namun bukan mengenai tubuh Mang Almad  tapi menembus lutut  salah satu polisi lain yang hendak ikut menyerang Mang Almad. Tidak sampai disitu saja, pada saat kaki lain Aleh mendarat di tanah, tebasan susulan bilah dahan tersebut secepat kilat menghantam pelipis sang polisi dan secara refleks lalu bilah tersebut dipegang dengan kedua tangan dan dilingkarkan di leher sang polisi yang bersamaan dengan melipat kedua tangannya, patahlah leher sang polisi di atas bahu Aleh.
Melihat kejadian ini, kontan kelima polisi hutan tersebut kaget dan tanpa aba-aba lagi semua langsung kabur sambil memapah yang terkena tembakan. Terkesima dengan kejadian yang begitu tak terduga membuat Mang Almad dan Aleh terbengong-bengong, mereka tidak menyangka akan membunuh si kepala polisi hutan tersebut. Memang tadinya tidak ada niat hingga membunuhnya namun kekagetan melihat senjata api dan kekhawatiran akan keselamatan ayah tirinya membuat Aleh tidak lagi bisa mengontrol serangannya.
Setelah sadar akan peristiwa yang telah terjadi, Mang Almad langsung mengajak anak tirinya untuk cepat pergi dari tempat tersebut. Ia yakin sesuatu yang tidak diharapkan akan segera terjadi bila mereka tidak segera pergi dan bersembunyi sementara waktu. Ingatan Mang Almad langsung tertuju akan suatu tempat dimana ia dan sahabatnya, yaitu ayah dari Aleh sering bertafakur dan menyepi diri di suatu goa di atas Danau Cipanas di kaki gunung Sedakeling. Bergegaslah mereka ke goa yang dikenal dengan nama Guha Guranteng di wilayah gunung Sedakeling. Berbekal buah-buahan yang didapat di sekitar hutan, Ayah dan anak tersebut bersembunyi selama seminggu di dalam Goa tersebut. Kebetulan memang tidak sembarang orang bisa melihat dan mecapai mulut goa tersebut karena selain tertutup semak belukar, untuk bisa mencapainya harus menyeberangi danau dulu dan menaiki tebing yang terjal.
Amanlah mereka dari kejaran polisi dan kaki tangan Belanda yang semenjak kejadian tersebut terus berkeliling kampung dan mencari pembunuh kepala polisi hutan.
Guha Guranteng adalah sebuah goa terpencil yang mulutnya dipenuhi semak belukar. Bukan itu saja yang membuat goa ini tidak diketahui sembarang orang, jalan menuju ke sana pun sulit sekali karena untuk mencapainya orang harus menyebrangi danau air panas yang lumayan luas dan dalam serta ditumbuhi rumput danau yang panjang dan liat sehingga banyak orang yang kurang pandai berenang akan terbelit kakinya dan tertarik ke dasar danau akibat panik dan terlalu banyak bergerak. Dari seberang danau, orang pun harus pula bergelayut diantara pohon dan semak belukar untuk mendaki lereng terjal agar bisa mencapai mulut goa.
Untuk itu, diantara para pencari ilmu kanuragan, Guha Guranteng sangat cocok untuk berlaku tapa ataupun tirakat—yaitu suatu cara penyucian diri dan pendekatan diri terhadap Alloh SWT dalam mencapai suatu keilmuan atau tujuan tertentu. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berpuasa layaknya puasa orang islam, bisa berpuasa total sesuai kemampuan, biasanya dimulai dari sehari semalam, atau 3 hari tiga malam, bisa pula 7 hari, 15 hari atau hingga 40 hari; Ada pula yang hanya puasa mutih, yaitu hanya makan nasi putih dan air putih yang serba sedikit; bisa pula dengan melakukan ngabuah atau makan hanya buah-buahan saja;  Ngabeuti, hanya makan umbi-umbian; Ngeruh, hanya makan sayuran dan yang tidak bernyawa; Ngalong, tidak tidur dalam jangka waktu tertentu; Ngeu’eum, berendam di tempat khusus atau Nyeuceuh, membiarkan air pancuran menimpa ubun-ubun di malam hari hingga bisa mendapatkan atau menjumpai air yang tidur, yaitu keadaan dimana air pancuran menjadi seperti minyak diam tidak ada suara; dan banyak lagi laku tapa lainnya . Namun inti dari tirakat ini sebenarnya adalah proses pengekangan diri dari berbagai keinginan dan kepuasan ragawi  yang melibatkan hawa nafsu, sehingga dengan pengekangan diri ini orang akan terbiasa mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya serta badan dan pikiran akan terbebas dari unsur-unsur yang tidak alami, badan terbiasa mencerna hal-hal yang baik sehingga dengan memiliki tubuh dan pikiran serta perasaan yang baik dan sehat, keinginan ataupun keilmuan apapun yang sedang dipelajari sudah barang tentu akan dikabulkan Alloh SWT dan akan mudah dipelajari dan dicapai—Seperti itu pula yang diyakini orang-orang sekitar kampung Sukasono, Tidak sedikit orang yang mencoba berlaku tirakat di Guha Guranteng. Seperti halnya dulu R. Suriadilaga ayah dari Aleh, beserta teman-temannya termasuk Mang Almad ayah tiri Aleh, sering mendatangi goa tersebut untuk tirakat atau hanya sekedar berlatih dan nyerepkeun elmu atau mematangkan dan mengasah keilmuan yang telah dan sedang dipelajari.
Tujuh hari sudah terlewati, Mang Almad dan Aleh berdiam diri di goa Guranteng untuk bersembunyi namun sambil dimanfaatkan dengan berlatih pula. Setelah seminggu  lamanya sejak kejadian perkelahian mereka dengan para polisi hutan, Mang Almad merasa mungkin situasi sudah sedikit aman dan memutuskan untuk turun ke kampung sendiri dulu tanpa Aleh secara sembunyi-sembunyi. Selain untuk menambah perbekalan, juga untuk mengetahui situasi dan berita terakhir. Mang Almad turun ke kampung di waktu malam hari, sepi menyelimuti suasana kampung Sukasono, orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah masing-masing daripada harus berpapasan dengan patroli yang mungkin saja akan kena fitnah dan mendapat masalah besar. Mang Almad pun dengan sangat hati-hati menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Pinot sangat terkejut dan menghujani dengan berbagai pertanyaan. Ia pun menjelaskan bahwa tiap hari patroli pemerintah terus menerus berkeliling dan menanyakan keberadaan mereka, namun untungnya hampir semua penghuni kampung Sukasono adalah masih ada hubungan keluarga jadi tidak ada seorangpun yang melaporkan, orang-orang kampung pura-pura tidak mengenal mereka.
Diceritakan keadaan di Guha Guranteng, sepeninggal ayah tirinya Aleh merenung sorang diri memikirkan apa yang harus diperbuatnya untuk ke depan, bila ia tinggal di kampungnya, alamat akan kena tangkap patroli dan tentu saja kena hukuman, beruntung kalau hanya dimasukan sel tahanan, bagaimana kalau sampai dihukum mati. Terlintas dalam pikirannya untuk mulai mencari ayah kandungnya yang menurut ibu dan ayah tirinya adalah berasal dari daerah Menes di Banten, namun ia tidak tahu harus kemana atau mulai dri mana untuk mencari alamat tersebut.
Selagi Aleh dalam kesendiriannya tersebut tiba-tiba ia mendengar ada keributan menuju ke arah goa. Terkejutlah Aleh mendengar hal itu, ia pikir mungkin saat inilah patroli polisi telah menemukan persembunyiannya, lalu ia pun bersembunyi di balik sebuah batu besar dekat dinding goa. Tak berapa lama muncullah seseorang melompat ke dalam goa, ternyata yang datang bukan orang tapi seekor monyet yang lumayan besar. Monyet tersebut melompat ke tengah goa yang agak luas pelatarannya dan langsung bersiap diri seperti menunggu sesuatu yang akan menyerangnya. Benar saja tidak berselang lama muncullah seekor harimau jawa yang besar melompat ke hadapan sang monyet. Tidak sedikit pun terlihat gentar ketika si monyet menghadapi harimau yang sudah siap menerkamnya. Monyet tersebut sudah menjadi mandah—ada cerita bahwa monyet juga kalau sudah tua, ia bisa berlaku tapa agar dirinya bisa menjadi kuat, gigi taringnya jadi mencuat, suaranya membesar sekeras auman macan, dan tenaganya pun sekuat orang utan—maka sang monyet siapa siaga, kedua kaki dan satu tangannya menjejak tanah sedang salah satu tangannya bersilang di depan dadanya memperlihatkan jari-jari kuatnya yang menekuk siap mencengkram. Si harimau pun melangkah mengendap mencari posisi lengah sang monyet yang kelihatan menatapnya dengan tajam tidak berkedip sedikitpun.
Merasa kesal menunggu lengahnya si monyet, harimau langsung menerkam. Serangan macan dihindarkan monyet dengan melangkah berputar, tangan yang bersilang tadi di depan dadanya menangkis dan mencengkram sikut harimau yang menerkamnya, lalu dengan sigap tangan lainnya mencengkram leher harimau sambil melompat ke atas punggung macan. Bergulinganlah keduanya, sang macan mencoba untuk menggigit dan mencakar bagian tubuh monyet, namun kesigapan dan kelenturan si monyet membuatnya bisa terus berada di punggung macan. Tenaga macan memang laur biasa, lama kelamaan kaki yang dicengkram si monyet terlepas juga maka secepat kilat cakarnya menyambar leher monyet sambil lompat berguling. Monyet pun dengan sigapnya bergulung atau salto ke belakang dan terjadilah saling sambar dan terkam diantara keduanya. Macan menggunakan sisi luar tangan dan tubuhnya dalam menerkam dan mengunci lawannya sedangkan monyet dengan tangkasnya berkelit menangkis dan balas menampar serta memukul dengan menggunakan sisi dalam tangan dan tubuhnya.
Tetap saja, harimau yang dikenal sebagai raja hutan memiliki kekuatan dan insting berburu  yang tinggi sehingga lama kelamaan monyet pun terdesak. Melihat hal ini, Aleh yang dari tadi terkesima melihat perkelahian tersebut, terbersit hatinya untuk menolong monyet, karena kalau monyet kalah maka nantinya macan tersebut akan pula memangsa dirinya. Kebetulan kayu pemukul yang dipakai menyerang mandor polisi masih dibawa-bawanya, maka dengan sangat hati-hati Aleh mencari saat yang tepat untuk membantu monyet menyerang harimau. Kebetulan monyet terdesak ke arah samping batu tempatnya bersembunyi. Di saat harimau sedang menerjang monyet dan berada di udara, pukulan kayu Aleh dari arah samping dengan telak mendarat di sungut atau moncong harimau yang sedang terbuka tersebut membuatnya terpelanting dan jatuh ke arah monyet. Dengan sigap monyet pun menyerang si macan dengan sambaran jari-jarinya ke arah mata harimau yang langsung mengaum kesakitan. Merasa dirinya tidak akan seimbang lagi untuk melawan dua musuh, maka kaburlah harimau meninggalkan goa.
Sang monyet walaupun binatang, tetap saja memiliki hati sehingga merasa dirinya dibantu oleh manusia, ia pun langsung duduk menghadap Aleh dan berdiam sejenak sambil matanya melihat ke Aleh dengan pandangan berterima kasih. Di saat Aleh mendekatinya si monyet hanya menundukkan kepalanya dan mengeluskan kepala ke kaki Aleh. Malam itu, Aleh pun tidur ditemani sang monyet yang juga perlu istirahat mengobati luka-lukanya akibat perkelahiannya dengan harimau.
Di saat tertidur lelap Aleh bermimpi, monyet yang tadi sore ditolongnya itu bisa bicara dan berkata padanya,
“Hai ki sanak, jika engkau mau bertemu ayahmu pergilah ke arah barat laut. Nanti setelah beberapa lama kamu akan menemukan seekor monyet yang mengamuk di pasar. Bila melihat hal itu, ikutilah kemana monyet itu pergi, karena di adalah saudaraku yang dulu dipelihara dan selalu mengikuti ayahmu”.
Terbangunlah Aleh dari tidurnya, ketika sadar bahwa itu hanyalah mimpi, ia pun mencoba mencari monyet yang telah ditolongnya. Ternyata monyet itu pun telah pergi menghilang. Menyadari pesan penting monyet dalam tidurnya, Aleh binggung apakah harus diikutinya atau itu hanyalah bunga tidur akibat kejadian tadi sore terbawa mimpi.
Keesokan harinya, sehari penuh Aleh memikirkan kejadian yang dialaminya pada hari sebelumnya, ia begitu tertarik dengan prinsip dan cara berkelahi antara harimau dan monyet yang terlihat sangat alami dan memanfaatkan karakter serta kelebihan tubuh mereka masing-masing. Hal itu merupakan suatu kejadian langka yang patut disyukurinya, karena tidak semua orang bisa melihat apa yang telah dilihatnya. Mungkin itu akan menjadi sebuah pelajaran berharga buatnya tentang bagaimana menjalani hidup dan membela diri dari suatu ancaman.
Tiga hari kemudiandi saat ayah tirinya kembali dari kampung, Aleh pun menceritakan peristiwa penting yang dialaminya tersebut. Mang Almad pun berkata,
“Aleh, itu mungkin suatu petunjuk dari Alloh SWT lewat mimpimu bahwa semenjak sekarang kamu harus berkelana ke arah barat laut untuk mencari ayahmu sambil menuntut ilmu dan menimba pengalaman selama perjalananmu. Mulai besok malam kita turun kembali ke kampung untuk pamit ke ibumu dan bersiap untuk perjalananmu”.
“Baik Mang...!” sahut Aleh yang memanggil ayah tirinya dengan sebutan ‘Mang’ seperti panggilan terhadap seorang paman—di sebagian daerah Jawa Barat ‘Mang’ juga merupakan panggilan dari seorang murid ‘penca’ terhadap gurunya—Mang Almad pun sudah terbiasa dengan panggilan tersebut karena ia selalu merasa Aleh itu seperti keponakannya, anak dari sahabatnya yang sudah seperti kakaknya sendiri.
Keesokan malamnya, Mang Almad dan Aleh dengan sembunyi-sembunyi turun ke kampung menuju rumah mereka. Tidak diceritakan bagaimana bahagianya Pinot, ibu dari Aleh mendapati anaknya dalam keadaan sehat dan aman. Setelah mendengar penjelasan dari suaminya, ia pun dengan berat hati mengijinkan anaknya untuk menempuh perjalanan jauh mencari ayah kandungnya. Maka Pinot pun mempersiapkan berbagai keperluan selama anaknya nanti dalam perjalanan. Sambil menunggu ibunya mempersiapkan perbekalannya, Aleh merasa perlu untuk ke jamban atau toilet dulu—jaman dulu untuk buang air lebih santai malam hari karena tempat buang air tidak ada di dalam rumah tapi biasanya di sebuah bilik umum di atas kolam atau di atas sungai—ia pun bergegas ke luar dan menuju kolam samping sungai yang kebetulan tidak terlalu jauh dari jalan raya. Sewaktu ia sedang buang air besar, terdengar ada gerombolan orang yang menunjuk ke arah bilik tempatnya buang air besar, ternyata patroli polisi  sedang mencari dirinya. Tanpa pikir panjang—sambil masih tanpa celana, karena dulu kalau buang air harus melepas semua celana supaya tidak kena kotor atau basah oleh air pancuran dalam bilik—larilah Aleh menuju sawah yang menuju hutan secepat mungkin. Namun hal itu diketahui patroli yang segera menyebar mengejarnya. Setelah beberapa waktu lamanya, Aleh bisa meninggalkan para pengejarnya.
Begitu sampai sawah ia pun sadar bahwa tubuh bawahnya masih telanjang. Beruntung ada orang yang sedang ngandir atau mencari air untuk sawahnya dan ia pun berkata,
“Mang ,tolong pinjam sarungnya, celana saya terbawa arus sungai, nanti bila sampai rumah akan saya kembalikan”, pinta Aleh. Mang Pe’i tetangganya segera mengenalnya dan langsung meminjamkan sarungnya. Aleh pun segera berselimut sarung seperti orang yang sedang menemani ngandir. Sehingga patroli pun tidak bisa lagi mengenalinya. Setelah aman dari para pengejarnya, cepat-cepat Aleh pulang dan menceritakan pengalamannya dikejar patroli. Memahami situasi yang sudah tidak aman lagi, Mang Almad dan ibunya segera mempersiapkan perbekalan Aleh dan menyuruhnya untuk segera berangkat malam itu juga.
Berangkatlah Aleh malam-malam menuju arah barat daya sesuai petunjuk dalam mimpinya. Dengan bulat hati ia bertekad untuk menemukan bapak kandungnya.

Tidak ada komentar: