Halaman
1. Teori Self Disclosure (Model Pengungkapan Diri).................................................. 2
2. Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (NEV Theory)............................................ 3
3. Teori Proksemik....................................................................................................... 7
4. Teori Behavioral dan Kognitif................................................................................. 7
5. Teori Interaksi Simbolik........................................................................................... 8
6. Teori Disonansi Kognitif......................................................................................... 9
7. Coordinated Management of Meaning (Manajemen Makna Terkoordinasi)......... 10
8. Fundamental Interpersonal Relations Orientations............................................... 13
9. Interpersonal Deception Theory (Teori Penipuan Antar Individu)........................ 18
10. Politeness Theory................................................................................................... 20
11. Teori Peran (Role Theory)...................................................................................... 22
12. Teori Hubungan Aku-Benda (I-It)........................................................................ 23
13. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)................................................ 24
14. Teori Dialektika Relasional (Relational Dialectics Theory)................................... 26
15. Teori Penetrasi Sosial............................................................................................. 31
16. Teori Atribusi......................................................................................................... 32
17. Teori Kebutuhan Hubungan Interpersonal............................................................ 33
18. Teori Pengurangan Ketidakpastian........................................................................ 34
Teori Self Disclosure
(Model Pengungkapan Diri)
Self-disclosure merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita pada orang lain ataupun sebaliknya. Sidney Jourard (1971) menandai sehat atau tidaknya komunikasi antarpersona dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi.
Mengungkapkan
yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain, yang juga
bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang
sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Joseph Luft mengemukakan teori self-disclosure lain yang didasarkan pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window, seperti berikut ini:
|
Diketahui oleh diri sendiri
|
Tidak diketahui oleh diri sendiri
|
Diketahui oleh orang lain
|
(1) TERBUKA
|
(2) BUTA
|
Tidak diketahui oleh orang lain
|
(3) TERSEMBUNYI
|
(4) TIDAK DIKETAHUI
|
Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure
yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuadran
(1) TERBUKA. Kuadran (4) sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat
dicapai melalui refleksi diri dan mimpi.
Meskipun self-disclosure mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan itu memiliki batas. Pengaturan
batasan memerlukan pertimbangan dan pikiran. Orang membuat keputusan
mengenai bagaimana dan kapan untuk memberi tahu, dan mereka memutuskan
mengenai bagaimana merespon permintaan orang lain.
Artinya,
kita harus mempertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu
tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi
hubungan kita dengan orang tersebut atau justru sebaliknya.
Dalam
psikologi dinyatakan bahwa tujuan komunikasi adalah meneliti pemahaman
diri dan orang lain dan bahwa pengertian hanya dapat terjadi dengan
komunikasi yang benar.
Menurut psikologi humanistik, pemahaman interpersonal terjadi melalui: (1) Self-disclosure (pengungkapan diri); (2) Feedback (umpan balik); dan (3) Sensitivitas untuk mengenal orang lain.
Sedangkan misunderstanding
dan ketidakpuasan dalam hubungan diawali oleh: (1) Ketidakjujuran; (2)
Kurangnya kesamaan antara tindakan seseorang dengan perasaannya; (3)
Miskin feedback; dan (4) Self-disclosure yang ditahan.
* * *
Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal
(Nonverbal Expectancy Violation Theory / NEV Theory)
Latar Belakang Teori
Judee Burgoon (1978, 1983, 1985) dan Steven Jones (Burgoon & Jones, 1976) pertama kali merancang NEV Theory untuk menjelaskan konsekuensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi.
NEV Theory adalah salah satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas.
Judee K. Burgoon adalah seorang Profesor Komunikasi dari Universitas Arizona AS
dan merupakan salah seorang teoritikus wanita yang paling tekun dalam
meneliti berbagai dimensi komunikasi nonverbal sepanjang dasawarsa
1970-an hingga 1990-an.
Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi (proksemik) sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall
membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak
komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni: [1] jarak
intim (0–18 inci); [2] jarak pribadi (18 inci–4 kaki); [3] jarak sosial
(4-10 kaki); dan [4] jarak publik (lebih dari 10 kaki).
Terkait
dengan keempat macam jarak tersebut kemudian timbul
pertanyaan-pertanyaan seperti berikut; “apa yang akan terjadi ketika
seseorang menunjukkan tingkah laku nonverbal yang di luar dugaan?” atau
“bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah laku nonverbal yang
mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan daya tarik antarpribadi?”.
Berawal dari pertanyaan itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi nonverbal masyarakat Amerika yang menghantarkannya pada penemuan NEV Theory)/ Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal.
Teori ini untuk pertama kalinya diuraikan secara panjang lebar dalam tulisan Burgoon yang bertajuk “A Communication Model of Personal Space Violations: Explication and An Initial Test” yang diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research volume 4, tahun 1978.
Esensi Teori
Teori
ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan-harapan
tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku ketika
berinteraksi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya
diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan field of experience
kita. Terpenuhi atau tidaknya ekspektasi ini akan memengaruhi cara
interaksi kita dengan mereka, bagaimana kita menilai mereka, dan
bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan mereka
Teori
ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan tertentu pada
perilaku nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar maka
orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif
sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.
Sebagai
contohnya, anggaplah Anda seorang gadis yang sedang ditaksir dua orang
pemuda.. Anda tidak bingung karena Anda hanya menyukai salah seorang di
antara mereka. Apa yang terjadi ketika pemuda yang Anda senangi berdiri
terlalu dekat dengan Anda sehingga melanggar jarak komunikasi
antarpribadi yang normatif? Besar kemungkinan Anda akan menilainya
positif. Itulah tanda perhatian yang tulus atau itulah perilaku pria
sejati menurut Anda.
Namun
bagaimana halnya bila yang bertindak seperti itu adalah pria yang tidak
Anda senangi? Anda akan bereaksi secara negatif. Anda akan mengatakan
bahwa orang itu tidak tahu sopan santun atau mungkin dalam hati Anda
akan menyebutnya tidak tahu diri. Jadi kita akan menilai suatu pelanggaran didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut.
Menurut
teori ini, beberapa faktor saling berhubungan untuk memengaruhi reaksi
kita terhadap pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang kita
harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Tiga konstruk pokok dari
teori ini (Griffin, 2004: 88) yakni; [1] Harapan (Expectancies), [2] Valensi Pelanggaran (Violations Valence), dan [3] Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence).
[1] Expectancies (Harapan)
Faktor NEV Theory yang pertama mempertimbangkan harapan kita.
Melalui norma-norma sosial kita membentuk ”harapan” tentang bagaimana
orang lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika
kita saling berinteraksi dengan mereka.
Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun
“yang di luar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi
khusus. Sebagai contoh, kita akan bereaksi sangat gelisah/ tidak nyaman,
jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita.
Dengan
cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang yang penting dengan
kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata
lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang
pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita.
[2] Violation Valence (Derajat Pelanggaran)
Ketika
harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian
melakukan penafsiran, sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut
positif atau negatif. Penafsiran kita tentang perilaku pelanggaran
harapan nonverbal yang biasa disebut ”derajat pelanggaran” adalah elemen
kedua yang penting dari teori ini. Diasumsikan bahwa perilaku nonverbal
itu penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang
diharapkan.
Sebagai
contoh, bayangkan Anda berada di suatu pesta dan seorang asing yang
baru diperkenalkan tanpa diduga-duga menyentuh tangan Anda. Karena Anda
baru saja berjumpa orang itu, perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan.
Anda mungkin menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai kasih sayang,
ajakan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat kekuasaan.
NEV Theory
berargumen bahwa jika perilaku yang diberikan lebih positif dibanding
dengan apa yang diharapkan, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang
positif. Dan sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih negatif
dibanding dengan apa yang diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran
harapan yang negatif. (Infante, 2003: 178).
[3] Communicator Reward Valence (Derajat Ganjaran Komunikator)
Derajat
Ganjaran Komunikator adalah unsur ketiga yang memengaruhi reaksi kita.
Sifat alami hubungan antara komunikator memengaruhi bagaimana mereka
(terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita
“menyukai” sumber dari pelanggaran (misalnya, pelanggar memiliki
kredibilitas tinggi atau menarik secara fisik), kita boleh menghargai
perlakuan yang unik tersebut.
Jika
kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus
pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar
orang tersebut tidak mematuhi norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila
orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka
kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang
tersebut mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.
Penerapan dan Keterkaitan Teori
Pada awalnya teori Burgoon ini hanya diterapkan dalam koteks pelanggaran penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi (Spatial violations). Namun sejak pertengahan tahun 1980-an, Burgoon
menyadari bahwa perilaku penggunaan ruang dan jarak sebenarnya hanyalah
bagian dari sistem isyarat nonlinguistik dalam komunikasi nonverbal.
Dalam hal keterkaitan teoritis, dapat dikatakan setidaknya ada tiga teori yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan NEV Theory. Ketiga teori tersebut adalah: Proxemics Theory , Anxiety/ Uncertainty Management (AUM) Theory, dan Social Exchange Theory (SET).
[1] Proxemics Theory, yang merupakan akar dari perumusan asumsi-asumsi dalam NEV Theory.
Perjalanan teori ini dimulai dari konsep penggunaan ruang dan jarak
dalam proksemik, karena itu jelas kedua teori ini tidak dapat
dipisahkan.
[2] Anxiety/ Uncertainty Management (AUM) Theory dan NEV Theory, menurut Ting Tomey dan Chung (Gudykunst,
et-al., 1996), bersifat saling melengkapi. Keterkaitannya itu terutama
tampak dalam hal penggunaan konsep ekspektasi dalam proses interaksi,
konsep ketidaknyamanan dalam komunikasi yang ambigu atau
tindakan-tindakan mengevaluasi suatu perilaku komunikasi.
[3] Social Exchange Theory (SET), keterkaitannya dengan NEV Theory
dapat dilihat dalam hal penggunaan konsep ganjaran dan kerugian. Kedua
teori ini berpendapat bahwa orang yang dipandang dapat memberikan
ganjaran lebih (high-reward person) akan menciptakan situasi komunikasi yang lebih favourable (nyaman). Demikian sebaliknya bagi individu dalam kategori low-reward person.
Evaluasi dan Perkembangan Teori
Burgoon (Liltlejohn, 1996; Griffin,2000)
secara konsisten mengembangkan teori ini sejak penobatannya pada tahun
1978. Beberapa perbaikan yang dengan mudah dapat diidentifikasi di
antaranya mencakup penyederhanaan empat konstruk teori ini, yang semula
meliputi [1] Harapan (Expectancies); [2] Pelanggaran Harapan (Expectancy
Violations); [3] Valensi Komunikator (Communicator Valence); dan [4]
Valensi Pelanggaran (Violation Valence) menjadi tiga, yakni dengan tetap
mempertahankan konstruk Harapan (Expectancies) dan Pelanggaran Harapan
(Expectancy Violations), serta menggabungkan Valensi Komunikator dan
Valensi Pelanggaran menjadi satu konstruk Valensi Ganjaran Komunikator
(Communicator Reward Valence).
* * *
Teori Proksemik
Yaitu teori yang membahas mengenai penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan. Edward T Hall membagi jarak ke dalam 4 jenis: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab.
Jarak
yang dibuat individu menunjukkan tingkat keakraban yang terjadi di
antara mereka. Misalnya, ada suami istri berjalan berdekatan, kita
langsung berasumsi kalau mereka adalah pasangan yang harmonis. Namun
ketika kita melihat mereka berjalan agak berjauhan, maka kita berasumsi
bahwa mereka sedang dalam kondisi yang kurang harmonis.
Jarak
juga menentukan persepsi kita mengenai sikap lawan bicara ketika ia
membuat jarak saat berkomunikasi. Sebagai contoh, ketika seorang teman
mengajak kita berbicara namun dengan jarak agak jauh atau dibatasi oleh
sesuatu, maka kita akan menganggap dia adalah pribadi yang tidak terlalu
terbuka dan sedikit preventif.
Namun,
ketika lawan bicara kita duduk bersebelahan dengan kita, maka kita
beranggapan bahwa dia sangat terbuka dan mampu menciptakan suasana yang
nyaman saat berbicara. Cara seseorang mengatur ruang juga mempengaruhi
persepsi kita mengenai pribadi lawan bicara kita.
* * *
Teori Behavioral dan Kognitif
Teori
ini berkembang dari ilmu psikologi yang memusatkan pengamatannya pada
diri manusia secara individual. Beberapa pokok pikirannya :
1. Salah
satu konsep pemikirannya adalah model stimulus-respon (S-R) yang
menggambarkan proses informasi antara stimulus dan respon.
2. Mengutamakan
analisa variabel. Analisis ini pada dasarnya merupakan upaya
mengidentifikasi variabel-variabel kognitif yang dianggap penting serta
mencari hubungan antar variabel.
3. Menurut
pandangan ini, komunikasi dipandang sebagai manifestasi dari proses
berfikir, tingkah laku dan sikap seseorang. Oleh karenanya
variabel-variabel penentu memegang peranan penting terhadap kognisi
seseorang (termasuk bahasa) biasanya berada diluar kontrol individu.
Contoh
lain dari teori atau model yang termasuk dalam kelompok teori ini
adalah model psikologi Comstock tentang efek televisi terhadap individu.
Tujuan model ini adalah untuk memperhitungkan dan membantu
memperkirakan terjadinya efek terhadap tingkah laku orang perorang dalam
suatu kasus tertentu, dengan jalan menggabungkan penemuan-penemuan atau
teori-teori tentang kondisi umum dimana efek ini dapat ditemukan.
* * *
TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Teori
Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya
teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara
tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif
interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi
simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling
bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat
menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh
nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap
individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di
tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang
disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa
setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari
perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori
interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu
(Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa
secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain.
Interaksi
simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal
dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di
tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi,
serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana
individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)
dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak
ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan
dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran
(Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran
mereka melalui interaksi dengan individu lain,
(2) Diri
(Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3) Masyarakat
(Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun,
dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap
individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif
dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society”
merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934
dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan
pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi
mengenai teori interaksi simbolik.
* * *
Teori Disonansi Kognitif
Teori
disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas
mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap,
pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang
untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Disonansi
adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk
keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk
melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan
(consonant), disonansi (dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan
konsonan(consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua
elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Hubungan
disonansi(dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak
seimbang satu dengan lainnya
Hubungan
tidak relevan(irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen
tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya
disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan
Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan
mendorong terjadinya perubahan.
Asumsi
Teori
disonansi kognitif adalah menjelaskan mengenai keyakinan dan perilaku
mengubah sikap. Teori ini berfokus pada efek inkonsistensi yang ada
diantara kognisi-kognisi. 4 asumsi dasar dari teori ini:
Manusia
memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya.. Penjelasan: menekankan sebuah model mengenai sifat dasar
dari manusia yang mementingkan adalnya stabilitas dan konsistensi. Teori
ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam
pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari
konsistensi.
Disonansi
diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Penjelasan: berbicara
mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini tidak
berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sevaliknya teori ini merujuk
pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara
psikologis(dibandingkan tidak konsisten secara logis).
Disonansi
adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan
tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. Penjelasan:
menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis
disonansi tercipta menimbulkan perasan tidak suka. Jadi orang tidak
senang berada dalam keadaan disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan
yang tidak nyaman.
Disonansi
mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi
disonansi Penjelasan: untuk menghindari situasi yang menciptakan
inkonsistensi dan berusaha mencari situasi yang mengembalikan
konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia yang membingkai
teori ini adalah sifat dimana manusia mencari konsistensi psikologis
sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan oleh kondisi
ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten.
* * *
Coordinated Management Of Meaning
(Manajemen Makna Terkoordinasi)
Dalam
percakapan dan selalu membuat pesan-pesan yang kirim dan terima, orang
saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia sosial kita, kita
menggunakan berbagai atuan untuk mengonstruksi dan mengkoordinasikan
makna. Maksunya, aturan-aturan membimbing komunikasi yang terjadi di
antara orang-orang. CMM berfokus pada relasi antara individu-individu
dengan masyarakatnya, melalui sebuah struktur hierakis, orang-orang
mengorgnisasikan makna dari beratus-ratus pesan yang diterimanya dalam
sehari.
CM
Mberfokus pada diri dan hubungannya dnegan orang lain, serta mengkaji
bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Teori ini
penting karena berfokus pada hubungan antara individu dengan
masyarakatnya (Philipsen,1995). Teori ini didasarkan pada konsep-konsep
komunikasi, realitas sosial, dan makna.
Asumsi
1. Manusia hidup dalam komunikasi.
Pentingnya komunikasi, yaitu manusia hidup dalam komunikasi. Sekilas,
premis ini memberikan pernyataan yang sedikit aneh mengenai komunikasi;
faktanya bahwa manusia mendiami proses komunikasi. Akan tetapi, Pearce
(1989) berpendapat bahwa”komunikasi adalah, dan akan selalu, menjadi
lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya (hal 3). Maksudnya kita
hidup dalam komunikasi.
2. Manusia saling menciptakan realitas sosial.
Kepercayaan
bahwa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka dalam
percakapan disebut sebagai konstruksionisme sosial (social
construction). Realitas sosial (social reality) adalah keyakinan
seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai atau tepat dalam
sebuah interaksi sosial.
3. Transaksi informasi tergantung kepada makna pribadi dan interpesonal.
Makna
pribadi adalah sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinterkasi
dengan yang lain sambil membawa pengalamannya yang unik ke dalam
interaksi. Makna pribadi membantu orang-orang dalam penemuan, maksudnya,
hal ini tidak hanya membuat kita mampu menemukan informasi tentang diri
kita sendiri, melainkan juga membantu kita dalam penemuan kita mengenai
orang lain.
1. Isi/ Content
Merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna. “Aku mencintai kamu” menyiratkan informasi mengenai reaksi A ke B.
2. Tindak Tutur/ Speech Act
Dalam
mendiskusikan level makna yang kedua ini, Pearce (1994) mendeskripsikan
tindak tutur (speech act) sebagai”tindakan-tindakan yang kita lakukan
dengan cara berbicara, misalnya:bertanya, memberikan pujian, atau
mengancam). Tindak tutur bukanlah benda; tindak
tutur adalah konfigurasi dari logika makna dan tindakan dari percakapan,
dan konfigurasi ini diabngun bersama. Oleh karena itu, kita harus
menyadari bahwa dua orang saling menciptakan makna dari tindak tutur.
“Aku mencintai kamu” fase ini menyampaikan lebih dari sekadar sebuah
pernyataan
3. Episode
Untuk
menginterpretasikan tindak tutur, Pearce dan Cronen(1980) membahas
episode atau rutinitas komunikasi yang dimiliki awal, pertengahn, dan
akhir yang jelas. Dapat dikatakan bahwa episode mendeskripsikan konteks
di mana orang bertindak. Pada level ini, kita mulai melihat pengaruh
dari konteks terhadap makna. Dalam percakapan yang koheren dibutuhkan
sutau tingkat penadaan(punctuation) yang terkoordinasi. Pearce(1976)
berpendapat bahwa episode merupakan hal yang tidak pasti karen para
aktor dalam situasi sosial sering kali mendapati diri mereka berada
dalam episode-episode yang benar-benar beragam. Ia juga melihat bahwa
episode-episode sebenarnya didasarkan oleh budaya, dimana orang-orang
membawa harapan, yang dipengaruhi oleh kebudayaan mereka, akan bagaimana
suatu episode harus dilaksanakan.
4. Hubungan-Relationship (Kontrak-Contract)
Di mana dua orang menyadari potensi dan batasan mereka sebagai mitra dalam sebuah hubungan. Hubungan
dapat dikatakan seperti kontrak, dimana terdapat tuntunan dalam
berprilaku. Para teoretikus menggunakan istilah keterlibatan(enmeshment)
untuk menggambarkan batasan dimana orang mengidentifikasi dirinya
sebagai bagaian dari suatu sistem.
5. Naskah Kehidupan-Life Scripts (Autobiografi)
Kelompok-kelompok
episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu sistem makna
yang dapat dikelola bersama dengan ornag lain.
6. Pola Budaya/Culture Patterns
Pearce dan Cronen(1980) menyataka bahwa manusia mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dalam kebudayaan tertentu.
Koordinasi dipengaruhi beberapa hal:
1. Moralitas,
koordinasi mengharuskan individu untuk menganggap tindakan moral lebih
tinggi sebagai suatu hal yang penting(Pearce 1989). Moralitas sebagai
penghargaan, martabat, dan karakter. Moralitas terdiri dari etika karena
etika merupakan bagian yang instrinsik dalam setiap akur percakapan.
2. Sumber daya yang pada seseorang (resources),
mereka merujuk pada”cerita, gambar, simbol, dan institusi yang
digunakan orang untuk memaknai dunia mereka”(pearce, 1989,hal.23) Sumber
daya juga termasuk persepsi, kenangan, dan konsep yang membantu orang
mencapai koherensi dalam realitas sosial mereka.
Aturan
Teoretikus
CMM berpendapat bahwa penggunaan aturan dalam percakapan lebih dari
sekedar kemampuan untuk menggunakan aturan; hal ini membutuhkan
”kemampuan fleksibel yang tidak dapat disederhanakan menjadi sebuah
tehnik belaka”(cronen. 1995b, hal 224). Oleh karena itu aturan lebih
sekedar dari tuntunan prilaku. Para partispan harus memahami realitas
sosial dan kemudian mengintegrasikan aturan ketika mereka memutuskan
bagaimana harus bertindak dalam situasi tertentu.
Hieraki
makna yang ditampilkan sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa level yang
rendah dapat merefleksikan ulang dan mempengaruhi makna dari
level-level yang lebih tinggi.
Pearce
dan Cronen(1980) menyebut proses refkleksi ini sebagai rangkaian(loop).
Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tingkatan-tingkatan
yang ada dalam hierarki, disebut rangkaian seimbang(charmed loop).
Rangkaian seimbang terjadi ketika satu bagian dari hierarki mendukung
lebel yang lain. Selain itu, penetepan makna yang ada bersifat konsisten
dan disepakati disepanjang rangkaian. Pada saat tertentu, beberapa
episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih
tinggi di dalam hieraki yang ada. Rangkaian ini disebut rangkaian tidak
seimbang(strange loop). Rangkaian ini muncuk karena adanya komunikasi
intarpersonal yang terjadi pada saat individu-individu sedang sibuk
dengan dialog internal mereka mengenai sikap mereka yang merusak diri
sendiri.
* * *
Fundamental Interpersonal Relations Orientations
Teori
ini mengasumsikan bahwa ada tiga kebutuhan penting yang menyebabkan
(orientasi) adanya interaksi dalam suatu kelompok. Ketiga aspek itu
adalah keikutsertaan (inclusion), pengendali (control) dan kasih sayang (affection).
Diutarakan
oleh William Schutz (1958) dengan Postulat Schutz-nya yang berbunyi
bahwa setiap manusia memiliki tiga kebutuhan antarpribadi yang disebut
dengan inklusif, kontrol dan afeksi. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa
manusia dalam hidupnya membutuhkan manusia lain (manusia sebagai
makhluk sosial).
Konsep antarpribadi menjelaskan tentang adanya suatu hubungan yang
terjadi antara manusia. Sedangkan konsep kebutuhan menjelaskan tentang
suatu keadaan atau kondisi dari individu, apabila tidak dihadirkan atau
ditampilkan akan menghasilkan suatu akibat yang tidak menyenangkan bagi
individu. Ada tiga macam kebutuhan antarpribadi, yaitu kebutuhan
antarpribadi untuk inklusi, kebutuhan antarpribadi untuk kontrol, dan
kebutuhan antarpribadi untuk afeksi.
Inclusion / Keikutsertaan
Kebutuhan Inklusi adalah
kebutuhan yang berdasarkan pada kesadaran pribadi yang ingin
mendapatkan kepuasan dengan cara berkontribusi penuh/berguna bagi
kelompok atas dasar kesadaran sendiri setelah berinteraksi dalam
kelompok. Kebutuhan inklusi berorientasi pada keinginan untuk pengakuan
sebagai seseorang yang berkemampuan dalam suatu kondisi. Pada dimensi
ini ada kecenderungan orang untuk ingin dijadikan “sandaran” untuk
berkonsultasi, bertanya dan dimintai pendapat dan sarannya. Intensitas
kebutuhan pemenuhan dimensi ini bagi tiap individu tidaklah sama.
Kebutuhan inklusi yang terlalu tinggi akan mengakibatkan seseorang di
posisi oversocial. Sedangkan kebutuhan inklusi yang terlalu rendah mengakibatkan seseorang dikategorikan dalam kelompok undersocial.
¨ Kebutuhan Antarpribadi untuk Inklusi
Yaitu
kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan komunikasi antarpribadi
yang memuaskan dengan orang lain, sehubungan dengan interaksi dan
asosiasi. Tingkah laku inklusi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk
mencapai kepuasan individu. Misalnya keinginan untuk asosiasi, bergabung
dengan sesama manusia, berkelompok.
Tingkah
laku inklusi yang positif memiliki ciri-ciri: ada persamaan dengan
orang lain, saling berhubungan dengan orang lain, ada rasa menjadi satu
bagian kelompok dimana ia berada, berkelompok atau bergabung. Tingkah
laku inklusi yang negatif misalnya menyendiri dan menarik diri.
¨ Beberapa tipe dari Inklusi, yaitu:
1. Tipe Sosial; seseorang yang mendapatkan pemuasan kebutuhan antarpribadi secara ideal.
2. Tipe Undersosial; tipe
yang dimiliki oleh seseorang yang mengalami kekurangan dalam derajat
pemuasan kebutuhan antarpribadinya. Karakteristiknya adalah selalu
menghindar dari situasi antar kesempatan berkelompok atau bergabung
dengan orang lain. Ia kurang suka berhubungan atau bersama dengan orang
lain.
3. Tipe Oversosial; seseorang
mengalami derajat pemuasan kebutuhan antarpribadinya cenderung
berlebihan dalam hal inklusi. Ia cenderung ekstrovert. Ia selalu ingin
menghubungi orang lain dan berharap orang lain juga menghubunginya.
Ada
juga tipe inklusi yang patologis yaitu seseorang yang mengalami
pemuasan kebutuhan antarpribadi secara patologis. Jika hal ini terjadi
maka orang tersebut terbilang gagal dalam usahanya untuk berkelompok.
Control/ Mengendalikan
Kebutuhan Kontrol adalah
kebutuhan yang berdasarkan pada kesadaran pribadi yang ingin
mendapatkan kepuasan dengan cara mengendalikan dalam artian memimpin
interaksi dalam kelompok. Kontrol pada dasarnya merepresentasikan
keinginan pribadi untuk mempengaruhi dan memiliki “suara” dalam
penentuan sikap/keputusan dalam kelompok.
Kebutuhan
kontrol akan sangat terlihat ketika kelompok tengah mengerjakan suatu
proposal. Ketika gagasan individu diterima, dan individu tersebut merasa
berpengaruh dalam kelompok disanalah kebutuhan kontrol seorang individu
terpenuhi. Kepuasan yang dihasilkan terwujud karena individu yang
berkompetensi dalam kepemimpinan bisa mengasah kemampuannya dengan
bergabung dalam pengambilan keputusan kelompok. Sama halnya dengan
kebutuhan inklusi, intensitas kebutuhan pemenuhan dimensi ini bagi tiap
individu tidaklah sama.
Kebutuhan kontrol yang terlalu tinggi akan mengakibatkan seseorang di posisi autocrat. Sedangkan kebutuhan kontrol yang terlalu rendah mengakibatkan seseorang dikategorikan dalam kelompok abdicrat.
¨ Kebutuhan Antar Pribadi untuk Kontrol
Adalah
kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan komunikasi yang
memuaskan dengan orang lain berhubungan dengan kontrol dan kekuasaan.
Proses pengambilan keputusan menyangkut boleh atau tidaknya seseorang
untuk melakukan sesuatu perlu ada suatu kontrol dan kekuasaan. Tingkah
laku kontrol yang positif, yaitu: mempengaruhi, mendominasi, memimpin,
mengatur. Sedangkan tingkah laku kontrol yang negatif, yaitu:
memberontak, mengikut, menurut.
¨ Beberapa tipe dari kontrol, yaitu:
1. Tipe kontrol yang ideal (democrat); seseorang
akan mengalami pemuasan secara ideal dari kebutuhan antarpribadi
kontrolnya. Ia mampu memberi perintah maupun diperintah oleh orang lain.
Ia mampu bertanggung jawab dan memberikan tanggung jawab kepada orang
lain.
2. Tipe kontrol yang kekurangan (abdicrat); seseorang
memiliki kecenderungan untuk bersikap merendahkan diri dalam tingkah
laku antarpribadinya. Seseorang cenderung untuk selalu mengambil posisi
sebagai bawahan (terlepas dari tanggungjawab untuk membuat keputusan).
3. Tipe kontrol yang berlebihan (authocrat); seseorang
menunjukkan kecenderungan untuk bersikap dominan terhadap orang lain
dalam tingkah laku antarpribadinya. Karakteristiknya adalah seseorang
selalu mencoba untuk mendominasi orang lain dan berkeras hati untuk
mendudukkan dirinya dalam suatu hirarki yang tinggi.
4. Tipe kontrol yang patologis; seseorang yang tidak mampu atau tidak dapat menerima control dalam bentuk apapun dari orang lain.
Affection/ Kasih Sayang
Kebutuhan
kasih sayang ini dimaksudkan akan kebutuhan seseorang dengan lingkungan
sosial. Sehingga seorang individu membutuhkan kasih sayang dan cinta
(kedekatan dalam berinteraksi) sebagai pemuas kebutuhannya dalam
kelompok. Dalam ketegori ini, kebutuhan inilah yang menyebabkan
seseorang ikut dan berperan aktif dalam kelompok.
Kebutuhan
afeksi pada posisi paling dasar merupakan kebutuhan untuk disukai,
kesempatan untuk membangun hubungan pribadi yang dekat (intim) dengan
individu lain. Kebutuhan ini adalah bagian dari keinginan untuk dekat
dengan orang lain dan juga bagian dari keinginan individu lain untuk
dekat dengan seorang individu. Kedua pribadi sangat membutuhkan
pengakuan dan keramahan emosional dengan individu lainnya.
¨ Kebutuhan Antarpribadi untuk Afeksi
Yaitu
kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan komunikasi antarpribadi
yang memuaskan dengan orang lain sehubungan dengan cinta dan kasih
sayang. Afeksi selalu menunjukkan hubungan antara dua orang atau dua
pihak.
Tingkah
laku afeksi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk mencapai kebutuhan
antarpribadi akan afeksi. Tingkah laku afeksi menunjukkan akan adanya
hubungan yang intim antara dua orang dan saling melibatkan diri secara
emosional.
Afeksi hanya akan terjadi dalam hubungan antara dua orang (diadic – Frits Heider, 1958)). Tingkah
laku afeksi yang positif: cinta, intim/akrab, persahabatan, saling
menyukai. Tingkah laku afeksi yang negatif: kebencian, dingin/tidak
akrab, tidak menyukai, mengambil mengambil jarak emosional.
¨ Beberapa tipe dari Afeksi:
1. Tipe afeksi yang ideal (personal); seseorang yang mendapat kepuasan dalam memenuhi kebutuhan antarpribadi untuk afeksinya.
2. Tipe afeksi yang kekurangan (underpersonal); seseorang
dengan tipe ini memiliki kecenderungan untuk selalu menghindari setiap
keterikatan yang sifatnya intim dan mempertahankan hubungan dengan orang
lain secara dangkal dan berjarak.
3. Tipe afeksi yang berlebihan (overpersonal); seseorang yang cenderung berhubungan erat dengan orang lain dalam tingkah laku antarpribadinya.
4. Tipe afeksi yang patologis; seseorang
yaang mengalami kesukaran dan hambatan dalam memenuhi kebutuhan
antarpribadi afeksinya, besar kemungkinan akan jatuh dalam keadaan
neorosis.
Kesimpulan
Teori FIRO (Fundamental Interpersonal Relationship Orientation) mengasumsikan
bahwa keberlangsungan interaksi interpersonal akan berjalan dengan baik
dan lancar jika tiap individu sudah bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pribadinya yang terbagi atas tiga dimensi. Dalam berinteraksi, jika tiap
individu saling mengizinkan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya
maka, interaksi tiap dan masing-masing individu akan semakin lancar.
Jika interaksi interpersonal antar-individu sudah lancar maka komunikasi
interpersonal yang efektif bisa dicapai.
* * *
INTERPERSONAL DECEPTION THEORY
(Teori Penipuan Antar Individu)
Tokoh dibalik Interpersonal Deception Theory adalah
Judee K. Burgoon dan David B. Buller. Dalam ilmu komunikasi, berbohong
mempunyai teori tersendiri yang membahasnya, yaitu “Interpersonal
Deception Theory” atau Teori Penipuan Antar Individu. Dan “Interpersonal
Deception Theory” itu sendiri dikemukakan untuk berbagai alasan,
biasanya teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana orang
menghindari tindakan menyakiti orang lain dengan cara berbohong, atau
bisa untuk menjelaskan bagaimana cara orang lain berbohong untuk
menyerang orang lain, berpura – pura empati, menghindari masuk kedalam
konflik, dan masih banyak lagi kebiasaan seseorang yang ada kaitannya
dengan memanipulasi pernyataan mereka dengan kebohongan dijelaskan oleh
teori “Interpersonal Deception” ini.
Asumsi Metateoretis
1. Asumsi ontologis:
Sejauh
sifat kenyataan, teori kebohongan bersifat sangat manusiawi karena
memandang berbagai kenyataan saling bergantung pada berbagai faktor
situasional pada individu yang terlibat
2. Asumsi epistemologis:
Dalam
hal pengetahuan, teori ini juga bersifat manusiawi. Apa yang ditemukan
dari penelitian sepenuhnya bergantung pada siapa yang mempunyai
pengetahuan tentang apa yang dibicarakan.
3. Asumsi aksiologis:
Teori
IDT bersifat manusiawi dalam segi nilai. Nilai dari individu yang
terlibat disimpulkan dari nilai dan pengalaman mereka sendiri.
Perspektif Teoritis
Teori
Interpersonal Deception membahas kebohongan melalui lensa teoretis
komunikasi antar personal. Pada dasarnya, ia menganggap kebohongan
sebagai suatu proses interaktif antara pengirim dan penerima. Berbeda
dengan penelitian tentang kebohongan sebelumnya yang memfokuskan pada
pengirim dan penerima secara terpisah, IDT memfokuskan pada sifat dyadic
(dual), relational (hubungan) dan dialogic (dialog) dari komunikasi
penuh kebohongan. Perilaku antara pengirim dan penerima bersifat
dinamis, multifungsi, multidimensi dan multimodal.
8
Komunikasi dyadic berarti komunikasi antara dua orang. Dyad berarti
sekelompok terdiri dari dua orang dimana pesan dikirim dan diterima.
8
Komunikasi relational mengacu pada komunikasi dimana makna yang
dibentuk oleh dua orang saling mengisi peran, baik pengirim dan
penerima.
8
Aktivitas dialogic mengacu pada bahasa komunikatif dari pengirim dan
penerima, masing-masing mengandalkan satu sama lain dalam pertukaran
tersebut.
Sebagai
contohnya adalah kerangka konseling psikoterapi dan psikologis.
Aktivitas dyad, relasional dan dialogis antara pasien dan ahli terapi
bergantung pada komunikasi yang jujur dan terbuka jika pasien ingin
sembuh dan berhasil membina hubungan yang lebih sehat. Kebohongan menggunakan kerangka teori yang sama karena komunikasi dari satu peserta dengan sengaja salah.
Contoh Kasus
Contoh: Tujuan penipuan adalah untuk mengamankan wajah atau membenarkan tindakan.
Citra
dan Robi saling menyukai satu sama lain, namun keduanya masih malu
untuk saling mengakui perasaan masing – masing karena baru saja kenal.
Tetapi ada saja alasan yang menjadikan mereka saling berinterkasi satu
sama lain. Suatu ketika Robi ingin meminjam Novel “Ayat-ayat cinta”
milik citra padahal Robi juga baru saja beli kemarin sore. Pada keesokan
harinya tak diduga Citra menemui Robi diruang kerjanya dan melihat ada
dua Novel “Ayat-ayat cinta” dimeja Robi, spontan Citra bertanya “Ko ada
dua novelnya, yang satu punya kamu yah…?”dengan penuh curiga. Dalam hal ini Robi bisa saja memberi alasan berbagai macam.
Contoh tersebut
adalah kondisi yang membutuhkan Teori penipuan agar Robi tidak terlihat
bahwa dia hanya mencari alasan saja agar tetap bisa berinterkasi dengan
Citra sehingga bisa membuat Robi malu dimata citra . Robi bisa saja berbohong melakukan Falsification
(Pemalsuan) dengan mengatakan “Itu bukan punyaku melainkan punya si
Romi tadi dia pamer bahwa dia juga punya novel bagus ini, eh malah
tertinggal dimejaku”.
Atau
Robi bisa saja mengatakan “Oh iya itu punyaku merasa tertarik jadi aku
beli kemarin, itu novelmu mau aku balikin, kebetulah kamunya kesini”,
dalam kondisi ini Robi masih mengatakan kejujuran tetapi tidak
keseluruhan Concealment (Penyembunyian), Robi memang baru beli
novel kemarin (tetapi tidak dijelaskan kemarin kapan), dan novel milik
Citra spontan langsung dikembalikan agar tidak terjadi kebocoran.
Terakhir
Robi dapat juga mengatakan secara tegas kepada citra “Iya, aku baru
beli di mall kemarin”, pernyataan tersebut merupakan suatu Equivocation
(Pengelakan) untuk menghindar dari penceritaan yang lebih detail.
* * *
Politeness Theory
Dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987), teori kesantunan atau Politeness Theory (PT) menjelaskan bagaimana kita mengelola identitas kita sendiri dan orang lain melalui interaksi, khususnya, melalui penggunaan strategi kesantunan.
Menurut
Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau
“muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam
hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Jika
Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka
Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut
pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal.
Asumsi
Tiga asumsi dasar panduan teori kesantunan. Pertama, PT mengasumsikan bahwa semua individu perlu untuk mengatur mimik wajah mereka (Brown & Levinson, 1978, 1987). Sederhananya, wajah mengacu pada citra diri yang dikehendaki; juga termasuk pengakuan bahwa mitra interaksional Anda memiliki kebutuhan mimik wajah bagaimana yang mereka harapkan. Ada dua dimensi mengenai konsep wajah: wajah positif dan wajah negatif.
Wajah Positif mencakup kebutuhan seseorang untuk disukai, dihargai, dan dikagumi oleh orang lain. Wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur. Wajah negatif mengasumsikan keinginan seseorang untuk bertindak bebas, tanpa kendala atau memposisikan diri sebagai orang lain.
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur
mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan,
kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur
mengharapkan adanya jarak sosial. Yang jelas, sulit untuk mencapai wajah positif dan negatif secara bersamaan, karena keduanya saling bertolak belakang.
Kedua,
teori kesopanan mengasumsikan bahwa manusia rasional dan berorientasi
tujuan, mereka menghormati dan menghargai kebutuhan mimik wajah (Brown
& Levinson, 1978, 1987). Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan dan membuat keputusan komunikatif untuk secara relasional dan berorientasi tujuan
dalam konteks menjaga wajah. Brown dan Levinson mengemukakan bahwa
manajemen wajah terbaik ketika semua orang terlibat membantu untuk
menjaga wajah orang lain.
Asumsi
terakhir, PT berpendapat bahwa beberapa perilaku wajah secara
fundamental dapat ‘mengancam’ (Brown & Levinson, 1978, 1987). Wajah
‘mengancam’ ini meliputi perilaku umum seperti permintaan maaf, pujian,
kritik, permintaan, dan ancaman (Craig, Tracy, & Spisak, 1993).
Kesantunan
(dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan
mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104). Wajah
seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan
sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang
berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).
Pengancaman
wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur
dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial.
Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga
yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)
Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam
konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman
wajah dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman
wajah karena jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara
mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur
muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh
jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon
dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving
act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan
pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah
negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan wajah
penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.
* * *
Teori Peran (Role Theory)
Menurut
teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai
dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan
agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut.
Pendekatannya
yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat
mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku
tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat
akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi
peserta pemilu pada usia delapan belas tahun.
Peran adalah eksistensi kita.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seesorang pada situasi sosial tertentu.
Peran adalah aspek dinamis dari suatu status. Definisi sederhana yang dibuat oleh Linton ini memberikan deskripsi mengenai posisi dan kedudukan dari status-peran.
Makna
peran, menurut Suhardono, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu
pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, peran berarti
karakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah
pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu
sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan
seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu.
Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya
karena posisi yang didudukinya tersebut.
Seseorang
dikatakan menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban
yang merupakan bagian tidak terpisah dari status yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial. Menurut Horton dan Hunt [1993], peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status.
Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.
Role Conflict
Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering
terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya,
kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan
meski subjek atau sasaran yang dituju sama.
Role Strain Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain.
* * *
Teori Hubungan Aku-Benda (I-It)
Martin Buber
Corak hubungan fundamental antarmanusia menurut Martin Buber ialah Aku-Anda (I-Thou) dan hubungan Aku-benda (I-It).
Menurut Buber dalam Aku-Anda hubungan timbale balik antarsubjektifitas
menjadi penting. Relasi antara Aku dan Anda tidak akan menciptakan
konflik karena didasari oleh hubungan yang setara, hubungan yang
menghendaki yang lain dalam subjektifitasnya (hubungan Subjek-Subjek).
Ketika manusia mengakui dan menghargai yang lain sebagai subjek,
disanalah cinta kasih terwujud.
Hubungan
dengan model ini ditandai dengan adanya keterbukaan dan sering kali
membawa resiko yang lebih besar, karena bersifat total. Dengan
memberikan diriku secara total kepada engkau, aku siap bila tidak
ditanggapi. Dalam hubungan Aku-Anda diperlukan ruang interpersonal
karena harus saling menjaga kekhasannya sambil tetap menjalin relasi.
Sehingga manusia bisa menerima orang lain sebagai dirinya yang otentik.
Berkebalikan
dengan hubungan Aku-Anda, hubungan Aku-benda merupakan hubungan antara
tuan-budak (Hegel). Hubungan ini dicirikan dengan kehendak menguasai
dunia. Dengan benda, diafirmasilah bahwa ia tunduk dan dikebawahkan pada
subjek. Dalam hubungan ini, terdapat ruang atau jarak sehingga dapat
dikatakan bahwa benda menjadi objek bagi subjek (manusia). Oleh karena
terjadi penguasaan, benda dapat diketahui seluruhnya.
Bagi Martin Buber hubungan Aku-Anda akan membuka hubungan dengan Anda Mutlak (I-Thou Absolut).
Emmanuel Levinas
Menurut
Levinas manusia pada dasarnya didorong untuk mencari yang lain.
Menginginkan yang lain adalah menginginkan yang tidak ada dalam diri
kita. Hubungan antarpersonal manusia didasari oleh hubungan Aku-“Yang
Lain” (L’un pour l’autre) yang dilukiskan dengan “epifani wajah”.
Artinya, aku mempunyai kewajiban kepada yang lain. Melalui pandangan
ini, Levinas ingin menolak egologia Descartes. Bahwa realitas tidak
dibentuk oleh rasio murni, tetapi dengan cara memandang manusia secara
otentik.
Tetapi
perlu diingat bahwa hubungan dengan yang lain adalah hubungan antar
manusia yang asimetris. Kenapa? Karena subjek menurut Levinas adalah
seseorang yang ditempatkan berada di bawah orang lain. “Yang Lain” yaitu
sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya
dan karenanya tidak terselipkan dalam totalitas rasional.
Struktur
tersebut membuat aku menjadi unik dan tidak tergantikan. Aku tahu aku
ada karena berbeda dengan yang lain. Dengan kata lain, aku menjadi
sandera untuk orang lain. Namun, hubungan antara aku dengan yang lain
bukan saja terjadi diantara dua orang saja, melainkan juga terhadap
tampilnya orang ketiga. Dengan begitu aku menjadi semakin
bertanggungjawab terhadap semua orang.
* * *
Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Pengertian
Teori
pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang dapat
mencapai suatu pengertian mengenai sifat kompleks dari kelompok dengan
mengkaji hubungan di antara dua orang (dyadic relationship). Suatu
kelompok dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kumpulan dari hubungan
antara dua partisipan tersebut.
Perumusan
tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran
barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan imbalan (reward) dipahami
dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respons dari
individu-individu selama berinteraksi sosial.
Jika
imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka
interaksi kelompok kan diakhiri, atau individu-individu yang terlibat
akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apapun yang
mereka cari.
Munculnya Teori Pertukaran Sosial
Pada umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat,
maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku yang saling
memengaruhi dalam hubungan tersebut yang terdapat unsur ganjaran,
pengorbanan dan keuntungan.
Ganjaran
merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan,
manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku
sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di
tempat kerja, percintaan, perkawinan, dan persahabatan.
Analogi
dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman
anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda.
Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan
dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda
membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan
tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain.
Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya,
saling membantu jikalau dibutuhkan.
Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan.
Pada
pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh
Homans dan Blau. Homans dalam analisanya berpegang pada keharusan
menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan
perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi
Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran
antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu
struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial
yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda
dengan analisa yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori
pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang
bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau
yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau
hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat
subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada
interaksionisme simbolik.
Pertentangan teori pertukaran sosial individualistis dan kolektivistis
Pertentangan
yang terjadi ini merupakan akibat dari tumbuhnya pertentangan antara
orientasi individualistis dan kolektisvistis. Homans mungkin merupakan
seseorang yang sangat menekankan pada pendekatan individualistis
terhadap perkembangan teori sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan
penjelasan Levi-Strauss yang bersifat kolektivistis khususnya mengenai
perkawinan dan pola-pola kekerabatan.
Levi-Strauss
merupakan seorang ahli antropologi yang berasal dari Prancis, ia
mengembangkan suatu perspektif teoritis mengenai pertukaran sosial dalam
analisannya mengenai praktek perkawinan dan sistem kekerabatan
masyarakat-masyarakat primitif.
Suatu
pola umum yang dianalisanya adalah seorang pria mengawini putri saudara
ibunya. Suatu pola yang jarang terjadi adalah orang mengawini putri
saudara bapaknya.
Pola
yang terakhir ini dianalisa lebih lanjut oleh lanjut oleh Bronislaw
Malinowski dengan pertukaran nonmaterial. Dalam menjelaskan hal ini
Levi-Strauss membedakan dua sistem pertukaran yaitu restricted exchange dan generalized exchange. Pada restricted exchange, para anggota kelompok dyad
terlibat dalam transaksi pertukaran langsung, masing-masing anggota
pasangan tersebut saling memberikan dengan dasar pribadi. Sedangkan pada
generalized exchange, anggota-anggota suatu kelompok triad atau yang lebih besar lagi, menerima sesuatu dari seorang pasangan lain dari orang yang dia berikan sesuatu yang berguna.
* * *
Teori Dialektika Relasional
(Relational Dialectics Theory)
Makna
Dialektika adalah seni diskusi logis sebagai alat untuk memeriksa
kebenaran teori berdasarkan resolusi dari pertentangan atau kontradiksi.
Teori
ini menggambarkan hubungan komunikasi sebagai kemajuan dan
pergerakannya konstan. Teori ini dapat dipahami dan diterapkan pada
konteks organisasi dan juga interpersonal. Orang yang terlibat dalam
berhubungan pada dasarnya dalam selalu ada dorongan dan tarikan dari
keinginan masing-masing individu yang bertolak belakang. Kita
membicarakan dua tujuan yang berlawanan, orang menginginkan “both/and” bukan “either/or”.
Dalam berkomunikasi kita berusaha mendamaikan keinginan yang bertolak
belakang ini walaupun tidak pernah menghapuskan keinginan kita.
Contoh: dalam berelasi, orang ingin merasa ada keterbukaan sekaligus ketertutupan (both/and), bukan hanya menginginkan keterbukaan saja atau tidak berelasi sama sekali (either/or).
Asumsi
• Hubungan tidak bersifat liniar melainkan fluktuasi yang terjadi antara keinginan yang kontradiktif.
• Hidup berhubungan ditandai dengan adanya perubahan dengan sejalannya waktu.
• Kontradiksi
merupakan fakta fundamental dalam hidup berhubungan yang tidak pernah
behenti untuk menimbulkan ketegangan. Kita dapat mengelola ketegangan
dan oposisi dengan cara yang berbeda-beda, tetapi kedua hal ini selalu
ada dalam hidup berhubungan.
• Komunikasi
sangatlah penting dalam mengelola, mengorganisasikan dan menegosiasikan
kontradiksi – kontradiksi dalam hubungan secara baik.
Baxter
dan Montgomery sangat terpengaruh oleh teori Mikail Bakhtin, seorang
filsuf Rusia yang mengembangkan teori dialog personal. Bakhtin
mengemukakan bahwa fenomena komunikasi dan fenomena sehari-hari adalah
suatu bagian dalam kehidupan.
Bahktin
menilai bahwa konflik bukan sesuatu yang penting dalam komunikasi,
karena adanya konflik dalam suatu komunikasi adalah hal yang lumrah.
Suatu kebiasaan kecil dalam jangka waktu panjang dapat berpotensi untuk
menyebabkan perubahan yang mendasar. Kehidupan sosial merupakan dialog
terbuka diantara banyak suara dan intinya adalah diferensiasi simultan
dan penggabungan dengan yang lain. Konsep diri hanya mungkin ada dalam
konteks dengan orang lain. Pengalaman manusia dibentuk melalui
komunikasi dengan orang lain dan berfokus pada pentingnya interaksi
dengan orang lain dalam penciptaan makna.
Contoh:
Peraturan atau norma dalam masyarakat dibuat untuk membatasi kebebasan
perilaku masyarakat dalam konteks tertentu. Namun seiring dengan
perkembangan jaman, kehidupan masyarakat pun ikut berubah. Dengan adanya
perubahan tersebut, maka tidak menutup kemungkinan bahwa aturan / norma
terdahulu tidak lagi sesuai dengan fenomena kehidupan. Dalam tahap
inilah konflik mulai muncul. Tetapi kemudian dengan adanya konflik
tersebut akan memunculkan suatu kesepakatan baru (dalam hal ini norma
baru) yang nantinya menjadi salah satu faktor pengubah kehidupan
bermasyarakat, dan seterusnya.
Analisis dan Aplikasi Relational Dialectics Theory
Hubungan
adalah suatu koordinasi dan tercipta lewat proses dialog, maka
Komunikasi Antar Persona bukan hanya sekedar komunikasi, namun juga
butuh pemahaman dan tujuan. Jika seseorang tidak dapat menjelaskan orang
lain dalam perannya, maka pada teori ini diasumsikan bahwa mereka tidak
mempunyai hubungan.
Contoh:
Pasangan yang sedang mengalami konflik, ada kalanya mereka tidak dapat
menafsirkan hubungan apa yang sedang mereka jalani. Karena bukan hanya
sekedar teman, namun juga karena masalah yang mereka miliki, mereka
enggan mengakui bahwa mereka adalah pasangan.
Kontradiksi
adalah konsep sentral relasional dialektika. Kontradiksi merujuk kepada
interaksi dinamis antara oposisi dan membentuk kesatuan yang
kecenderungan saling bergantung (dialektis prinsip kesatuan) belum
saling meniadakan satu sama lain (prinsip dialektika negasi).
Dari
perspektif dialektika relasional, ikatan terjadi dalam saling
ketergantungan dengan yang lain dan kemerdekaan dari lainnya. Tanpa
salah satu dari itu, hubungan bisa berkurang intensitasnya.
Ketegangan dialektikal dalam berelasi (secara pribadi dan komunitas)
Dialektikal Internal (personal): ketegangan/ kontradiksi yang muncul dari dan dibangun oleh komunikasi dan ada 3 kontradiksi dalam hal ini:
1. Keterkaitan dan Keterpisahan: seseorang
yang memiliki keinginan untuk berdekatan atau menjauh dari orang
terdekat. Hal ini menjadi ciri yang unik dalam teori komunikasi ini
karena keterkaitan dan keterpisahan adalah sesuatu yang konstan dalam
kehidupan berelasi. Berelasi akan tetap terjaga bila salah satu dari
pasangan mau mengorbankan urusan otonomi pribadinya, namun bila hubungan
yang berlawanan asas terjadi berlebihan akan menghancurkan hubungan
tersebut karena ada yang akan kehilangan identitas pribadinya.
2. Kepastian dan Ketidakpastian: seseorang
memiliki kenyamanan pada sesuatu yang pasti dan menjauhi ketidakpastian
ketika sejalan dengan perkembangan hubungan mereka. Jadi akan ada
kebutuhan yang saling kontradiksi antara rutinitas dan spontanitas.
3. Keterbukaan dan Ketertutupan: seseorang
ingin menceritakan segalanya namun di halangi oleh keinginan akan
privasi. Keterbukaan adalah hubungan relasi yang ideal.
Kontradiksi ini berfokus pada semua informasi personal dan juga pada perlindungan untuk diri sendiri dalam berkomunikasi.
Cara mengelola ketegangan antara terbuka dan tertutup:
1. Pemilihan topik : yang tabu/tidak mau dibahas.
2. Pengubahan waktu : menyediakan waktu untuk membicarakan topik sensitif.
3. Penarikan diri : menghentikan pembicaraan.
4. Penyelidikan : menanyakan informasi lebih lanjut.
5. Strategi anti sosial : ekspresi diri : teriak, nangis, cemberut sebagai komunikasi anti sosial
6. Kebohongan
: penyimpangan dari sebuah kebenaran/ menghilangkan fakta untuk membuat
beberapa hal privat tidak dibicarakan dan untuk menghindari konflik
dalam hubungan tsb.
Dialektikal
eksternal (komunitas) : ketegangan yang muncul dari tempat suatu
hubungan didalam suatu budaya dan dalam berhubungan dengan rekan kerja,
hubungan sosial dan komunitas yang lebih besar, kita juga mengalami
ketegangan yang sejajar dengan dialektikal internal.
Ada 3 kontradiksi yang paralel dengan kontradiksi dalam Dialektikal Internal:
1. Penerimaan
dan Pengasingan : Dibentuk melalui ketegangan yang muncul antara
berhubungan privat (pribadi) dan kehidupan publik. Contoh : dalam
wilayah publik, persahabatan diterima dalam hubungan privat, tapi dalam
hubungan persahabatan di tempat kerja dapat menimbulkan umpan balik yang
negatif (dicurigai) dari rekan kerja lain. Orang yang terkenal
(politikus, artis, selebritas) hidup dalam penerimaan kehidupan publik
dan juga memiliki kehidupan privat yang kadang kala tidak diterima oleh
publik. Penerimaan dan Pengasingan ini dapat dipisahkan tapi tetap bisa
saling terkait dalam berbagai cara.
2. Yang
Biasa dan Yang Unik : Dibentuk melalui ketidaknyamanan publik pada
sesuatu yang unik apalagi yang berlebihan. Hal ini membentuk publik
untuk tidak terlalu antusias dengan inovasi bahkan ada yang menganggap
aneh.
Contoh : dalam film Children of the Lesser God,
menunjukkan keunikan hubungan yang dianggap aneh, karena dalam film ini
tokoh yang normal berprofesi pengajar menjalin kasih dengan buruh yang
bisu-tuli. Publik menganggap mereka bukan pasangan yang pas, cocok.
Kontradiksi dari kedua hal ini selalu berlangsung.
3. Membuka
dan Menutup Rahasia: dibentuk melalui perbedaan antara hubungan yang
ideal dengan yang dijalani, dalam hal ini melibatkan adanya keterbukaan
pertukaran pikiran tapi bukan keterbukaan yang sempurna. Contoh: dalam
dunia PR yang selalu menyangkut peningkatan citra baik perusahaan
biasanya harus memberikan laporan fakta yang ada tapi tidak semua fakta
dibeberkan secara keseluruhan karena tujuan idealnya adalah untuk citra
baik tersebut. Namun dalam kenyataan kadang ada rahasia perusahaan yang
bocor ke publik. Cara praktis mengatasi ketegangan dialektikal.
Komunikasi
yang efektif dan jujur membicarakan tentang ketegangan ini dan
menyadari kenyataan dari kontradiksi yang muncul dapat membangun
hubungan relasi jangka panjang. Dalam teori ini membahas 8 cara
mengatasinya:
· Penyangkalan:
menanggapai satu sisi dari dialektikal dan mengesampingkan sisi yang
lain. Contoh: pasangan yang menggunakan strategi penyangkalan sering
tidak puas dengan cara mereka mengatasi ketegangan antara keterbukaan
dan ketertutupan. Disorientasi: membuat keputusan antara 2 hal yang
berlawan dan merujuk pada pemberian prioritas pada oposisi yang ada.
Contoh: bila memutuskan selalu dekat tiap saat dan tidak mengindahkan
kebutuhan lain (privasi).
· Perubahan Melingkar:
satu pilihan dari 2 hal yang berlawanan pada waktu tertentu dan saling
bergantian. Contoh: kakak beradik saat kecil merasa begitu dekat, saat
remaja merasa harus ada privasi dan indentitas masing-masing yang
berbeda, setelah dewasa kembali merasa dekat tapi hidup terpisah.
· Segmentasi: memisahkan beberapa hal untuk menekan bagian yang berlawanan.
Contoh: memisahkan hal yang akan mengakibatkan ketegangan dari tempat kerja akan terbawa bila dirumah.
· Keseimbangan: kompromi antara 2 hal yang bertentangan dan mencoba menenukan daerah yang seimbang yang menyenangkan kedua belah pihak
contoh: memutuskan untuk melakukan apa yang diinginkan masing-masing pihak demi mencapai kenyamanan dan kebahagiaan.
· Integrasi:
perpaduan dari dua hal yang berlawanan dengan secara bersamaan
menanggapi dan menentang ketegangan tanpa niat tertentu. Contoh:
meneladani kelanggengan hubungan pasutri yang sudah menikah puluhan
tahun.
· Rekalibrasi:
merubah dialektika yang ada dengan cara tertentu sehingga seperti tidak
memiliki arti yang bertentangan. Contoh : asal bisa didefinisikan ulang
apa yang dimaksud dengan keterbukaan dan ketertutupan akan membuat
hubungan lebih baik.
· Reafirmasi:
menetralkan dialektika dengan memberikan pengertian bahwa ketegangan
itu tidak bisa dihilangkan dan tidak perlu dikeluhkan melainkan disadari
keberadaannya dan penyebabnya. Contoh: keterbukaan dalam berkomunikasi
dan menyadari topik yang tabu untuk dibicarakan.
Teori
ini masih relatif baru / muda dan tidak menawarkan prediksi sebagai
solusi karena berelasi selalu berubah dan berkesinambungan. Hal ini
berbeda dengan teori tradisional biasanya mengusahakan adanya prediksi
dan pernyataan mengenai fenomena komunikasi.
Teori ini menyarankan:
· Alasan
yang mendasar bahwa hubungan yang erat tidak ditentukan oleh proses
aktivitas yang fluktuatif dan berprasangka buruk akan mempengaruhi
kegagalan berrelasi.
· Apresiasi
pada usaha untuk mempertahankan hubungan yang erat akan memperkuat
keteguhan hati untuk tidak menyerah pada saat terjadi ketegangan.
· Hidup
dengan menyadari akan adanya kontradiksi sebenarnya tidak menyusahkan,
ibarat belajar mengendarai sepeda pada awalnya akan menyenangkan apabila
sadar bahwa akan ada luka di sekujur tubuh yang menyakitkan karena
jatuh dari sepeda
* * *
TEORI PENETRASI SOSIAL
(Irwin Altman dan Dalmas Taylor)
Menjelaskan
secara umum bagaimana proses berhubungan dengan orang lain dimana
terjadi proses gradual yaitu semacam proses adaptasi diantara keduanya.
Kedua tokoh tersebut mengibaratkan manusia seperti bawang merah yang
terdiri dari beberapa layer. Layer tersebut berarti lapisan kepribadian.
1. Lapisan terluar: Apa yang diperlihatkan kepada public secara umum tanpa ditutup-tutupi
2. Lapisan semiprivate: Lapisan yang lebih dalam dr lapisan terluar. Tidak terbuka bagi umum, hanya terbuka bagi orang-orang terdekat
3. Lapisan private: Lapisan terdalam dimana terdapat nilai-nilai,konsep diri, konflik-konflik yang belum
terselesaikan, dan emosi yang terpendam. Lapisan ini tidak terlihat
dari luar oleh siapapun, termasuk orang terdekat sekalipun. Namun
lapisan ini paling berdampak bagi kehidupan seseorang
Kedekatan
kita terhadap seseorang dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi kita
terhadap lapisan-lapisan tersebut. Dengan membiarkan orang lain
melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian kita, berarti kita
membiarkan orang tersebut untuk lebih dekat dengan kita.
Taraf kedekatan berdasarkan perspektif penetrasi sosial
1. Kita
lebih cepat akrab jikan melakukan pertukaran pada lapisan terluar.
Semakin ke dalam kita melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang
akan kita hadapi akan semakin tebal dan sulit ditembus.
2. Keterbukaan
diri, bersifat timbal balik terutama saat awal hubungan. Pada awal
hubungan kedua belah pihak sangat antusias untuk membuka diri yang
berarti timbal balik. Semakin ke dalam, keterbukaan akan semakin lambat
dan tidak ada lagi timbal balik.
3. Penetrasi
cepat di awal tetapi semakin lambat ketika semakin masuk ke lapisan
dalam. Tidak ada istilah langsung akrab dalam sebuah hubungan, keakraban
membutuhkan waktu yang panjang. Dalam prosesnya, hubungan interpersonal
akan mudh runtuh sebelum mencapai tahap stabil dan sukses. Tetapi jika
mampu untuk melewati tahap ini, hubungan biasanya akan lebih stabil dan
bertahan lama.
* * *
TEORI ATRIBUSI
Teori
yang membahas upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang
lain dan kita. Proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik
orang lain dengan melihat perilakunya.
1. Atribusi kausalitas, Faktor eksternal (situasional) dan internal (personal). Menurut Harold Kelley, kausalitas eksternal dan internal memperhatikan:
a. konsensus, apakah orang lain bertindak sama seperti penanggap
b. konsistensi, apakah penanggap bertindak sama pada pada situasi yang lain
c. kekhasan, apakah orang tersebut bertindak yang sama pada situasi yang lain atau hanya pada situasi ini saja
Bila ketiga hal tersebut tinggi, maka orang tersebut melakukan kausalitas eksternal.
2. Atribusi kejujuran, Robert A. Baron dan Donn Byrne memperhatikan :
a. Sejauh
mana pernyataan orang itu menyimpang dari pendapat yang populer di
masyarakat. Semakin besar jarak antara pendapat orang tersebut dengan
pendapat umum, makin percaya kita bahwa orang tersebut jujur.
b. Sejauh mana orang itu mendapat keuntungan dari pernyataannya. Kita kurang percaya kejujuran yang menguntungkan pembicaranya.
* * *
Teori Kebutuhan Hubungan Interpersonal
Teori sistem dan komunikasi dalam hubungan
Salah
satu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai relational
communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Inti dari kerja ini
adalah asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal untuk membuat,
membina, dan mengubah hubungan dan bahwa hubungan pada gilirannya akan
mempengaruhi sifat komunikasi interpersonal.
Poin ini berdasar pada gagasan bahwa komunikasi sebagai interaksi yang
menciptakan struktur hubungan. Dalam keluarga misalnya, anggota individu
secara sendirian tidak membentuk sebuah sistem, tetapi ketika
berinteraksi antara satu dengan anggota lainnya, pola yang dihasilkan
memberi bentuk pada keluarga. Gagasan sistem yang penting ini secara
luas diadopsi dalam lapangan komunikasi. Proses dan bentuk merupakan dua sisi mata uang; saling menentukan satu sama lain.
Seorang
Antropolog Gregory Bateson adalah pendiri garis teori ini yang
selanjutnya dikenal dengan komunikasi relasional. Kerjanya mengarah pada
pengembangan dua proposisi mendasar pada mana kebanyakan teori
relasional masih bersandar. Pertama yaitu sifat mendua dari pesan:
setiap pertukaran interpersonal membawa dua pesan, pesan “report” dan
pesan “command”. Report message mengandung substansi atau isi
komunikasi, sedangkan command message membuat pernyataan mengenai
hubungan. Dua elemen ini selanjutnya dikenal sebagai “isi pesan” dan
“pesan hubungan”, atau “komunikasi” dan “metakomunikasi”.
Pesan
report menetapkan mengenai apa yang dikatakan, dan pesan command
menunjukkan hubungan diantara komunikator. Isi pesan sederhana seperti
“I love you” dapat dibawakan dalam berbagai cara, dimana masing-masing
mengatakan sesuatu secara berbeda mengenai hubungan. Frasa ini dapat
dikatakan dalam cara yang bersifat dominasi, submissive, pleading
(memohon), meragukan, atau mempercayakan. Isi pesannya sama, tetapi
pesan hubungan dapat berbeda pada tiap kasus.
Proposisi
kedua Bateson yaitu bahwa hubungan dapat dikarakterisasi dengan
komplementer atau simetris. Dalam hubungan yang komplementer, sebuah
bentuk perilaku diikuti oleh lawannya. Contoh, perilaku dominan seorang
partisipan memperoleh perilaku submissive dari partisipan lain. Dalam
symmetry, tindakan seseorang diikuti oleh jenis yang sama. Dominasi
ketemu dengan sifat dominan, atau submissif ketemu dengan submissif.
Disini
kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur
dalam sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis
hubungan yang mereka miliki. Sistem yang mengandung serangkaian pesan
submissif akan sangat berbeda dengan yang mengandung rangkaian pesan
yang besifat dominasi. Dan struktur pesan yang mencampur keduanya adalah
berbeda pula.
Meski
Bateson seorang pakar antropologi, gagasannya dengan cepat dibawa
kedalam psikiatri dan diterapkan pada hubungan patologis. Beberapa
peneliti komunikasi memanfaatkan kerja Bateson dan kelompoknya. Aubrey
Fisher, salah satu yang dikenal baik dari kelompok ini, sebagai pemimpin
teoritisi sistem. Dalam buku Perspectives on Human Communication dia menerapkan konsep sistem kedalam komunikasi.
* * *
TEORI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN
Uncertainty reduction theory atau teori pengurangan ketidakpastian, terkadang juga disebut initial interaction theory. Teori
ini diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun
1975. Tujuan mereka dalam mengkonstruksikan teori ini adalah untuk
menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian antara orang asing yang terikat dalam percakapan mereka
bersama.
Versi umum dari teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu: Cognitive dan behavioral.
· Cognitive uncertainty, merupakan tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.
· Behavioral uncertainty, dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.
Setiap
teori mempunyai asumsi yamg merefleksikan pandangan dari sang penemu.
Uncertainty Reduction Theory (URT) juga tanpa pengecualian. Teori ini
meliputi 7 asumsi:
1. Seseorang mengalami ketidakpastian dalam hubungan interpersonal
Asumsi
ini menjelaskan, dalam suatu hubungan interpersonal orang akan
merasakan ketidakpastian. Karena perbedaan harapan ada untuk memunculkan
interpersonal, itu alasan untuk mengakhiri ketidakpastian atau setiap
kegelisahan bertemu dengan orang lain.
2. Ketidakpastian adalah suatu keengganan, yang bisa membangkitkan stress
Asumsi
ini mengusulkan bahwa ketidakpastian adalah sebuah tingkatan
keengganan. Dengan kata lain, ini membawa sejumlah besar energi emosi
dan energi psikologi untuk ketidakpastian. Orang-orang yang baru bekerja
kadang-kadang mengalami stress seperti ini.
3. Ketika
orang asing bertemu, yang mereka perhatikan pertama kali adalah
mengenai pengurangan ketidakpastian atau menambah kemampuan
memprediksikan
Asumsi
ini menggarisbawahi bahwa uncertainty reduction theory berpendapat
bahwa ketika orang asing bertemu, ada 2 hal yang penting, yaitu:
pengurangan ketidakpastian & penambahan prediksi.
4. Komunikasi interpersonal adalah proses perkembangan yang terjadi melalui beberapa tahapan
Asumsi
ini mengusulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses
keterlibatan tingkat perkembangan. Menurut Berger dan Calabrese
kebanyakan orang memulai interaksi dari tahapan awal (entry phase), yang diartikan sebagai tingkat permulaan dari interaksi antara orang-orang yang tidak saling mengenal.
Tahapan
awal ini diatur oleh peraturan baik secara implisit maupun eksplisit
dan juga norma, contohnya ketika memberi respon baik ketika seseorang
menyapa. Individu kemudian memasuki tahap selanjutnya yang disebut
tahapan personal (personal phase) atau tingkatan ketika komunikasi barjalan secara spontan. Tahapan ketiga, yaitu tahapan keluar (exit phase), terjadi ketika setiap individu membuat keputusan apakah ia akan meneruskan interaksi dengan lawan bicaranya di masa depan.
5. Komunikasi interpersonal adalah pemaknaan pertama dari pengurangan ketidakpastian
Asumsi
ini menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah makna utama dari
pengurangan ketidakpastian. Karena kita telah mengidentifikasikan
komunikasi interpersonal sebagai fokus dari URT, maka asumsi ini tidak
lagi mengejutkan. Disini kita mencatat komunikasi interpersonal
memerlukan sejumlah prasyarat – di antaranya mendengarkan, memahami
respon non-verbal dan mengungkapkan kedalam bahasa.
6. Kuantitas dan sifat dasar dari informasi yang diberikan seseorang berubah setiap waktu
Asumsi
ini menggarisbawahi sifat dasar dari waktu. Ini juga berfokus kepada
fakta yaitu komunikasi interpersonal mengalami perkembangan. Sang penemu
mempercayai bahwa permulaan interaksi adalah elemen penting dari proses
perkembangan.
7. Memungkinkan untuk memprediksi prilaku seseorang dari sebuah penampilan
Asumsi
ini menunjukkan bahwa tingkah laku orang-orang dapat diprediksi dari
sebuah penampilan. Seorang pencetus teori dapat membawa pandangan yang
berbeda terhadap pekerjaan dari suatu konstruksi teori. Pandangan yang
berbeda ini disarankan oleh mereka untuk menggunakan ontologi,
epistomologi dan aksiologi yang berbeda dalam menjelaskan tingkah laku
komunikasi. Salah satu ontologi yang ada adalah covering laws, yang menganggap bahwa perilaku manusia diatur secara prinsip-pinsip umum yang berfungsi sebagai hukum sikap.
Walaupun masih ada pengecualian, kebanyakan orang berkelakuan sesuai dengan hukum ini. Tujuan covering law theory untuk menetapkan hukum-hukum yang akan menjelaskan bagaimana kita berkomunikasi. Covering law theories disusun untuk memindahkan pernyataan yang berupa prasangka untuk dibenarkan (atau axioms) ke pernyataan yang didapat dari kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi (atau theorems).