Rabu, 08 Juli 2015

KATA-KATA YANG BERUBAH ARTI

Oleh: Ajip Rosidi


Penyiar televisi yang berdiri di pinggir jalan itu berkata, "Mari kita tanya masyarakat, apakah mereka tahu siapa Menteri Pertahanan kita sekarang." Lalu dia mencegat orang yang lewat dan bertanya, apakah orang itu tahu siapa Menteri Pertahanan Republik Indonesia sekarang. Ketika ternyata orang yang ditanya itu menjawab tidak tahu, si penyiar berkata lagi, "Mari kita tanya masyarakat yang lain, apakah mereka tahu siapa Menteri Pertahanan kita sekarang."

Demikianlah dia berkata berkali-kali bahwa dia hendak bertanya kepada "masyarakat", tetapi yang dia tanya ternyata hanyalah orang yang kebetulan lewat di sana. Padahal menurut ilmu sosial "masyarakat" itu adalah komunitas manusia yang hidup di suatu tempat.

KBBI Pusat Bahasa edisi keempat (2008) menerangkan tentang "masyarakat" sebagai berikut: "sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama". Sedangkan Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (1994) menerangkan arti kata "masyarakat" sebagai berikut: "kumpulan individu yang menjalin kehidupan bersama sebagai satu kesatuan yang besar yang saling membutuhkan, memiliki ciri-ciri yang sama sebagai kelompok".

Jelas masyarakat itu selalu berati sejumlah orang, bukan orang seorang yang kebetulan lewat. Artinya penyiar televisi itu menggunakan kata "masyarakat" dengan arti yang salah, yaitu berlainan dengan yang diterangkan dalam Kamus. Tapi ternyata ia tidak sendiri. Penggunaan kata "masyarakat" untuk orang seorang yang berarti "orang banyak" atau "orang kebanyakan" atau "umum" tidak hanya digunakan oleh penyiar televisi itu saja. Dalam berita surat kabar dan percakapan sehari-hari perkataan "masyarakat" yang menunjuk kepada orang seorang itu sering kita baca dan dengar.

Dalam perkembangan setiap bahasa, memang selalu terjadi pergeseran arti kata-kata. Dalam bahasa Indonesia pun hal demikian sering terjadi. Kita catat kata "bapak" yang tadinya berarti hanya ayah yaitu laki-laki yang menjadi suami ibu kita dan kata "ibu" yang tadinya hanya berarti perempuan yang melahirkan kita, sekarang digunakan juga untuk menyebut laki-laki dan perempuan yang dianggap terhormat atau yang usianya telah lanjut, sebaya dengan ayah-ibu kita. Kata "rumah" yang tadinya hanya berupa kata benda tempat orang tinggal, sekarang menjadi kata kerja, sehingga muncul kata jadian "dirumahkan" yang artinya dipecat dari pekerjaan. Kata basah yang tadinya hanya digunakan untuk menyebut benda-benda yang kena air, sekarang timbul ungkapan "tempat yang basah" untuk menyebut kedudukan yang sama sekali tidak pernah kecipratan air. Dan banyak lagi.

Kenyataan itu hanya menunjukkan bahwa bahasa yang bersangkutan memang hidup. Arti-arti baru yang diberikan kepada kata-kata lama itu telah menambah kekayaan bahasa tersebut. Seharusnya semuanya itu tercatat dalam kamus-kamus yang fungsinya antara lain ialah "menyimpan" perbendaharaan kata dalam sesuatu bahasa. Karena bahasa terus hidup berkembang, maka kamus selalu ketinggalan dalam mencatatnya.

Yang menjadi masalah dalam bahasa Indonesia ialah karena para penyusun kamus sering hanya berdasarkan kamus yang sudah ada, atau berdasarkan daftar kata dan istilah yang sudah ada dan mengabaikan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, yang digunakan baik dalam pers cetak (surat kabar, majalah, jurnal), maupun dalam pers elektronik (radio, televisi, film dan lain-lain). Dengan demikian kamus yang dihasilkannya tidaklah mengandung kata-kata atau arti kata-kata yang baru. Kata-kata yang mendapat muatan arti baru dalam masyarakat tidak masuk ke dalamnya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, yang pada bagian akhirnya mencantumkan daftar referensi yang menjadi sumber pengambilan lemanya, sama sekali tidak menyebut nama surat kabar atau majalah, padahal dalam surat kabar dan majalah setiap hari muncul kata-kata dan istilah-istilah baru, ungkapan-ungkapan baru, atau kata-kata, istilah dan ungkapan lama yang diberi arti baru. Seharusnya kata-kata, istilah dan ungkapan baru itu, atau kata, istilah dan ungkapan lama yang diberi arti baru itu, dicatat dalam kamus.

Begitu juga tidak ada satu karya sastera atau pengarang pun yang disebut dalam KBBI. Padahal kebiasaan kamus bahasa lain, yang penting disebut ialah nama pengarang dan nama karya sastera yang pertama kali menggunakan perkataan tersebut.

Tak disangsikan lagi KBBI menjadi induk tempat orang-orang mencari keterangan tentang kata-kata bahasa Indonesia. Tapi karena referensinya tidak disebut nama surat kabar, majalah dan karya sastera maka kita menjadi sangsi apakah isinya mengikuti perkembangan bahasa Indonesia semaksimal mungkin.
----------

Setelah membaca dan mencoba untuk mengerti. Pada akhirnya hanya 14 karakter yang terucap, "Iya juga yaa..". Seketika itu langsung berlari ke ruang rak buku untuk melihat KBBI secara langsung, dan ternyata... Hemmm... (Anda lebih baik mencobanya sendiri).

Tidak ada komentar: