Rabu, 08 Juli 2015

ASPEK DASAR PENCAK SILAT SEBAGAI REPRESENTASI PERILAKU MANUSIA


Disusun oleh:
Aziz Muslim
Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran
Wisnuwarman


Dulu, Abah berpesan kepada saya, "Janganlah kamu hanya terpaku pada 'igel-igelan' saja, Tetapi harus paham sampai bisa 'ngigel'. Setelah bisa 'ngigel' selanjutnya kamu harus pandai 'ngigelan' dan diharapkan kemudian hari mampu NGIGELKEUN."
Abah juga menyampaikan beberapa pesan yang sarat dengan makna, diantaranya:
1. Batur arek urang enggeus (Orang lain baru mulai, kita sudah selesai)
2. Ulah sina nyerieun tapi sina ngartieun (Jangan untuk menyakiti, tapi untuk membuatnya mengerti)
3. Ulah siga indit tapi cicing, kudu sabalikna siga cicing tapi indit (Jangan seperti pergi tapi diam, tapi harus sebaliknya

Dari sana saya menyimpulkan bahwa Pencak Silat lebih dari sekedar bela diri dan olahraga semata. Tapi sarat dengan bimbingan pendidikan rohani serta mental spritual yang berguna bagi pelakunya. Aspek inilah yang sering kali tak kita sadari.

Mengejar prestasi dan penghargaan yang bersifat duniawi terus menjadi ambisi. Hal yang wajar, karena wujudnya yang nampak. Namun justru itulah yang terkadang berpotensi mencelakakan. Lupa akan makna yang sejati, poho titik iinditan, poho kana maksud jeung tujuan nu sabenerna. Jika kondisi ini tidak menjadi perhatian bersama, kekhawatiran para pendahulu kita yang menyatakan bahwa kelak anak cucu kita akan belajar budaya sendiri di negara lain mau tidak mau pasti terjadi. Kita (terutama) pesilat sudah seyogyanya perlu memastikan dan bersumpah untuk mengaplikasikan keempat aspek dasar pencak silat sebagai prinsip dasar berperilaku. Yang mana terdiri atas:

1. Olahraga
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Dzat yang menciptakan raga kita secara sempurna. Raga ini perlu dikembangkan, perlu diolah dan diasah kemampuannya. Hal tersebut dapat dengan mudah dibuktikan secara medis tentunya. Perbandingan antara manusia yang suka mengolah tubuhnya dan yang tidak atau jarang.

2. Kanuragan/Bela Diri
Secara epistimologis, kata 'bela' adalah kata kerja yang mempunyai lawan kata 'serang'. Hal itu membuktikan bahwa sudah terjadi kesalahan apabila pesilat dididik dan ditempa dengan maksud menyerang. Anda bisa temui dengan berkeliling berbagai perguruan Pencak Silat di pedalaman Indonesia atau bahasa lainnya adalah perguruan-perguruan silat yang belum terkontaminasi oleh iklim kompetisi seperti sekarang ini. Termasuk saya pribadi, saat melakukan perjalanan itulah saya menemukan sebuah sistem latihan yang hampir seluruh jurus yang diajarkan adalah untuk menjawab pertanyaan, "Bagaimana cara untuk menghindar dan membalikan keadaan saat Anda diserang?", bukan "Bagaimana cara menyerang langsung lawan atau menyerang lawan terlebih dahulu?". Sesepuh di sana saat mengajarkan jurus, selalu meminta ada serangan yang masuk ke arahnya, lalu dia memberikan contoh bagaimana menghindar, membela diri, dan kemudian membalikan keadaan. Inilah makna bela diri yang sebenarnya, pelaku berada di posisi bertahan. Bertahan dari hal-hal jahat yang menyerangnya atau bahkan keluarga yang dicintainya. Ditinjau dari sejarah pula, Pencak silat hadir pada saat era penjajahan, yang mana membuktikan bahwa Pencak Silat sebagai Sistem Beladiri yang berfungsi untuk membalikan keadaan.

3. Seni Budaya
Pencak Silat dari sejarah Jawa Barat dan Indonesia tidak terlepas dari adanya iringan musik. Peneliti sekaligus praktisi Pencak Silat Tradisional Kang Gending Raspuzi dalam seminarnya di Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa 'Jurus Penca' yang diiringi dengan musik adalah atau disebut 'Ibing Penca'. Dari situ saya sadar bahwa terdapat fungsi lain dari pencak silat itu sendiri selain bela diri dan olahraga, yaitu silaturahmi. Ada seorang guru yang mengatakan kepada saya bahwa sebenarnya warga Jawa Barat sering menjadikan istilah Pencak Silat sebagai suatu kirata. Konon katanya, Pencak Silat itu bermakna yaitu "Pancakaki Silaturahmi". Sederhananya, Pencak Silat sebagai seni budaya dapat menjadi konten silaturahmi yang bisa dinikmati. Keberagaman aliran dan perspektif dapat dikemas dalam sebuah karya Ibing Penca yang berfungsi sebagai simbol daya kreasi dari berbagai perguruan itu sendiri. Keberagaman inilah yang membuat pencak silat kaya akan kearifan lokal dan sentuhan lingkungan serta sejarahnya. Tak asing apabila setelah tidak ada lagi yang mesti "dibela" (Baca era kekinian), timbul pertanyaan, "Apalagi yang harus dilatihkan agar siswa tidak jenuh dan bosan?". Salah satu cara terbaiknya adalah dengan berkesenian.

4. Pendidikan Mental Spiritual
Pengalaman di masa lalu memberikan pengaruh terhadap tindak tanduk manusia entah itu pola pikir maupun cara dia dalam mengambil suatu keputusan. Itu adalah teori yang timbul berdasarkan kesepakatan umum, pasti. Hal tersebut bisa digunakan sebagai jawaban terhadap perubahan arah pencak silat di era sekarang ini. Sesepuh di dunia persilatan yang memiliki pengalaman melawan penjajah, pasti memiliki berjuta pengalaman berharga dan menghasilkan berbagai warisan yang tak ternilai yaitu "mental spiritual". Seusai berlatih, Abah selalu bercerita tentang pengalamannya dengan sorotan mata bangga. Pasalnya, kata-katanya mencerminkan nilai-nilai patriotisme dab nasionalisme yang tinggi. Selain itu, kesusahan yang dulu pernah ia alami membuat dia lebih disiplin, bersabar, dan menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan-Nya. Memang benar, bahwa Sesepuh di dunia persilatan lebih cenderung berperan sebagai kyai atau dai yang memiliki kemampuan bela diri. Inilah nilai-nilai yang mesti kita sampaikan ke anak didik kita. Asep Sunandar Sunarya (Alm.) pernah berkata bahwa, "Leuheung keneh ari monyet ngagugulung kalapa mah, nu cilakamah lamun kalapa ngagugulung monyet!" Hal ini saya maknai sebagai lebih baik apabila kita terus mentransfer ilmu kita secara perlahan dan terus menerus walaupun memang perlu perjuangan hebat sampai kita melihat hasilnya. Biarkan anak didik kita terus berusaha juga menggali esensi yang sebenarnya walaupun itu sulit dan memakan waktu yang lama. Hal yang wajar sebab kita sedang mengupayakan sebuah hal yang abstrak yakni "mental". Banyak contoh di sekitar kita yang berubah secara mental menjadi taat beragama dan menjadi pribadi yang baik di usia tuanya. Pencak Silat sama halnya dengan wayang golek dan lainnya, sudah semestinya dijaga kelestariannya agar bisa terus berfungsi sebagai sarana atau wahana transfusi nilai-nilai yang membawa dampak positif bagi agama, bangsa, dan negara.

Keempat aspek dasar Pencak Silat di atas sudah seyogyanya tidak sebatas menjadi simbol dan pajangan saja. Namun, hal itu perlu kita kaji kembali demi memperjelas makna yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: