Kamis, 22 Mei 2014

Hasil Analisis Film Let Me In Dalam Perspektif Konsep Diri Kajian Psikologi Komunikasi




AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran


KONSEP DIRI SEBAGAI SEBUAH LITERATUR PRAKTIS DALAM PROSES PENGOPTIMALAN KUALITAS DIRI

Satu dari beberapa hal yang memiliki pengaruh penting dalam kejiwaan manusia adalah konsep diri. Selama otak manusia itu bekerja, itu akan memanfaatkan kemampuannya bermain nilai estetika dalam memberikan argumentasinya kepada orang lain. Namun, menurut Erving Goffman dalam Rakhmat (2012), ternyata manusia tidak selalu menanggapi orang lain; manusia juga secara tidak sadar berproses dalam mempersepsi dirinya sendiri. Mengutip dari yang disampaikan saudara Rendi Ermansyah pada tanggal 17 Mei 2014: Dengan terungkapkannya segenap informasi dari dalam diri seseorang (biasanya berbentuk komunikasi antarpribadi); manusia sudah memberikan setengah dari informasi yang sedang dia butuhkan. Sebut saja Asep memiliki permasalahan dalam kegiatan belajarnya di kampus. Dia secara sadar ingin berbagi informasi berupa permasalahannya tersebut pada teman yang ia percaya. Di dalam percakapan tersebut, Asep mengemukakan permasalahannya secara terperinci sehingga sampai pada sebuah titik yang secara tidak sadar membuat dia mengungkapkan berbagai alasan dari permasalahan yang dia hadapi. Itulah yang membuat temannya dapat memberikan solusi yang kemungkinan besar dapat diterima oleh Asep. Dengan demikian, temannya memiliki persepsi tertentu terhadapnya. Sehingga, Asep secara alami akan berusaha menyesuaikan dengan persepsi temannya.

Dari Jalaluddin Rakhmat, John Locke (1932-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep pengalaman adalah sang pemberi warna. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak memiliki “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku manusia lalu. Lalu apa kaitannya dengan konsep diri?

Konsep diri timbul dari pengalaman. Pengalaman berkomunikasi antarmanusia memiliki peranan penting dalam efektifnya proses perubahan nilai-nilai diri. Dari pengalaman-pengalaman hidup yang unik, manusia pun berusaha untuk membuat diri mereka unik. Ketika itulah manusia memulai untuk berbenah diri. Menurut Charles Horton Cooley (Rakhmat, 2012), manusia melakukan pembenahan diri dengan cara membayangkan dirinya sebagai orang lain; dalam benaknya sendiri. Di sana akan bermain persepsi diri kita terhadap pandangan orang lain. Jika diuraikan, terdapat tiga hal yang akan terjadi: Pertama, manusia akan membayangkan bagaimana keadaan dirinya untuk orang lain; manusia akan melihat dirinya sekilas seperti dihadapan sebuah cermin. Sehingga, dia akan mendefinisikan keadannya sesuai dengan referensi dalam memorinya. Kedua, manusia akan membayangkan bagaimana keadaan dirinya dari penilaian orang lain terhadapnya. Dalam kondisi ini, manusia akan berpikir bahwa orang lain mungkin suka/tidak suka terhadap keadaannya. Ketiga, kita merasakan bangga atau kecewa; bisa jadi merasa sedih atau malu (Vander Zanden,1975:79)

Dengan mengamati diri kita, sampailah kita terhadap gambaran dan penilaian diri kita (Rakhmat, 2012:98). Umar bin Khattab mengatakan, “Manusia yang mengenal siapa dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Inilah yang disebut dengan konsep diri. Sebuah kajian yang diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas diri. Karena, setelah manusia mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya, manusia akan menjadi semakin bijak dalam menentukan sikap yang berperan sebagai rujukannya dalam mencapai sesuatu yang dia inginkan.

Konsep diri tidak sesederhana yang kita pikirkan. Itulah yang menyebabkan ilmu psikologi komunikasi menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting guna mencapai efektifitas proses komunikasi. Menjadikan konsep diri sebagai aspek dari sistem komunikasi antarpribadi dalam kajian psikologi komunikasi.

Lalu, apa yang disebut konsep diri? Di dalam Rakhmat (2012: 98), William D Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai, “those physical, social,and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsinya bisa ditinjau dari perspektif psikologi, sosial, dan fisis. Maka, konsep diri meliputi apa yang manusia rasakan dan pikirkan tentang dirinya. Terdapat dua komponen dalam konsep diri: komponen kognitif dan afektif (Rakhmat, 2012: 99). Kognitif dalam hal ini memiliki makna pandangan berdasarkan referensi kita. Membuat sebuah penilaian yang melinatkan intervensi dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan afektif merupakan pandangan secara subjektif manusia tersebut terhadap permasalahan yang ia hadapi. Dalam ranah ini, intervensi lingkungan tidak berarti apa-apa. Jika komponen kognitif saya menyatakan bahwa, “Kulit gelap ini membuat saya terlihat kurang menarik.” Namun, setelah itu komponen afektif saya mengatakan, “Mungkin ini yang terbaik untuk saya. Tidak masalah, karena warna kulit bukanlah sebuah perkara yang perlu dipermasalahkan.” Atau dalam kondisi lain, komponen afektif saya mengatakan, “Sial, saya malu dengan kulit ini. Saya akan pastikan bahwa dengan terapi ini kulit saya akan menjadi lebih cerah.Hubungan antara komponen kognitif dan afektif sangat dinamis. Hal tersebut menyesuaikan dengan situasi kejiwaan manusia tersebut, apakah dalam kondisi bahagia maupun sedang sedih, itulah yang membuat komponen afektif menyesuaikan secara otomatis. Maka, psikologi sosial menyebutkan bahwa komponen kognitif merupakan istilah lain dari citra diri dan komponen afektif merupakan istilah lain dari harga diri. Citra diri dan harga diri memang sulit untuk dibedakan karena memiliki beberapa karakteristik yang bertumpang tindih satu sama lain, seperti kredibilitas. Namun, kita dapat membedakannya dengan memperhatikan sifat dari kedua komponen tersebut saat proses pengimplementasiannya. Jika citra diri lebih cenderung kepada penilaian awal yang bersifat lebih objektif, harga diri muncul sebagai pembela maupun peneguh citra diri manusia tersebut. Sehingga, para pembicara dalam seminar motivasi berkata, “Sikap Anda yang menentukan ingin dicap sebagai apa Anda di mata orang lain.” Walaupun kognisi kita sadar bahwa itu kurang tepat dengan norma (misalnya), namun kita lebih cenderung mendengarkan komponen afeksi kita.

ANALISIS FILM LET ME IN BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSEP DIRI

Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Di sini kita mempunyai dua tokoh yaitu Owen dan Abby. Owen merupakan anak laki-laki yang memiliki fisik yang lemah. Sehingga membuat dia kurang merasa kurang percaya diri saat berada di kelas. Kaitannya dengan konsep diri adalah lingkunganlah yang membuat Owen memiliki kepribadian unik. Di lingkungan rumah, Owen dihadapkan dengan suasana yang penuh dengan tekanan-tekanan: orang tua yang bercerai dan seringkali bertengkar, sehingga Owen harus menyaksikan ibunya menangis secara langsung; tetangganya pun memberikan kode-kode visual yang saya rasa tidak pantas untuk dilihat oleh anak seumur 12 tahun seperti Owen; faktor lainnya adalah kondisi fisik lingkungan: cuaca dingin membuat tekanan diri Owen semakin kelam pula; di kelas, Owen sering kali menjadi bahan ejekan, cacian, bahkan siksaan fisik oleh rekan kelasnya. Sehingga, hati kecil Owen merasa tertekan dan ingin sekali untuk merubah keadaan. Namun, apa daya kondisi fisiknya yang ia sendiri sadari tidak mungkin untuk melawan.

Cukup menarik jika berbagai masalah yang di atas kita rujuk kepada faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Memang, jika menalar apa yang telah disampaikan Rakhmat (2012), walaupun kita telah mengetahui kapabilitas diri kita berdasarkan asumsi pribadi secara subjektif, namun ternyata  orang lain juga memiliki peranan penting dan sangat berpengaruh dalam persepsi diri kita. Dengan demikian, persepsi diri yang semula akan berubah setelah jiwa manusia itu mempertimbangkan nilai positif dan negatif dari pandangan orang lain pada dirinya. Jika pandangan orang lain kepada dirinya dalam hal yang positif, maka ia akan mempertahankannya. Namun sebaliknya, jika pandangan orang lain negatif kepadanya, ia akan berusaha membuktikan bahwa ia akan lebih baik daripada yang dipersepsikan orang lain. Walaupun, tidak semua pengeluaran sifatnya seperti itu. Karena, ada beberapa orang yang justru kepercayaan dirinya semakin jatuh saat orang lain mempersepsikan nilai-nilai negatif kepadanya.

Owen merasa bosan dengan penderitaan itu. Sehingga ia mengalami tekanan jiwa yang mengarahkannya ke arah balas dendam. Namun, itu tersaring oleh keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan, seperti yang sejak awal saya tuturkan. Itu nampak pada ketertarikan dia pada senjata-senjata tajam. Ia melampiaskan setiap amarah dan tekanan jiwa dalam dirinya pada sebuah pohon dengan cara menusuk-nusukan pisau yang telah ia beli secara sembunyi-sembunyi. Owen tidak bisa menerima dirinya, sekaligus menyiasati bagaimana ia mengoptimalisasi dirinya.

Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Dikuatkan oleh penelitian dari Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956): Penilaian orang lain terhadap diri kita terdiri atas nilai kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain kepada dirinya. Dari penelitian ini ditariklah suatu kesimpulan yang cukup menarik yaitu, orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan penilaian positif yang lebih tinggi kepada dirinya sendiri.

Karakter Owen yang bersifat bersebrangan muncul ketika ia berjumpa dengan Abby. Owen merasakan sebuah kenyamanan dari seorang teman. Berbincang, bertukar informasi, saling menguatkan, bahkan Abby memanipulasi pola pikir Owen dengan cara mengajaknya untuk bangkit dalam arti melupakan berbagai kekurangan dalam dirinya. Pada saat itulah, Owen mulai bisa menerima dirinya walaupun belum optimal.

Hanya Abby yang mampu mengubah Owen. Pertanyaannya adalah mengapa bukan teman-temannya di kelas yang seringkali ia jumpai bahkan mengapa ibunya pun tidak mendapatkan kepercayaan untuk menjadi tempat menampung curahan hatinya dan menjadi orang yang mampu membantu menyelesaikan permasalahannya. Itu disebabkan karena tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita (Rakhmat, 2012: 100). Maka, George Herbert Mead (1934) menyebut mereka yang berpengaruh terhadap diri kita itu dengan istilah significant others ─ orang lain yang sangat penting. Lantas, bagaimana mungkin seorang ibu menjadi tidak penting bagi dirinya? Ibunya tetap penting bagi Owen, namun tidak dalam permasalahan ini. Seseorang yang sangat penting bagi Owen adalah Abby, tetangganya. Hal ini memiliki relevansi dengan penjelasan teori dari Mead, bahwasanya orang yang sangat penting bagi diri kita adalah orang tua kita, saudara-saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Namun, Mead tidak menyebutkan kekasih di dalamnya. Padahal, kekasih sering kali menjadi seseorang yang kita lebih percayai untuk menjadi tempat mencurahkan isi hati dalam berbagai kondisi dan situasi tertentu. Kemudian, Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamai hal serupa dengan istilah affective others ─ orsang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Bahkan, Dewey dan Humber menyertakan kesimpulan bahwa dari merekalah kita membentuk konsep diri kita. Owen memiliki rasa tanggungjawab atas kebahagiaan Abby. Dia merasa berhutang budi kepada Abby. Owen merasa dirinya semakin membaik setelah berjumpa dengan Abby.

Di atas, saya telah menyinggung bahwa keadaan lingkungan pulalah yang membuat kepribadian Owen itu unik. Itu disebabkan pula oleh kelompok yang ia rujuk sebagai landasan kepribadiannya. Kita analogikan kehidupan bertetangganya sebagai kegiatan berkelompok. Tidak ada teman sebaya yang menemani Owen sebelum kedatangan Abby. Alhasil, Owen merujuk kepribadiannya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Owen pun berbicara sendiri. Melakukan segalanya sendiri, tanpa ada interaksi positif dengan satu pun kawan yang ia jumpai di sekolah dan daerah dekat tempat tinggalnya.

Analisis ini didasari oleh teori-teori konsep diri yang merupakan bagian dari sistem komunikasi interpersonal. Film ini secara tidak langsung telah membukakan mata kita untuk senantiasa membuka daya nalar kita tentang siapa diri kita. Dengan menguasai ilmu konsep diri, kita akan mampu memilah secara bijaksana berbagai stimuli dari persepsi orang lain terhadap diri kita. Menampung terlebih dahulu segenap persepsi kemudian analisis pribadi tentang kekuatannya. Apakah masih ada celah bagi diri kita untuk menjadi seorang manusia yang lebih positif, atau justru semakin menjerumuskan kita kepada rasa penyesalan, dengki, dendam, dan sifat negatif lainnya akibat kita tidak bisa menerima diri kita.

REFERENSI

Dewey, R. dan W.J. Humber. (1967). An Introduction to Social Psychology. London: Collier-McMilan
Mead, M. (1928). Coming of Age in Samoa: A Pasychologycal Study of Primitive Youth for Civilization. New York.
Miyamoto, S.F. dan S.M. Dornbusch. (1956). A Text of Interactionist Hypotheses of Self-Conception. American Journal of  Sociology-61, 399-403.
Rakhmat, Jalaluddin.(2012). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sullivan, H.S. (1953). The Interpersonal Theory of  Psychiatry. New York: Norton.
Vander Zanden, J.W. (1977). Social Psychology. New York: Random House.




Tidak ada komentar: