AZIZ
MUSLIM
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Universitas
Padjadjaran
KONSEP DIRI SEBAGAI SEBUAH LITERATUR PRAKTIS DALAM PROSES PENGOPTIMALAN KUALITAS DIRI
Satu dari
beberapa hal yang memiliki pengaruh penting dalam kejiwaan manusia adalah
konsep diri. Selama otak manusia itu bekerja, itu akan memanfaatkan
kemampuannya bermain nilai estetika dalam memberikan argumentasinya kepada
orang lain. Namun, menurut Erving Goffman dalam Rakhmat (2012), ternyata manusia
tidak selalu menanggapi orang lain; manusia juga secara tidak sadar berproses
dalam mempersepsi dirinya sendiri. Mengutip dari yang disampaikan saudara Rendi
Ermansyah pada tanggal 17 Mei 2014: Dengan terungkapkannya segenap informasi
dari dalam diri seseorang (biasanya berbentuk komunikasi antarpribadi); manusia
sudah memberikan setengah dari informasi yang sedang dia butuhkan. Sebut saja
Asep memiliki permasalahan dalam kegiatan belajarnya di kampus. Dia secara
sadar ingin berbagi informasi berupa permasalahannya tersebut pada teman yang
ia percaya. Di dalam percakapan tersebut, Asep mengemukakan permasalahannya
secara terperinci sehingga sampai pada sebuah titik yang secara tidak sadar
membuat dia mengungkapkan berbagai alasan dari permasalahan yang dia hadapi.
Itulah yang membuat temannya dapat memberikan solusi yang kemungkinan besar
dapat diterima oleh Asep. Dengan demikian, temannya memiliki persepsi tertentu
terhadapnya. Sehingga, Asep secara alami akan berusaha menyesuaikan dengan
persepsi temannya.
Dari Jalaluddin
Rakhmat, John Locke (1932-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep
pengalaman adalah sang pemberi warna. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir
manusia tidak memiliki “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide
yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman.
Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan
tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi. Pikiran dan perasaan bukan
penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku manusia lalu. Lalu apa
kaitannya dengan konsep diri?
Konsep diri
timbul dari pengalaman. Pengalaman berkomunikasi antarmanusia memiliki peranan
penting dalam efektifnya proses perubahan nilai-nilai diri. Dari
pengalaman-pengalaman hidup yang unik, manusia pun berusaha untuk membuat diri
mereka unik. Ketika itulah manusia memulai untuk berbenah diri. Menurut Charles
Horton Cooley (Rakhmat, 2012), manusia melakukan pembenahan diri dengan cara
membayangkan dirinya sebagai orang lain; dalam benaknya sendiri. Di sana akan
bermain persepsi diri kita terhadap pandangan orang lain. Jika diuraikan, terdapat
tiga hal yang akan terjadi: Pertama, manusia akan membayangkan bagaimana
keadaan dirinya untuk orang lain; manusia akan melihat dirinya sekilas seperti
dihadapan sebuah cermin. Sehingga, dia akan mendefinisikan keadannya sesuai
dengan referensi dalam memorinya. Kedua, manusia akan membayangkan bagaimana
keadaan dirinya dari penilaian orang lain terhadapnya. Dalam kondisi ini,
manusia akan berpikir bahwa orang lain mungkin suka/tidak suka terhadap
keadaannya. Ketiga, kita merasakan bangga atau kecewa; bisa jadi merasa sedih
atau malu (Vander Zanden,1975:79)
Dengan mengamati
diri kita, sampailah kita terhadap gambaran dan penilaian diri kita (Rakhmat,
2012:98). Umar bin Khattab mengatakan, “Manusia yang mengenal siapa dirinya,
maka dia akan mengenal Tuhannya.” Inilah yang disebut dengan konsep diri.
Sebuah kajian yang diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas diri. Karena,
setelah manusia mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya,
manusia akan menjadi semakin bijak dalam menentukan sikap yang berperan sebagai
rujukannya dalam mencapai sesuatu yang dia inginkan.
Konsep diri
tidak sesederhana yang kita pikirkan. Itulah yang menyebabkan ilmu psikologi
komunikasi menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting guna mencapai
efektifitas proses komunikasi. Menjadikan konsep diri sebagai aspek dari sistem
komunikasi antarpribadi dalam kajian psikologi komunikasi.
Lalu, apa yang
disebut konsep diri? Di dalam Rakhmat (2012: 98), William D Brooks
mendefinisikan konsep diri sebagai, “those
physical, social,and psychological perceptions of ourselves that we have
derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep
diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsinya bisa
ditinjau dari perspektif psikologi, sosial, dan fisis. Maka, konsep diri meliputi
apa yang manusia rasakan dan pikirkan tentang dirinya. Terdapat dua komponen
dalam konsep diri: komponen kognitif dan afektif (Rakhmat, 2012: 99). Kognitif
dalam hal ini memiliki makna pandangan berdasarkan referensi kita. Membuat
sebuah penilaian yang melinatkan intervensi dari lingkungan sekitarnya.
Sedangkan afektif merupakan pandangan secara subjektif manusia tersebut
terhadap permasalahan yang ia hadapi. Dalam ranah ini, intervensi lingkungan
tidak berarti apa-apa. Jika komponen kognitif saya menyatakan bahwa, “Kulit
gelap ini membuat saya terlihat kurang menarik.” Namun, setelah itu komponen
afektif saya mengatakan, “Mungkin ini yang terbaik untuk saya. Tidak masalah,
karena warna kulit bukanlah sebuah perkara yang perlu dipermasalahkan.” Atau dalam
kondisi lain, komponen afektif saya mengatakan, “Sial, saya malu dengan kulit
ini. Saya akan pastikan bahwa dengan terapi ini kulit saya akan menjadi lebih
cerah.Hubungan antara komponen kognitif dan afektif sangat dinamis. Hal
tersebut menyesuaikan dengan situasi kejiwaan manusia tersebut, apakah dalam
kondisi bahagia maupun sedang sedih, itulah yang membuat komponen afektif
menyesuaikan secara otomatis. Maka, psikologi sosial menyebutkan bahwa komponen
kognitif merupakan istilah lain dari citra diri dan komponen afektif merupakan
istilah lain dari harga diri. Citra diri dan harga diri memang sulit untuk
dibedakan karena memiliki beberapa karakteristik yang bertumpang tindih satu
sama lain, seperti kredibilitas. Namun, kita dapat membedakannya dengan memperhatikan
sifat dari kedua komponen tersebut saat proses pengimplementasiannya. Jika
citra diri lebih cenderung kepada penilaian awal yang bersifat lebih objektif,
harga diri muncul sebagai pembela maupun peneguh citra diri manusia tersebut.
Sehingga, para pembicara dalam seminar motivasi berkata, “Sikap Anda yang
menentukan ingin dicap sebagai apa Anda di mata orang lain.” Walaupun kognisi
kita sadar bahwa itu kurang tepat dengan norma (misalnya), namun kita lebih
cenderung mendengarkan komponen afeksi kita.
ANALISIS FILM LET ME IN BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSEP DIRI
Kita mengenal
diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Di sini kita mempunyai
dua tokoh yaitu Owen dan Abby. Owen merupakan anak laki-laki yang memiliki fisik
yang lemah. Sehingga membuat dia kurang merasa kurang percaya diri saat berada
di kelas. Kaitannya dengan konsep diri adalah lingkunganlah yang membuat Owen
memiliki kepribadian unik. Di lingkungan rumah, Owen dihadapkan dengan suasana
yang penuh dengan tekanan-tekanan: orang tua yang bercerai dan seringkali
bertengkar, sehingga Owen harus menyaksikan ibunya menangis secara langsung;
tetangganya pun memberikan kode-kode visual yang saya rasa tidak pantas untuk
dilihat oleh anak seumur 12 tahun seperti Owen; faktor lainnya adalah kondisi
fisik lingkungan: cuaca dingin membuat tekanan diri Owen semakin kelam pula; di
kelas, Owen sering kali menjadi bahan ejekan, cacian, bahkan siksaan fisik oleh
rekan kelasnya. Sehingga, hati kecil Owen merasa tertekan dan ingin sekali
untuk merubah keadaan. Namun, apa daya kondisi fisiknya yang ia sendiri sadari
tidak mungkin untuk melawan.
Cukup menarik
jika berbagai masalah yang di atas kita rujuk kepada faktor-faktor yang
mempengaruhi konsep diri. Memang, jika menalar apa yang telah disampaikan
Rakhmat (2012), walaupun kita telah mengetahui kapabilitas diri kita
berdasarkan asumsi pribadi secara subjektif, namun ternyata orang lain juga memiliki peranan penting dan
sangat berpengaruh dalam persepsi diri kita. Dengan demikian, persepsi diri
yang semula akan berubah setelah jiwa manusia itu mempertimbangkan nilai
positif dan negatif dari pandangan orang lain pada dirinya. Jika pandangan
orang lain kepada dirinya dalam hal yang positif, maka ia akan mempertahankannya.
Namun sebaliknya, jika pandangan orang lain negatif kepadanya, ia akan berusaha
membuktikan bahwa ia akan lebih baik daripada yang dipersepsikan orang lain.
Walaupun, tidak semua pengeluaran sifatnya seperti itu. Karena, ada beberapa
orang yang justru kepercayaan dirinya semakin jatuh saat orang lain
mempersepsikan nilai-nilai negatif kepadanya.
Owen merasa
bosan dengan penderitaan itu. Sehingga ia mengalami tekanan jiwa yang
mengarahkannya ke arah balas dendam. Namun, itu tersaring oleh keadaan fisiknya
yang tidak memungkinkan, seperti yang sejak awal saya tuturkan. Itu nampak pada
ketertarikan dia pada senjata-senjata tajam. Ia melampiaskan setiap amarah dan
tekanan jiwa dalam dirinya pada sebuah pohon dengan cara menusuk-nusukan pisau
yang telah ia beli secara sembunyi-sembunyi. Owen tidak bisa menerima dirinya,
sekaligus menyiasati bagaimana ia mengoptimalisasi dirinya.
Harry Stack
Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan
disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati
dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita,
menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi
diri kita. Dikuatkan oleh penelitian dari Frank Miyamoto dan Sanford M.
Dornbusch (1956): Penilaian orang lain terhadap diri kita terdiri atas nilai
kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain kepada
dirinya. Dari penelitian ini ditariklah suatu kesimpulan yang cukup menarik
yaitu, orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan
penilaian positif yang lebih tinggi kepada dirinya sendiri.
Karakter Owen
yang bersifat bersebrangan muncul ketika ia berjumpa dengan Abby. Owen
merasakan sebuah kenyamanan dari seorang teman. Berbincang, bertukar informasi,
saling menguatkan, bahkan Abby memanipulasi pola pikir Owen dengan cara
mengajaknya untuk bangkit dalam arti melupakan berbagai kekurangan dalam
dirinya. Pada saat itulah, Owen mulai bisa menerima dirinya walaupun belum
optimal.
Hanya Abby yang
mampu mengubah Owen. Pertanyaannya adalah mengapa bukan teman-temannya di kelas
yang seringkali ia jumpai bahkan mengapa ibunya pun tidak mendapatkan
kepercayaan untuk menjadi tempat menampung curahan hatinya dan menjadi orang
yang mampu membantu menyelesaikan permasalahannya. Itu disebabkan karena tidak
semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita (Rakhmat,
2012: 100). Maka, George Herbert Mead (1934) menyebut mereka yang berpengaruh
terhadap diri kita itu dengan istilah significant
others ─ orang lain yang sangat penting. Lantas, bagaimana mungkin seorang
ibu menjadi tidak penting bagi dirinya? Ibunya tetap penting bagi Owen, namun
tidak dalam permasalahan ini. Seseorang yang sangat penting bagi Owen adalah
Abby, tetangganya. Hal ini memiliki relevansi dengan penjelasan teori dari
Mead, bahwasanya orang yang sangat penting bagi diri kita adalah orang tua
kita, saudara-saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan
kita. Namun, Mead tidak menyebutkan kekasih di dalamnya. Padahal, kekasih
sering kali menjadi seseorang yang kita lebih percayai untuk menjadi tempat
mencurahkan isi hati dalam berbagai kondisi dan situasi tertentu. Kemudian,
Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamai hal serupa dengan istilah affective others ─ orsang lain yang
dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Bahkan, Dewey dan Humber
menyertakan kesimpulan bahwa dari merekalah kita membentuk konsep diri kita.
Owen memiliki rasa tanggungjawab atas kebahagiaan Abby. Dia merasa berhutang
budi kepada Abby. Owen merasa dirinya semakin membaik setelah berjumpa dengan
Abby.
Di atas, saya
telah menyinggung bahwa keadaan lingkungan pulalah yang membuat kepribadian
Owen itu unik. Itu disebabkan pula oleh kelompok yang ia rujuk sebagai landasan
kepribadiannya. Kita analogikan kehidupan bertetangganya sebagai kegiatan
berkelompok. Tidak ada teman sebaya yang menemani Owen sebelum kedatangan Abby.
Alhasil, Owen merujuk kepribadiannya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri
kelompoknya. Owen pun berbicara sendiri. Melakukan segalanya sendiri, tanpa ada
interaksi positif dengan satu pun kawan yang ia jumpai di sekolah dan daerah
dekat tempat tinggalnya.
Analisis ini
didasari oleh teori-teori konsep diri yang merupakan bagian dari sistem
komunikasi interpersonal. Film ini secara tidak langsung telah membukakan mata
kita untuk senantiasa membuka daya nalar kita tentang siapa diri kita. Dengan
menguasai ilmu konsep diri, kita akan mampu memilah secara bijaksana berbagai
stimuli dari persepsi orang lain terhadap diri kita. Menampung terlebih dahulu
segenap persepsi kemudian analisis pribadi tentang kekuatannya. Apakah masih
ada celah bagi diri kita untuk menjadi seorang manusia yang lebih positif, atau
justru semakin menjerumuskan kita kepada rasa penyesalan, dengki, dendam, dan
sifat negatif lainnya akibat kita tidak bisa menerima diri kita.
REFERENSI
Dewey, R. dan W.J.
Humber. (1967). An Introduction to Social
Psychology. London: Collier-McMilan
Mead, M. (1928). Coming of Age in Samoa: A Pasychologycal
Study of Primitive Youth for Civilization. New York.
Miyamoto, S.F. dan S.M.
Dornbusch. (1956). A Text of
Interactionist Hypotheses of Self-Conception. American Journal of Sociology-61, 399-403.
Rakhmat,
Jalaluddin.(2012). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sullivan, H.S. (1953). The Interpersonal Theory of Psychiatry. New York: Norton.
Vander Zanden,
J.W. (1977). Social Psychology. New
York: Random House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar