LAPORAN KUNJUNGAN KE OBJEK WISATA
SITU DAN CANDI CANGKUANG
Leles-Garut, 23 Mei 2014
AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran
Fotografi
memang layak untuk dinikmati. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai fotografi
menurut perspektif saya. Semuanya bisa terabadikan dengan teknologi pengabadian
momen ini. Saya mendapatkan pencerahan mengenai kegunaan fotografi saat
mengikuti kelas fotografi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
pada semester dua. Fill in, foreground
and background, patttern, texture, color, dan komposisi-komposisi dalam
fotografi telah dosen kami ajarkan. Namun, langkah selanjutnya adalah terserah
saya. Saya memiliki hak untuk memilih gaya saya ketika melukis dengan cahaya.
Karena, fotografi merupakan suatu seni. Dan seni bukanlah sesuatu yang caklek
harus begitu, namun juga menyesuaikan dengan karakter seseorang. Itulah yang
membuat fotografi berkembang pesat sampai saat ini.
Mengingat
ujian akhir semester akan segera kami hadapi, dosen kami menugaskan untuk mulai
terjun ke lapangan. Saya rasa cukup mempelajari berbagai teori di dalam kelas,
sekarang saatnya mengimplementasikan ilmu yang telah diajarkan. Itu perkiraan
saya tentang isi hati dosen fotografi kami. Kami mendapatkan tugas untuk
memotret dan mengabadikan momen-momen yang berbau dengan kebudayaan. Saya
sempat sedikit bingung terkait tugas yang diberikan. Apa yang harus saya
potret? Namun, setelah saya merenung, saya pun sadar bahwa saya lebih kuat dan
lebih cerdas dari yang terpikirkan sebelumnya. Akhirnya, saya pun bangkit dan
memandang alam dengan khidmat. Berbagai ide pun muncul pada suasana ini. Saya
pun akhirnya menemukan jalan keluar.
Ternyata,
ide awal saya tergantikan saat Hani, Shandra, dan Bintang mengajak saya untuk
bertamasya. Pada mulanya, saya diajak untuk bertamasya ke Bandung. Namun, saya
mengusulkan untuk ke Garut dengan ngabibitaan mereka dengan informasi
terkait Situ Cangkuang yang saya ketahui sebelumnya. Akhirnya, mereka pun
menyetujui rencana perjalanan saya.
Lusa
dari ditetapkannya lokasi, tepatnya pada tanggal 23 Mei 2014, kami berangkat ke
Garut dari Jatinangor pukul 08.30 WIB dengan menggunakan dua sepeda motor. Kami
tiba di lokasi tepat pada pukul 10.00 WIB. Dengan membayar tiket senilai Rp
4000,00-, per orang, kami pun masuk ke area wisata dan langsung
menyiapkan kamera untuk memotret.
Situ
Cangkuang memiliki pemandangan yang eksotis. Hamparan air yang jernih serta
dibatasi oleh gunung-gunung yang menjulang perkasa, serta langit yang biru
diselingi awan-awan putih menyambut kehadiran kami. Ternyata, tidak hanya
kami----warga lokal yang mengunjungi objek wisata indah ini. Setelah kehadiran
kami, datanglah rombongan turis mancanegara ditemani pemandu-pemandunya. Ini
membuat kami semakin yakin dan bangga, bahwa kami harus mengabadikan seluruh
objek di sini guna mengenalkan dan menarik minat wisatawan lainnya untuk
mengunjungi objek wisata di Kabupaten Garut ini.
Tidak
hanya menikmati jernihnya air di situ yang memiliki kedalaman + 2 meter
ini, kami pun beranjak untuk melihat Candi Cangkuang dari dekat. Bapak perakit
itulah sebutan bagi mereka yang mengantar kami ke komplek Candi dengan
menggunakan rakit. Dengan tarif yang relatif murah, bahkan jika kita mau mengobrol
sebentar dengan beliau, kita akan mendapatkan tarif yang lebih murah dari
biasanya. Untuk perorangan, tarif dewasa adalah Rp 4000,00- PP. Sedangkan untuk
borongan (menyewa rakit untuk sendiri) seharga Rp 80.000,00,- PP.
Perakit-perakit ini dihimpun dalam Paguyuban Usaha Tukang Rakit (PUTRA)
Cangkuang. Paguyuban ini diketuai oleh Pak Usep dan Pak Taufik.
Untuk informasi mengenai sejarah candi Cangkuang, saya
mengutip langsung dari candi1001.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------
Sejarah
Candi Cangkuang Garut adalah sebuah candi Hindu yang berada di Kampung
Pulo, di desa cangkuang Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat.
Letak Candi Cangkuang ini cukup unik karena berada di sebuah puncak bukit kecil
yang dikelilingi oleh sebuah Situ atau Danau yaitu Situ Cangkuang.
Letak situs candi ini lebih tepatnya berada pada
koordinat Google Maps -7.101989 +107.919483. Melihat letaknya yang berada di
tengah danau, maka tentu untuk menuju ke situs ini kita akan memerlukan sebuah rakit
atau sampan. Situs ini berada pada jarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota
garut, dan bisa ditempuh dengan menggunakan jasa delman, ojek, atau bisa juga
dengan berjalan kaki.
Selain terdapat sebuah situs candi, di areal Candi
Cangkuang Garut ini juga terdapat sebuah makam kuno dari batu yang oleh
masyarakat sekitar disebut sebagai makam Embah Dalem Arief Muhammad yang
diyakini sebagai sesepuh pendiri daerah tersebut. Disamping itu, di kawasan
Kampung Pulo ini juga terdapat cagar budaya yang berupa pemukiman adat
masyarakat Kampung Pulo yang sampai saat ini masih terjaga dengan baik.
Sejarah Candi
Cangkuang Garut - Latar Belakang Ditemukannya
Asal muasal
nama Candi Cangkuang Garut diambil dari nama desa tempat di mana situs ini
berada. Cangkuang sendiri sebenarnya adalah sebuah nama pohon yaitu Pohon
Cangkuang. Pohon Cangkuang memang banyak ditemukan di daerah ini, dan ini yang
membuat desa ini disebut dengan nama Desa Cangkuang.
Sejarah Candi Cangkuang Garut diawali dari sebuah penemuan oleh seorang
Belanda bernama Vorderman, yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yaitu
Notulen Bataviach Genoot Schap. Buku notulen ini ditulisnya pada tahun 1893.
Dan dalam catatannya di buku ini Vorderman menyebutkan bahwa di bukit Kampung
Pulo di Desa Cangkuang telah ditemukan sebuah makam kuno dan sebuah arca Siwa
yang telah rusak.
Sebuah tim penelitian yang dipimpin oleh seorang ahli
purbakala bernama Drs.Uka Tjandrasasmita dan Prof. Harsoyo, pada tanggal 9
Desember 1966 telah menemukan kembali Candi Cangkuang yang telah lama hilang
terpendam.
Sejarah Candi Cangkuang Garut - Pemugaraan
Mulai dari penemuan awal itulah lalu dilakukan
penelitian yang lebih besar pada tahun 1967-1968. Penemuan pertama ini hanya
menemukan sebuah makam kuno yang diyakini sebagai makam Arief Muhammad seorang
pendiri desa itu. Disamping makam kuno ini juga ditemukan sebuah pondasi
berukuran 4,5 x 4.5 meter dengan batu-batu yang berserakan di sekitarnya. Oleh
masyarakat sekitar, batu-batu yang berserakan ini kerap kali diambil dan
dipakai sebagai batu nisan di makam mereka.
Pada tahun 1974 – 1976 dimulailah penggalian,
pemugaran, dan proses rekonstruksi secara total. Proses ini dimulai dengan
penggalian besar-besaran di areal itu. Dilanjutkan dengan mengumpulkan semua
reruntuhan dan mendatanya. Lalu terakhir dilakukan penataan dan pemasangan
kembali semua reruntuhan.
Dalam proses rekonstruksi ini telah berhasil
merekonstruksi kaki candi, badan candi, atap candi, dan sebuah patung Dewa
Siwa. Sayangnya dalam proses ini batu yang asli dari reruntuhan candi hanya
ditemukan sekitar 40% saja. Maka untuk merekonstruksi ulang bangunan candi,
digunakanlah batuan buatan. Dan akhirnya proses pemugaranpun selesai dan Candi
Cangkuang Garut akhirnya diresmikan pada tanggal 8 Desember 1976.
Sejarah Candi Cangkuang Garut
Candi Cangkuang Garut adalah sebuah candi peninggalan
Hindu yang diyakini berasal dari abad ke-8. Hal ini didasarkan pada beberapa
fakta. Yang pertama terlihat dari kesederhanaan bentuk candi yang sangat polos
tanpa relief. Pertimbangan kedua adalah dilihat dari tingkat kelapukan batunya.
Selain itu keberadaan Candi Cangkuang
Garut ini juga sangat penting karena diyakini sebagai sebuah penghubung
dari bagian mata rantai yang hilang antara beberapa penemuan yaitu Candi Jiwa
di Karawang, Candi Dieng di daerah Dieng Wonosobo, dan Candi Gedong Songo di
daerah Bandungan Ambarawa.
Sejarah Candi Cangkuang Garut – Arsitektur
Dari segi bentuk, candi ini sangat mirip dengan
penemuan candi di 3 tempat di atas. Luasnya sekitar 4,5 x 4,5 meter dengan
ketinggian mencapai 8,5 meter. Bangunan Candi Cangkuang Garut menghadap
ke arah timur yang ditandai dengan adanya sebuah tangga setinggi 1 meter yang
menuju sebuah pintu masuk.
Di candi ini kita tidak dapat menemukan hiasan relief
atau pahatan apapun. Di dalam candi terdapat sebuah ruangan seluas 2,2 m2, dan
ruangan ini memiliki ketinggian 3,38 meter. Di bagian tengah ruangan terdapat
sebuah patung Siwa setinggi 40 cm yang sedang duduk di atas Nandi (sapi) dengan
sebelah kaki dilipat.
Sejarah Candi Cangkuang Garut - Makam Kuno Di
Sampingnya
Satu hal yang sangat unik di situs ini adalah
ditemukan sebuah makam kuno Islam berada yang tepat di samping bangunan candi
cangkuang garut yang notabenenya merupakan candi Hindu. Makam tersebut kemudian
diketahui sebagai makam Arief Muhammad atau yang dikenal juga dengan Embah
Dalem Ariref Muhammad.
Arief Muhammad sendiri sebenarnya adalah seorang Senopati dari kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Beliau ini bersama dengan pasukannya mendapat tugas untuk menyerang tentara VOC di Batavia, namun ternyata beliau gagal mengalahkan VOC. Karena kalah, alih-alih pulang ke Yogyakarta beliau lalu malah menyingkir ke pedalaman tanah Priangan tepatnya di daerah Leles Garut.
Arief Muhammad sendiri sebenarnya adalah seorang Senopati dari kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Beliau ini bersama dengan pasukannya mendapat tugas untuk menyerang tentara VOC di Batavia, namun ternyata beliau gagal mengalahkan VOC. Karena kalah, alih-alih pulang ke Yogyakarta beliau lalu malah menyingkir ke pedalaman tanah Priangan tepatnya di daerah Leles Garut.
Di tempat ini beliau lalu menyebarkan agama Islam
kepada masyarakat sekitar yang sebelumnya telah memeluk agama Hindu. Di tempat
ini pula beliau bersama dengan masyarakat sekitar membendung dan membuat sebuah
danau yang diberi nama Situ Cangkuang. Daratan-daratan yang terbendung kemudian
terbentuk menjadi gundukan bikit atau pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu
diberi nama Pulau Panjang (tempat dimana Kampung Pulo berada), Pulau Masigit,
Pulau Wedus, Pulau Gede, Pulau Katanda, dan Pulau Leutik.
Sejarah Candi Cangkuang Garut - Toleransi Agama Dan
Inkulturasi Budaya
Arief Muhammad kemudian menetap dan menikahi wanita
setempat, dan memiliki 6 orang anak perempuan dan 1 laki-laki. Penyebaran agama
Islam yang dilakukannya sangat berhasi dan membuat penduduk sekitar memeluk
agama Islam. Hal ini terbukti dari beberapa penemuan selanjutnya yaitu:
- Kitab Suci Al Qu’ran terbuat dari kulit kayu atau Saih berukuran 24 cm x 33 cm.
- Naskah Khotbah Jum’at terbuat dari kulit kambing berukuran 23 cm x 176 cm.
- Kitab Ilmu Fiqih terbuat dari kulit kayu atau Saih berukuran 18,5 cm x 26 cm.
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa toleransi agama
dan inkulturasi budaya di daerah ini masih sangat kuat bahkan sampai dengan
saat ini. Hal ini terbukti dari letak makam Arief Muhammad seorang pemuka agama
Islam, yang berada tepat di sebelah sebuah candi agama Hindu.
Inkulturasi lain yang terjadi adalah masih
digunakannya aturan-aturan adat setempat walaupun masyarakatnya telah memeluk
agama Islam. Hal ini terrbukti dengan ditetapkannya hari Rabu sebagai hari
besar masyarakat setempat, bukannya hari Jum’at. Pada hari Rabu masyarakat
diwajibkan untuk hanya melakukan kegiatan keagamaan saja seperti mengaji,
mendengar ceramah agama, dan belajar agama Islam. Aturan adat yag berlaku, pada
hari Rabu orang dilarang berziarah di makam Arief Muhammad.
Keunikan Pemukiman Adat Kampung Pulo Candi Cangkuang
Pemukiman adat Kampung Pulo berada tepat di atas Pulau
Panjang di dekat situs Candi Cangkuang Garut. Pemukiman adat ini sangatlah
unik, karena hanya terdiri dari 6 rumah dengan 6 kepala keluarga. Pemukiman
Adat Kampung Pulo adalah sebuah perkampungan mini yang tersusun dari 3 rumah di
sebelah kanan dan 3 rumah di sebelah kiri yang saling berhadapan, ditambah
dengan sebuah masjid.
Keunikan lainnya yaitu jumlah kepala keluarga di
kampung ini tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika ada anggota keluarga
yang menikah, keluarga baru itu pun harus segera pergi meninggalkan kampung
adat tersebut dan diberi waktu paling lambat 2 minggu setelah pernikahan.
Keluarga baru itu hanya boleh kembali ke kampung jika di kampung adat tersebut
ada salah satu keluarga yang meninggal. Itu pun hanya anak wanita yang
diijinkan, dan harus ditentukan melalui pemilihan oleh warga setempat.
Keberadaan kampung adat dan situs sejarah candi
cangkuang garut di daerah ini merupakan salah satu bukti keberagaman dan
toleransi antar agama dan budaya yang sangat tinggi pada masa silam. Walaupun
hanya merupakan sebuah kampung kecil dengan sebuah situs candi kecil namun
situs budaya dan sejarah Candi Cangkuang Garut tetaplah sangat
menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan.
---------------------------------------------------------
Perjalanan
kami di komplek Candi Cangkuang akan kami paparkan dalam bentuk gambar. Selamat
menikmati...
KENALI,
CINTAI!!! BUDAYA INDONESIA, BUDAYA DUNIA!!!