Rabu, 03 September 2014

Mengenal Komunikasi Organisasi


AZIZ MUSLIM
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran


Tugas ini merupakan rangkuman buku Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan yang ditulis oleh R. Wayne Pace dan Don F. Faules halaman 1-22. Di dalam rangkuman ini akan terjawab tiga pertanyaan:
      1.      Apa itu komunikasi organisasi?
      2.      Bagaimana pandangan Pace dan Faules terhadap manusia?
      3.      Bagaimana pandangan Pace dan Faules terhadap organisasi?
      
      Apa itu Komunikasi Organisasi?

Sebuah literatur komunikasi organisasi harus mempertimbangkan setidaknya dua konsep dasar: organisasi dan komunikasi. Dengan demikian, studi komunikasi organisasi merupakan studi mengenai cara orang memandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri. Objek-objek tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan berorganisasi, misalnya manusia dan organisasi itu sendiri. Tentu saja kita memerlukan dua momen yang berbeda saat memelajari objek-objek tersebut. Ada kalanya kita menempatkan diri kita di sisi luar objek, namun juga dari dalam objek itu sendiri. Sehingga, kita akan mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan harapan awal.
Istilah “pengorganisasian” dan “organisasi” sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari, hal itu menjadi alasan mengapa orang-orang mengabaikan kerumitan berorganisasi. Padahal, untuk memahami hakikat berorganisasi tidak cukup dengan sekedar medefinisikan pengorganisasian, organisasi, dan komunikasi organisasi. Untuk memahaminya, perlu adanya pemahaman terkait realitas sosial, sifat manusia, dan organisasi. Ketiga hal tersebut merupakan pandangan-pandangan alternatif yang akan memandu pemahaman kita mengenai komunikasi organisasi dan pengimplementasiannya.
Di dalam buku ini, terdapat istilah objektif dan subjektif dalam merujuk suatu perkara. Penjelasan dari istilah objektif merujuk kepada pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata”. Lingkunganlah yang mendominasi serta menjadi sistem yang independen dari pengamat (perceiver)-nya. Sedangkan istilah “subjektif” menunjukan bahwa realitas itu sendiri merupakan suatu konstruksi sosial (sistem yang dapat berubah dan diubah). Pandangan “objektif“ mengasumsikan bahwa orang-orang dapat menjauhkan diri mereka dari bias-bias mereka dan bahwa “kebenaran” dapat ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penilaian. Semetara itu, pandangan “subjektif” mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan tidak mempunyai sifat yang “tidak dapat berubah”.

Pandangan-Pandangan Alternatif  yang dimaksud adalah:
     1.     Realitas Sosial
                  Pandangan ini mengenalkan kita kepada realitas sosial tepatnya petunjuk praktis dalam      memahami dunia sosial kita. Terdapat beberapa poin penting yang mendasari pandangan          ini:
1.      Orang-orang (dengan segala perbedaannya) berperilaku dengan cara berbeda pula pada sesuatu yang mereka anggap sebagai objek yang layak untuk diamati.
2.      Perbedaan-perbedaan tersebut didasari oleh pemikiran orang-orang tentang objek-objek tertentu.


Dalam pandangan ini, objek yang dimaksud adalah objek sosial: sekedar objek yang mempunyai makna bagi suatu kolektivitas atau menuntut tindakan dari manusia. Dalam pengertian ini, perilaku dan objek merupakan sebuah konstruksi sosial, karena manusialah yang memegang peranan penting dalam proses pembuatan perilaku dan objek itu signifikan. Dengan kata lain, besar atau kecil pengaruh objek sosial bergantung pada manusia yang memaknainya.

Asumsi ontologis mengenai realitas berdasarkan:
1.      Pendekatan Subjektif
a.   Realitas sebagai proyeksi imajinasi manusia
   Dunia sosial dianggap sebagai proyeksi dari kesadaran individu; ia merupakan suatu tindakan imajinasi kreatif dan kondisi intersubjektif yang meragukan. Dikatakan bahwa pikiran seseorang adalah dunia seseorang.
b.   Realitas sebagai suatu konstruksi sosial
Dunia sosial sebagai suatu proses yang berkesinambungan, dicipta ulang dalam setiap pertemuan (encounter) kehidupan sehari-hari ketika orang-orang menuntut diri mereka sendiri (di dunia mereka sendiri) untuk membentuk suatu wilayah definisi yang bermakna.
c.    Realitas sebagai wacana simbolik
Dunia sosial merupakan suatu pola hubungan dan makna simbolik yang ditopang oleh suatu proses tinfakan dan interaksi manusia. Pola tersebut selalu terbuka bagi reafirmasi atau perubahan melalui penafsiran dan tindakan individu.

2.      Pendekatan objektif
a.      Realitas sebagai bidang informasi kontekstual
   Dunia sosial adalah suatu bidang bentuk dan kegiatan yang selalu berubah berdasarkan tranmisi informasi. Bentuk kegiatan yang berlaku pada suatu saat tertentu mencerminkan suatu pola perbedaan yang ditopang oleh suatu cara tertentu pertukaran informasi.
b.     Realitas sebagai proses yang konkret
    Dunia sosial adalah suatu proses yang berkembang, yang sifatnya konkret, namun selalu berubah dalam bentuk rincinya. Segala sesuatu berinteraksi dengan segala sesuatu lainnya dan amat sulit untuk menemukan hubungan kausal yang tetap antara proses-proses utamanya.
c.      Realitas sebagai struktur konkret
     Dunia sosial adalah sesuatu “di luar sana” yang keras, konkret, dan nyata, yang mempengaruhi setiap orang yang mempengaruhi setiap orang dengan suatu cara. Dunia sosial dapat dianggap sebagai suatu struktur yang terdiri dari suatu jaringan hubungan tetap antara bagian-bagian pokoknya.

Mulai dari ujung “objektif” kontinum itu, perilaku adalah sangat ditentukan dan individu adalah benar-benar produk lingkungan. Menuju ujung “subjektif”, perilaku menjadi lebih “suka rela” dan manusia lebih cenderung merupakan faktor yang memutuskan bagaimana lingkungan eksternal dikonstruksi. Pandangan “objektif” yang ekstrem menunjukan bahwa manusia mengamati lingkungan mereka, menentukan mereka, menentukan makna, dan menggunakan bahasa sesuai dengan itu. Sedangkan pandangan “subjektif” menekankan penciptaan makna. Penman (1992) di dalam buku ini menyatakan bahwa, “pemahaman kita berasal dari proses penciptaan makna kita, bukan berasal dari pengalaman fisik atau pengamatan semata”. Berdasarkan pandangan ini pula, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Di dalam buku ini pula, Weick (1977) menyatakan bahwa alih-alih mengendalikan lingkungan kita, suatu perubahan pikiran mendorong individu untuk memperoleh pandangan lebih baik guna mengendalikan proses yang menghasilkan suatu lingkungan yang dimainkan dan proses penjulukan (labeling) yang terjadi setelah itu.
Seorang objektivis yang ekstrem memandang dunia sosial dengan cara yang sama ketika kita memikirkan dunia fisik dan alam, sebagai sesuatu yang konkret dan terpisah dari orang yang memandang dan menyentuh dunia. Seorang subjektivis yang ekstrem, sebaliknya, berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang eksis di luar pikiran orang yang bertindak dan mempersepsi, dan bahwa realitas adalah benar-benar suatu proses manusiawi yang memungkinkan kita menciptakan objek-objek fisik dalam pikiran kita dan memberikan tanggapan terhadap objek-objek tersebut, seakan-akan objek-objek tersebut eksis sebagai peristiwa-peristiwa alam.
Orang yang mendekati realitas secara objektif melihat realitas tersebut sebagai sesuatu yang konkret atau fisik dengan suatu struktur yang harus dan ditemukan. Sebaliknya, orang yang mendekati realitas secara subjektif memandang realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang-orang menciptakan apa yang ada “di luar sana”. Berdasarkan pandangan kaum itu, orang-orang menciptakan suatu keteraturan bahkan menemukan keteraturan objek-objek dunia, dan semua hal yang ada di dalamnya, pada dasarnya tidak terstruktur, atau sekurang-kurangnya berperilaku dengan cara-cara yang tidak memahami dirinya sendiri.

2.     Sifat Manusia
      Asumsi mengenai sifat manusia berdasarkan:
1.         Pendekatan Subjektif
a.    Manusia Sebagai Mahkluk Transendental
Manusia dipandang memunyai tujuan, mengarahkan energi psikis dan pengalamannya dengan cara-cara yang mewujudkan dunia dalam suatu bentuk yang bermakna dan bertujuan.
b.   Manusia Menciptakan Realitas
Manusia dianggap mampu menciptakan realitas mereka dengan cara-cara yang paling mendasar, dalam usaha untuk membuat dunia mereka dapat dijelaskan kepada mereka sendiri dan kepada orang-orang lainnya.
c.    Manusia Sebagai Aktor Sosial
Manusia adalah aktor sosial yang menafsirkan lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi mereka. Dalam proses ini manusia menggunakan bahasa, label, dan rutinitas untuk pengelolaan kesan, dan mode-mode lain tindakan yang spesifik secara kultural.

2.         Pendekatan Objektif
a.      Manusia Sebagai Pemroses Informasi
Manusia dianggap terlibat dalam suatu proses berkesinambungan interaksi dan pertukaran dengan konteks mereka: menerima, menafsirkan, dan bertindak berdasarkan informasi yang diterima, dan dengan demikian menciptakan suatu pola baru informasi yang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam bidang tersebut secara keseluruhan.
b.     Manusia Sebagai Agen yang Adaptif
Manusia eksis dalam hubungan yang interaktif dengan dunia mereka. Mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks atau lingkungan mereka.
c.      Manusia Sebagai Mekanisme yang Menanggapi
Manusia adalah suatu produk kekuatan eksternal dalam lingkungan yang melingkupi mereka. Meskipun persepsi manusia dapat mempengaruhi proses ini hingga derajat tertentu, manusia selalu memberikan tanggapan terhadap situasi dengan suatu cara yang berdasarkan hukum (berdasarkan aturan).

Pendekatan objektif sangat menekankan lingkungan sebagai suatu faktor penentu dalam menjelaskan perilaku manusia. Manusia dibentuk oleh lingkungan, dan keberhasilan serta kelangsungan hidup mereka bergantung pada seberapa baik mereka beradaptasi dengan realitas nyata. Pendekankan subjektif menekankan bahwa manusia punya peranan yang lebih aktif dan kreatif. Kreasi mereka sendiri bukanlah produk lingkungan, namun mereka menciptakan lingkungan tersebut.
Beralih ke tindakan manusia: berdasarkan pandangan kaum objektivis, tindakan itu bertujuan, intensional, goal-oriented, dan rasional. Mereka bertindak berdasarkan tujuan, mempertimbangkan konsekuensi tujuan mereka secara hati-hati. Teruntuk kaum subjektivis, tindakan muncul dari proses sosial dalam interaksi manusia. Fokusnya adalah perilaku yang berkembangan (emergent) yang bergantung pada konstruksi sosial yang terjadi selama proses interaksi. Kaum objektivis menyarankan bahwa manusia dapat diramalkan, selama kekuatan-kekuatan pokok keteraturan alamiah (natural order) dapat diuraikan. Tujuan utamanya adalah berperilaku secara rasional dan menentukan bagaimana orang-orang beradaptasi dengan situasi. Kaum subjektivis menekankan bahwa manusia menciptakan keteraturan dan situasi.

3.   ORGANISASI
                Pendekatan objektif menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik dan konkret, dan merupakan sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti. Sebagian orang menyebut pendekatan ini sebagai pandangan yang menganggap organisasi sebagai wadah (container view of organisations). Pendekatan subjektif memandang organisasi sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang. Organisasi diciptakan dan dipupuk melalui kontak-kontak yang terus menerus berubah yang dilakukan orang-orang antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak eksis secara terpisah dari orang-orang yang perilakunya membentuk organisasi tersebut.
        Berdasarkan pandangan objektif, organisasi berarti struktur; berdasarkan pandangan subjektif, organisasi berarti proses. “Organisasi” secara khas dianggap sebagai kata benda, sementara “pengorganisasian” dianggap sebagai kata kerja (Weick, 1979). Kaum objektivis menganggap organisasi sebagai struktur, sesuatu yang stabil. Kaum subjektivis menganggap organisasi sebagai mengorganisasikan perilaku.
         Alat yang digunakan untuk menggambarkan organisasi untuk memberikan pandangan serta pemahaman mengenai organisasi; alat tersebut merupakan alat deskriptif yang primer: metafora (kiasan). Morgan dan Smircich (1980) berpendapat bahwa teoretisimemilih metafora yang didasarkan atas asumsi-asumsi  mengenai realitas dan sifat manusia yang melibatkan mereka dalam jenis dan bentuk pengetahuan tertentu. Morgan kembali berpendapat bahwa suatu metafora didasarkan atas suatu kebenaran parsial, dan ekspresi metafora yang paling kreatif bergantung pada “kekeliruan konstruktif”, yang menekankan ciri-ciri tertentu. Keterlibatan utama dari gagasan ini, menurut Morgan, adalah bahwa, “Tidak ada metafora yang dapat menangkap sifat kehidupan organisasi secara total”, dan bahwa, “Metafora yang berbeda dapat menangkap sifat kehidupan organisasi dengan cara yang berbeda, setiap metafora menciptakan cara pandang yang kuat, khas, namun pada dasarnya parsial... Mengakui bahwa teori organisasi bersifat metafora adalah mengakui bahwa teori organisasi adalah suatu usaha yang pada dasarnya subjektif, yang berkaitan dengan produksi analisis satu sisi atas kehidupan organisasi”.
          Ingatlah bahwa di mana dan bagaimana manusia sesuai dengan teori organisasi akan bergantung pada pendekatan mana yang anda gunakan (lihat Morgan, 1986, mengenai metafora-metafora organisasi).

Tidak ada komentar: