AZIZ MUSLIM
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Universitas
Padjadjaran
Tugas ini merupakan
rangkuman buku Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan
yang ditulis oleh R. Wayne Pace dan Don F. Faules halaman 1-22. Di dalam
rangkuman ini akan terjawab tiga pertanyaan:
1.
Apa itu komunikasi organisasi?
2.
Bagaimana pandangan Pace dan Faules
terhadap manusia?
3.
Bagaimana pandangan Pace dan Faules
terhadap organisasi?
Apa itu Komunikasi Organisasi?
Sebuah literatur
komunikasi organisasi harus mempertimbangkan setidaknya dua konsep dasar:
organisasi dan komunikasi. Dengan demikian, studi komunikasi organisasi
merupakan studi mengenai cara orang memandang objek-objek, juga studi mengenai
objek-objek itu sendiri. Objek-objek tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan berorganisasi, misalnya manusia dan organisasi itu
sendiri. Tentu saja kita memerlukan dua momen yang berbeda saat memelajari
objek-objek tersebut. Ada kalanya kita menempatkan diri kita di sisi luar
objek, namun juga dari dalam objek itu sendiri. Sehingga, kita akan mendapatkan
kesimpulan yang sesuai dengan harapan awal.
Istilah
“pengorganisasian” dan “organisasi” sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari,
hal itu menjadi alasan mengapa orang-orang mengabaikan kerumitan berorganisasi.
Padahal, untuk memahami hakikat berorganisasi tidak cukup dengan sekedar
medefinisikan pengorganisasian, organisasi, dan komunikasi organisasi. Untuk
memahaminya, perlu adanya pemahaman terkait realitas
sosial, sifat manusia, dan organisasi. Ketiga hal tersebut merupakan
pandangan-pandangan alternatif yang akan memandu pemahaman kita mengenai
komunikasi organisasi dan pengimplementasiannya.
Di dalam buku ini,
terdapat istilah objektif dan subjektif dalam merujuk suatu perkara.
Penjelasan dari istilah objektif merujuk kepada pandangan bahwa objek-objek,
perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata”. Lingkunganlah
yang mendominasi serta menjadi sistem yang independen dari pengamat (perceiver)-nya. Sedangkan istilah
“subjektif” menunjukan bahwa realitas itu sendiri merupakan suatu konstruksi
sosial (sistem yang dapat berubah dan diubah). Pandangan “objektif“
mengasumsikan bahwa orang-orang dapat menjauhkan diri mereka dari bias-bias
mereka dan bahwa “kebenaran” dapat ditemukan bila kita dapat menyingkirkan
campur tangan manusia ketika melakukan penilaian. Semetara itu, pandangan
“subjektif” mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif
dan tidak mempunyai sifat yang “tidak dapat berubah”.
Pandangan-Pandangan Alternatif yang dimaksud adalah:
Pandangan-Pandangan Alternatif yang dimaksud adalah:
1. Realitas
Sosial
Pandangan
ini mengenalkan kita kepada realitas sosial tepatnya petunjuk praktis dalam memahami dunia sosial kita. Terdapat beberapa poin penting yang mendasari
pandangan ini:
1.
Orang-orang (dengan segala
perbedaannya) berperilaku dengan cara berbeda pula pada sesuatu yang mereka
anggap sebagai objek yang layak untuk diamati.
2.
Perbedaan-perbedaan tersebut didasari
oleh pemikiran orang-orang tentang objek-objek tertentu.
Dalam pandangan ini,
objek yang dimaksud adalah objek sosial: sekedar objek yang mempunyai makna
bagi suatu kolektivitas atau menuntut tindakan dari manusia. Dalam pengertian
ini, perilaku dan objek merupakan sebuah konstruksi sosial, karena manusialah
yang memegang peranan penting dalam proses pembuatan perilaku dan objek itu
signifikan. Dengan kata lain, besar atau kecil pengaruh objek sosial bergantung
pada manusia yang memaknainya.
Asumsi ontologis
mengenai realitas berdasarkan:
1. Pendekatan Subjektif
a.
Realitas
sebagai proyeksi imajinasi manusia
Dunia sosial dianggap sebagai proyeksi dari kesadaran
individu; ia merupakan suatu tindakan imajinasi kreatif dan kondisi
intersubjektif yang meragukan. Dikatakan bahwa pikiran seseorang adalah dunia seseorang.
b.
Realitas
sebagai suatu konstruksi sosial
Dunia sosial sebagai suatu proses yang
berkesinambungan, dicipta ulang dalam setiap pertemuan (encounter) kehidupan sehari-hari ketika orang-orang menuntut diri
mereka sendiri (di dunia mereka sendiri) untuk membentuk suatu wilayah definisi
yang bermakna.
c.
Realitas
sebagai wacana simbolik
Dunia sosial merupakan suatu pola
hubungan dan makna simbolik yang ditopang oleh suatu proses tinfakan dan
interaksi manusia. Pola tersebut selalu terbuka bagi reafirmasi atau perubahan
melalui penafsiran dan tindakan individu.
2. Pendekatan objektif
a.
Realitas
sebagai bidang informasi kontekstual
Dunia sosial adalah suatu bidang bentuk dan kegiatan yang
selalu berubah berdasarkan tranmisi informasi. Bentuk kegiatan yang berlaku
pada suatu saat tertentu mencerminkan suatu pola perbedaan yang ditopang oleh
suatu cara tertentu pertukaran informasi.
b.
Realitas
sebagai proses yang konkret
Dunia sosial adalah suatu proses yang berkembang, yang
sifatnya konkret, namun selalu berubah dalam bentuk rincinya. Segala sesuatu
berinteraksi dengan segala sesuatu lainnya dan amat sulit untuk menemukan
hubungan kausal yang tetap antara proses-proses utamanya.
c.
Realitas
sebagai struktur konkret
Dunia sosial adalah sesuatu “di luar sana” yang keras,
konkret, dan nyata, yang mempengaruhi setiap orang yang mempengaruhi setiap
orang dengan suatu cara. Dunia sosial dapat dianggap sebagai suatu struktur
yang terdiri dari suatu jaringan hubungan tetap antara bagian-bagian pokoknya.
Mulai
dari ujung “objektif” kontinum itu, perilaku adalah sangat ditentukan dan
individu adalah benar-benar produk lingkungan. Menuju ujung “subjektif”,
perilaku menjadi lebih “suka rela” dan manusia lebih cenderung merupakan faktor
yang memutuskan bagaimana lingkungan eksternal dikonstruksi. Pandangan
“objektif” yang ekstrem menunjukan bahwa manusia mengamati lingkungan mereka,
menentukan mereka, menentukan makna, dan menggunakan bahasa sesuai dengan itu.
Sedangkan pandangan “subjektif” menekankan penciptaan makna. Penman (1992) di
dalam buku ini menyatakan bahwa, “pemahaman kita berasal dari proses penciptaan
makna kita, bukan berasal dari pengalaman fisik atau pengamatan semata”.
Berdasarkan pandangan ini pula, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Di
dalam buku ini pula, Weick (1977) menyatakan bahwa alih-alih mengendalikan
lingkungan kita, suatu perubahan pikiran mendorong individu untuk memperoleh
pandangan lebih baik guna mengendalikan proses yang menghasilkan suatu
lingkungan yang dimainkan dan proses penjulukan (labeling) yang terjadi setelah itu.
Seorang
objektivis yang ekstrem memandang dunia sosial dengan cara yang sama ketika
kita memikirkan dunia fisik dan alam, sebagai sesuatu yang konkret dan terpisah
dari orang yang memandang dan menyentuh dunia. Seorang subjektivis yang
ekstrem, sebaliknya, berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang eksis di luar
pikiran orang yang bertindak dan mempersepsi, dan bahwa realitas adalah
benar-benar suatu proses manusiawi yang memungkinkan kita menciptakan
objek-objek fisik dalam pikiran kita dan memberikan tanggapan terhadap
objek-objek tersebut, seakan-akan objek-objek tersebut eksis sebagai
peristiwa-peristiwa alam.
Orang
yang mendekati realitas secara objektif melihat realitas tersebut sebagai
sesuatu yang konkret atau fisik dengan suatu struktur yang harus dan ditemukan.
Sebaliknya, orang yang mendekati realitas secara subjektif memandang realitas
sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang-orang menciptakan apa yang
ada “di luar sana”. Berdasarkan pandangan kaum itu, orang-orang menciptakan suatu keteraturan bahkan menemukan keteraturan objek-objek dunia,
dan semua hal yang ada di dalamnya, pada dasarnya tidak terstruktur, atau
sekurang-kurangnya berperilaku dengan cara-cara yang tidak memahami dirinya
sendiri.
2.
Sifat Manusia
Asumsi mengenai sifat manusia berdasarkan:
1.
Pendekatan
Subjektif
a.
Manusia Sebagai
Mahkluk Transendental
Manusia dipandang memunyai tujuan, mengarahkan energi psikis
dan pengalamannya dengan cara-cara yang mewujudkan dunia dalam suatu bentuk
yang bermakna dan bertujuan.
b.
Manusia Menciptakan
Realitas
Manusia dianggap mampu menciptakan realitas mereka dengan
cara-cara yang paling mendasar, dalam usaha untuk membuat dunia mereka dapat
dijelaskan kepada mereka sendiri dan kepada orang-orang lainnya.
c.
Manusia Sebagai
Aktor Sosial
Manusia adalah aktor sosial yang menafsirkan lingkungan
mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi mereka.
Dalam proses ini manusia menggunakan bahasa, label, dan rutinitas untuk pengelolaan
kesan, dan mode-mode lain tindakan yang spesifik secara kultural.
2.
Pendekatan
Objektif
a.
Manusia
Sebagai Pemroses Informasi
Manusia dianggap terlibat dalam suatu proses
berkesinambungan interaksi dan pertukaran dengan konteks mereka: menerima, menafsirkan,
dan bertindak berdasarkan informasi yang diterima, dan dengan demikian
menciptakan suatu pola baru informasi yang mempengaruhi perubahan-perubahan
dalam bidang tersebut secara keseluruhan.
b.
Manusia
Sebagai Agen yang Adaptif
Manusia eksis dalam hubungan yang interaktif dengan dunia
mereka. Mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks atau lingkungan
mereka.
c.
Manusia
Sebagai Mekanisme yang Menanggapi
Manusia adalah suatu produk kekuatan eksternal dalam
lingkungan yang melingkupi mereka. Meskipun persepsi manusia dapat mempengaruhi
proses ini hingga derajat tertentu, manusia selalu memberikan tanggapan
terhadap situasi dengan suatu cara yang berdasarkan hukum (berdasarkan aturan).
Pendekatan
objektif sangat menekankan lingkungan sebagai suatu faktor penentu dalam
menjelaskan perilaku manusia. Manusia dibentuk oleh lingkungan, dan
keberhasilan serta kelangsungan hidup mereka bergantung pada seberapa baik
mereka beradaptasi dengan realitas nyata. Pendekankan subjektif menekankan
bahwa manusia punya peranan yang lebih aktif dan kreatif. Kreasi mereka sendiri
bukanlah produk lingkungan, namun mereka menciptakan lingkungan tersebut.
Beralih ke tindakan
manusia: berdasarkan pandangan kaum objektivis, tindakan itu bertujuan,
intensional, goal-oriented, dan
rasional. Mereka bertindak berdasarkan tujuan, mempertimbangkan konsekuensi
tujuan mereka secara hati-hati. Teruntuk kaum subjektivis, tindakan muncul dari
proses sosial dalam interaksi manusia. Fokusnya adalah perilaku yang
berkembangan (emergent) yang
bergantung pada konstruksi sosial yang terjadi selama proses interaksi. Kaum
objektivis menyarankan bahwa manusia dapat diramalkan, selama kekuatan-kekuatan
pokok keteraturan alamiah (natural order)
dapat diuraikan. Tujuan utamanya adalah berperilaku secara rasional dan
menentukan bagaimana orang-orang beradaptasi dengan situasi. Kaum subjektivis
menekankan bahwa manusia menciptakan keteraturan dan situasi.
3.
ORGANISASI
Pendekatan
objektif menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik
dan konkret, dan merupakan sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti.
Sebagian orang menyebut pendekatan ini sebagai pandangan yang menganggap
organisasi sebagai wadah (container view
of organisations). Pendekatan subjektif memandang organisasi sebagai
kegiatan yang dilakukan orang-orang. Organisasi diciptakan dan dipupuk melalui
kontak-kontak yang terus menerus berubah yang dilakukan orang-orang antara yang
satu dengan yang lainnya dan tidak eksis secara terpisah dari orang-orang yang
perilakunya membentuk organisasi tersebut.
Berdasarkan
pandangan objektif, organisasi berarti struktur; berdasarkan pandangan
subjektif, organisasi berarti proses. “Organisasi”
secara khas dianggap sebagai kata benda, sementara “pengorganisasian” dianggap sebagai kata kerja (Weick, 1979). Kaum
objektivis menganggap organisasi sebagai struktur, sesuatu yang stabil. Kaum
subjektivis menganggap organisasi sebagai mengorganisasikan
perilaku.
Alat yang
digunakan untuk menggambarkan organisasi untuk memberikan pandangan serta
pemahaman mengenai organisasi; alat tersebut merupakan alat deskriptif yang
primer: metafora (kiasan). Morgan dan Smircich (1980) berpendapat bahwa
teoretisimemilih metafora yang didasarkan atas asumsi-asumsi mengenai realitas dan sifat manusia yang
melibatkan mereka dalam jenis dan bentuk pengetahuan tertentu. Morgan kembali
berpendapat bahwa suatu metafora didasarkan atas suatu kebenaran parsial, dan
ekspresi metafora yang paling kreatif bergantung pada “kekeliruan konstruktif”,
yang menekankan ciri-ciri tertentu. Keterlibatan utama dari gagasan ini,
menurut Morgan, adalah bahwa, “Tidak ada metafora yang dapat menangkap sifat
kehidupan organisasi secara total”, dan bahwa, “Metafora yang berbeda dapat
menangkap sifat kehidupan organisasi dengan cara yang berbeda, setiap metafora
menciptakan cara pandang yang kuat, khas, namun pada dasarnya parsial...
Mengakui bahwa teori organisasi bersifat metafora adalah mengakui bahwa teori
organisasi adalah suatu usaha yang pada dasarnya subjektif, yang berkaitan
dengan produksi analisis satu sisi atas kehidupan organisasi”.
Ingatlah
bahwa di mana dan bagaimana manusia sesuai dengan teori organisasi akan
bergantung pada pendekatan mana yang anda gunakan (lihat Morgan, 1986, mengenai
metafora-metafora organisasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar