Kita
akan mulai dengan pertanyaan dasar. “Apakah psikologi komunikator?”; “Mengapa
kita harus memelajari kajian ini?”; “Seperti apa contoh-contoh
pengimplementasiannya dalam kehidupan sehari-hari?”; “Elemen-elemen apa saja
yang memberikan pengaruh terhadap kualitas ‘psikologi komunikator’ ini?”
Jalaluddin Rakhmat di dalam bukunya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas.
APA ITU PSIKOLOGI KOMUNIKATOR?
Jika
sebelumnya Anda telah mempelajari media sebagai sarana transfer pesan dari
setiap peserta komunikasi, maka kini Anda akan dihadapkan dengan pihak
penyampai pesan yang di sini disebut dengan komunikator. Psikologi komunikator
mengajak kita untuk menyadari bahwa ketika komunikator atau ketika Anda sedang
menyampaikan pesan kepada orang lain, yang berpengaruh bukan saja apa yang Anda
katakan. Tetapi juga keadaan kekinian yang sedang Anda miliki.
Rakhmat
(2012) memberikan contoh seperti apa kasus-kasus di lapangan yang memiliki
relevansi dengan psikologi komunikator.
1. Suatu
saat Anda berada di masjid atau rumah ibadat lainnya (bergantung pada agama
Anda). Di mimbar, berdiri seseorang yang mengkhotbahkan pentingnya memelihara
kebersihan moral dan menjauhi perbuatan dosa. Yang berkhotbah memakai jeans
yang sudah lusuh, berambut gondrong dan kusut, memakai kalung hitam yang
memakai gantulan tengkorak kecil, dan berjaket hitam dengan lukisan apel merah
yang besar. Anda masih dapat melihat akar bahar menghias lengannya yang kekar.
Ia mengutip ayat-ayat suci. Ia serius. Besar dugaan saya, Anda tidak akan
mempercayai ocehannya. Anda akan menganggapnya sebagai orang yang gila dan
tersesat masuk rumah ibadat.
2. Seorang
bidan menganjurkan istri Anda untuk menggunakan susu bubuk Nestle untuk anak kesayangan Anda. Ia membawa contoh susu bubuk itu
ke rumah Anda. Ia menjelaskan bahwa Nestle
dibuat hampir mirip susu ibu, dengan kadar protein yang tinggi, mengandung
vitamin dan mineral yang berguna bagi pertumbuhan bayi Anda. Ia datang ke rumah
Anda; masih memakai tunik putih dan Anda samar-samar mencium bau rumah sakit.
Besar dugaan saya, Anda akan menerima atau paling tidak memikirkan untuk
menerima anjurannya. Tidak terbayang pada benak Anda, bahwa perusahaan
multinasional tengah “membunuh” bayi-bayi di negara dunia ketiga melalui
tenaga-tenaga paramedis (mudah-mudahan ini terjadi hanya dalam contoh pada buku
ini).
Dari
kedua contoh yang dikemukakan Rakhmat (2012), terdapat sebuah fakta bahwa
seseorang yang berkomunikasi tidaklah sedang mengomunikasikan apa yang ia
katakan semata, namun pula ia mengomunikasikan siapa dia. Perihal ini
dipertegas dengan argumentasi dari Aristoteles dalam Rakhmat (2012: 252) yang menulis:
Persuasi
tercapai karena karakteristik personal pembicara yang ketika ia menyampaikan
pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih
cepat percaya pada orang-orang baik daripada orang lain: Ini berlaku umumnya
pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada
kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulis
retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh
apa-apa pada kekuatan persesuasinya; sebaliknya, karakternya hampir bisa
disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya.
(Aristoteles, 1954: 45)
Dengan
demikian, setelah memelajari kajian psikologi komunikator ini, Anda diharapkan
mampu menjadi komunikator yang bijaksana. Karena, kita menginginkan timbal
balik dari proses komunikasi yang sedang kita lakukan. Komunikasi yang bersifat
persuasi menjadi alasan mengapa kita harus menjadi komunikator yang baik.
Pasalnya, Anda tidak dapat menyuruh pendengar untuk memperhatikan bahkan
mengikuti apa yang Anda katakan. Pendengar akan memperhitungkan pula siapa yang
mengatakan/memberikan informasinya. Kadang-kadang siapa bisa jadi lebih penting
dari apa.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN KARAKTER
KOMUNIKATOR?
Kita
telah memerhatikan uraian di atas tentang selayang pandang psikologi
komunikator. Mungkin, Anda kini telah sadar dan bersiap diri untuk memutar
haluan ke arah predikat komunikator yang bijaksana. Sehingga, Anda dapat berkomunikasi
dan berpersuasi dengan baik. Namun, kini Anda dipermasalahkan dengan apa saja
yang harus Anda persiapkan? Karakteristik semacam apa yang harus ada dalam diri
Anda supaya mampu menjadi seorang komunikator yang sukses?
Setelah
Anda menyimak argumentasi dari filsuf asal Yunani, Aristoteles: karakternya hampir bisa disebut sebagai alat
persuasi yang paling efektif yang dimilikinya. Namun, karakter seperti apa
yang dimaksudkan oleh Aristoteles? Aristoteles menyebut karakter komunikator
ini sebagai ethous. Ethous ini terdiri
atas pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik. Sekali lagi saya
tekankan kepada Anda, bahwa karakter yang dimaksud oleh Aristoteles adalah
pikiran, akhlak, dan maksud. Kelengkapan elemen-elemen tersebut akan sangat
berpengaruh ke dalam efektivitas komunikasi Anda.
Pendapat
Aristotles ini diuji secara ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan
Wlater Weiss (1951). Mereka melakukan eksperimen pertama tentang psikologi
komunikator. Mereka menyebut ethous ini
credibility yang terdiri atas dua
unsur: Keahlian dan rasa percaya (Rakhmat, 2012:253). Ketika Anda jatuh sakit,
itu disebabkan karena Anda tidak mengindahkan pepatah teman Anda untuk banyak
beristirahat. Namun, ketika dokter yang menasihati Anda, Anda akan mengikutinya
karena Anda percaya bahwa dokter itu memiliki keahlian. Dalam kasus ini, teman
dekat Anda tidak memiliki rasa kepercayaan dari Anda.
Istilah-istilah
yang dikemukakan oleh Hovland dan Weiss tidaklah mutlak. Ini semua disebabkan
berkembangnya ilmu komunikasi. Sehingga, ahli-ahli komunikasi mempunyai
istilah-istilah baru untuk expertise dan
trustworthiness. Berikut ini adalah
pandangan yang berbeda para ahli terhadap pemikiran Hovland dan Weiss:
Expertise
(keahlian)
-
McCroskey
(1968) : authoritativeness
-
Markham
(1968) :
faktor reliablelogical
-
Berlo,
Lemert, dan Mertz (1966) : qualification
Trustworthiness
(dapat dipercaya)
-
Beberapa
peneliti menggunakan istilah safety,
character, atau evaluative factor
Rakhmat
(2012:253) menyebut kedua hal di atas dengan kredibilitas. Namun, Anda tidak
direkomendasikan dengan hanya memandang kredibilitas sebagai penentu efektivitas
komunikator. Anda juga akan dihadapkan dengan kedua unsur lainnya: Atraksi
komunikator dan kekuasaan. Ini semua merupakan penyederhanaan dari ethous yang dikemukakan oleh
Aristoteles.
Sampai di sini, kita telah mendapatkan
beberapa pokok pembahasan. Ini diharapkan dapat memudahkan Anda ketika
mempelajari kajian ini. Diantaranya:
-Psikologi
komunikator mengajak kita untuk menyadari bahwa ketika komunikator atau ketika
Anda sedang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang berpengaruh bukan saja
apa yang Anda katakan. Tetapi juga keadaan kekinian yang sedang Anda alami.
-Seseorang
yang berkomunikasi tidaklah sedang mengomunikasikan apa yang ia katakan semata,
namun pula ia mengomunikasikan siapa dia.
-Pendengar
akan memperhitungkan pula siapa yang mengatakan/memberikan informasinya. Kadang-kadang
siapa bisa jadi lebih penting dari apa.
-Aristoteles
menyebut karakter komunikator sebagai ethous.
Ethous ini terdiri atas pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang
baik.
-Dari
penggunaan istilah oleh para ahli komunikasi, ethous ini disederhanakan menjadi: kredibilitas, atraksi
komunikator, dan kekuasaan.
Daftar Pustaka
Aristoteles. (1954). Rhetoric and Poetics. New York: Random
House.
Berlo, D.K.J., Lemert, dan R. Mertz.
(1966). “Dimension for Evaluation the
Acceptability of
Message
Sources”. Laporan Mimeorgraf, Eas
Lansing, Mich: Michigan State University.
Markham,D. (1968). “The
Dimensions of Source Credibiliy of Television New Casters”. Journal of Communication. 18, 57-64.
McCroskey, J.C. (1968). An
Introductin to Rhetorical Communication. Englawood Cliffs:
Prentice-Halls,Inc.
Rakhmat, J. (2012). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar